Isu dan Peluang dalam Kerja Sama antara Indonesia-China
loading...
A
A
A
Harryanto Aryodiguno, Ph.D
Dosen jurusan Hubungan Internasional, Universitas Presiden, Jababeka-Cikarang, Indonesia.
Belt and Road Initiative (BRI) yang pertama kali diperkenalkan oleh Presiden China Xi Jinping pada Oktober 2013 bernama “One Belt and One Road (OBOR). Meskipun tidak mengubah judul dalam bahasa China, program ini awalnya untuk memperluas kerjasama China dan menggencarkan peran China dalam pembangunan infrastruktur yang mencakup negara-negara yang pernah dilalui “Jalur Sutera Kuno” di darat dan “Jalur Sutera Maritim” di laut.
Kemudian program tersebut diperluas mencakup investasi non-infrastruktur, termasuk ikatan budaya dan pertukaran kerja sama dalam bentuk people to people. Sejak saat itu (2013), BRI telah menjadi agenda global China untuk mempromosikan dan menguatkan posisi dalam hubungan internasionalnya sebagai pemimpin dalam pembagunan ekonomi dunia.
Bagi negara-negara berkembang yang ingin mempercepat pembangunan ekonominya, BRI dipandang sebagai peluang untuk memanfaatkan sumber daya keuangan dan kemampuan teknologi China yang sangat besar. Indonesia sebagai negara yang gencar-gencarnya membangun infrastruktur termasuk negara yang berusaha ingin mendapatkan sisi positif dari manfaat dari kerja sama dalam kerangka BRI.
Meskipun banyak analisis mengenai BRI, termasuk dampak geopolitik dan ancaman terhadap negara-negara di jalur BRI, tetapi sebagai negara besar di Asia Tenggara, Indonesia jelas punya perhitungan penting, kenapa Indonesia harus bekerja sama dalam kerangka BRI dan bagaimana caranya memanfaatkan sisi positif BRI dalam meningkatkan hubungan ekonomi, kebudayaan, maupun politik kedua negara.
Kerja sama dalam BRI
Proyek infrastruktur China-Indonesia terbaru adalah Kereta Cepat Jakarta-Bandung (HSR) yang dimulai pada 21 Januari 2016. Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung merupakan salah satu fokus pembangunan infrastruktur pemerintahan Presiden Joko Widodo. Dalam proses tender, China mengalahkan Jepang dengan memberikan skema pembiayaan yang lebih menarik yang tidak memerlukan jaminan pemerintah. Kereta Cepat China menjadi pilihan Indonesia berdasarkan pertimbangan bahwa pembangunan tersebut dikembangkan dengan pola B to B (business to business) yang berdasarkan penanaman modal asing (PMA) tanpa sedikit pun menyerap APBN.
Jokowi memiliki ekspektasi tinggi dari keberhasilan proyek kereta cepat untuk memajukan dan meningkatkan pembangunan di seluruh Indonesia. Demikian pula bagi China, proyek kereta cepat ini dipandang sebagai proyek atau investasi China pertama di sektor infrastruktur Asia Tenggara. Jika proyek ini gagal, maka akan berdampak buruk pada reputasi China.
Berbagai kerja sama dalam kerangka BRI, terutama di bidang ekonomi, bisa terjadi karena hubungan baik antara Jakarta-Beijing. Namun, hubungan kedua negara yang bersahabat ini bukan berarti tanpa gesekan sama sekali. Tercatat bahwa selama masa jabatan pertama kepresidenan SBY (2004–2009), hubungan Beijing-Jakarta erat karena SBY menghapus banyak peraturan-peraturan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa di Indonesia, dan SBY dianggap Presiden Indonesia yang berwibawa, bersahabat, dan moderat di Asia Tenggara. Hubungan Indonesia dan China bertambah erat lagi setelah Jokowi menjadi Presiden. Di mata China dan etnis Tionghoa Indonesia, presiden yang mempunyai latar belakang pengusaha sangat mengerti akan penderitaan dan liku-liku yang dihadapi oleh pengusaha di birokrasi Indonesia.
Dosen jurusan Hubungan Internasional, Universitas Presiden, Jababeka-Cikarang, Indonesia.
Belt and Road Initiative (BRI) yang pertama kali diperkenalkan oleh Presiden China Xi Jinping pada Oktober 2013 bernama “One Belt and One Road (OBOR). Meskipun tidak mengubah judul dalam bahasa China, program ini awalnya untuk memperluas kerjasama China dan menggencarkan peran China dalam pembangunan infrastruktur yang mencakup negara-negara yang pernah dilalui “Jalur Sutera Kuno” di darat dan “Jalur Sutera Maritim” di laut.
Kemudian program tersebut diperluas mencakup investasi non-infrastruktur, termasuk ikatan budaya dan pertukaran kerja sama dalam bentuk people to people. Sejak saat itu (2013), BRI telah menjadi agenda global China untuk mempromosikan dan menguatkan posisi dalam hubungan internasionalnya sebagai pemimpin dalam pembagunan ekonomi dunia.
Bagi negara-negara berkembang yang ingin mempercepat pembangunan ekonominya, BRI dipandang sebagai peluang untuk memanfaatkan sumber daya keuangan dan kemampuan teknologi China yang sangat besar. Indonesia sebagai negara yang gencar-gencarnya membangun infrastruktur termasuk negara yang berusaha ingin mendapatkan sisi positif dari manfaat dari kerja sama dalam kerangka BRI.
Meskipun banyak analisis mengenai BRI, termasuk dampak geopolitik dan ancaman terhadap negara-negara di jalur BRI, tetapi sebagai negara besar di Asia Tenggara, Indonesia jelas punya perhitungan penting, kenapa Indonesia harus bekerja sama dalam kerangka BRI dan bagaimana caranya memanfaatkan sisi positif BRI dalam meningkatkan hubungan ekonomi, kebudayaan, maupun politik kedua negara.
Kerja sama dalam BRI
Proyek infrastruktur China-Indonesia terbaru adalah Kereta Cepat Jakarta-Bandung (HSR) yang dimulai pada 21 Januari 2016. Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung merupakan salah satu fokus pembangunan infrastruktur pemerintahan Presiden Joko Widodo. Dalam proses tender, China mengalahkan Jepang dengan memberikan skema pembiayaan yang lebih menarik yang tidak memerlukan jaminan pemerintah. Kereta Cepat China menjadi pilihan Indonesia berdasarkan pertimbangan bahwa pembangunan tersebut dikembangkan dengan pola B to B (business to business) yang berdasarkan penanaman modal asing (PMA) tanpa sedikit pun menyerap APBN.
Baca Juga
Jokowi memiliki ekspektasi tinggi dari keberhasilan proyek kereta cepat untuk memajukan dan meningkatkan pembangunan di seluruh Indonesia. Demikian pula bagi China, proyek kereta cepat ini dipandang sebagai proyek atau investasi China pertama di sektor infrastruktur Asia Tenggara. Jika proyek ini gagal, maka akan berdampak buruk pada reputasi China.
Berbagai kerja sama dalam kerangka BRI, terutama di bidang ekonomi, bisa terjadi karena hubungan baik antara Jakarta-Beijing. Namun, hubungan kedua negara yang bersahabat ini bukan berarti tanpa gesekan sama sekali. Tercatat bahwa selama masa jabatan pertama kepresidenan SBY (2004–2009), hubungan Beijing-Jakarta erat karena SBY menghapus banyak peraturan-peraturan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa di Indonesia, dan SBY dianggap Presiden Indonesia yang berwibawa, bersahabat, dan moderat di Asia Tenggara. Hubungan Indonesia dan China bertambah erat lagi setelah Jokowi menjadi Presiden. Di mata China dan etnis Tionghoa Indonesia, presiden yang mempunyai latar belakang pengusaha sangat mengerti akan penderitaan dan liku-liku yang dihadapi oleh pengusaha di birokrasi Indonesia.