Isu dan Peluang dalam Kerja Sama antara Indonesia-China

Senin, 09 Januari 2023 - 19:43 WIB
loading...
Isu dan Peluang dalam Kerja Sama antara Indonesia-China
Harryanto Aryodiguno, Ph.D Dosen jurusan Hubungan Internasional, Universitas Presiden, Jababeka-Cikarang, Indonesia. Foto/Dok Pribadi
A A A
Harryanto Aryodiguno, Ph.D
Dosen jurusan Hubungan Internasional, Universitas Presiden, Jababeka-Cikarang, Indonesia.

Belt and Road Initiative (BRI) yang pertama kali diperkenalkan oleh Presiden China Xi Jinping pada Oktober 2013 bernama “One Belt and One Road (OBOR). Meskipun tidak mengubah judul dalam bahasa China, program ini awalnya untuk memperluas kerjasama China dan menggencarkan peran China dalam pembangunan infrastruktur yang mencakup negara-negara yang pernah dilalui “Jalur Sutera Kuno” di darat dan “Jalur Sutera Maritim” di laut.

Kemudian program tersebut diperluas mencakup investasi non-infrastruktur, termasuk ikatan budaya dan pertukaran kerja sama dalam bentuk people to people. Sejak saat itu (2013), BRI telah menjadi agenda global China untuk mempromosikan dan menguatkan posisi dalam hubungan internasionalnya sebagai pemimpin dalam pembagunan ekonomi dunia.

Bagi negara-negara berkembang yang ingin mempercepat pembangunan ekonominya, BRI dipandang sebagai peluang untuk memanfaatkan sumber daya keuangan dan kemampuan teknologi China yang sangat besar. Indonesia sebagai negara yang gencar-gencarnya membangun infrastruktur termasuk negara yang berusaha ingin mendapatkan sisi positif dari manfaat dari kerja sama dalam kerangka BRI.

Meskipun banyak analisis mengenai BRI, termasuk dampak geopolitik dan ancaman terhadap negara-negara di jalur BRI, tetapi sebagai negara besar di Asia Tenggara, Indonesia jelas punya perhitungan penting, kenapa Indonesia harus bekerja sama dalam kerangka BRI dan bagaimana caranya memanfaatkan sisi positif BRI dalam meningkatkan hubungan ekonomi, kebudayaan, maupun politik kedua negara.

Kerja sama dalam BRI

Proyek infrastruktur China-Indonesia terbaru adalah Kereta Cepat Jakarta-Bandung (HSR) yang dimulai pada 21 Januari 2016. Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung merupakan salah satu fokus pembangunan infrastruktur pemerintahan Presiden Joko Widodo. Dalam proses tender, China mengalahkan Jepang dengan memberikan skema pembiayaan yang lebih menarik yang tidak memerlukan jaminan pemerintah. Kereta Cepat China menjadi pilihan Indonesia berdasarkan pertimbangan bahwa pembangunan tersebut dikembangkan dengan pola B to B (business to business) yang berdasarkan penanaman modal asing (PMA) tanpa sedikit pun menyerap APBN.



Jokowi memiliki ekspektasi tinggi dari keberhasilan proyek kereta cepat untuk memajukan dan meningkatkan pembangunan di seluruh Indonesia. Demikian pula bagi China, proyek kereta cepat ini dipandang sebagai proyek atau investasi China pertama di sektor infrastruktur Asia Tenggara. Jika proyek ini gagal, maka akan berdampak buruk pada reputasi China.

Berbagai kerja sama dalam kerangka BRI, terutama di bidang ekonomi, bisa terjadi karena hubungan baik antara Jakarta-Beijing. Namun, hubungan kedua negara yang bersahabat ini bukan berarti tanpa gesekan sama sekali. Tercatat bahwa selama masa jabatan pertama kepresidenan SBY (2004–2009), hubungan Beijing-Jakarta erat karena SBY menghapus banyak peraturan-peraturan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa di Indonesia, dan SBY dianggap Presiden Indonesia yang berwibawa, bersahabat, dan moderat di Asia Tenggara. Hubungan Indonesia dan China bertambah erat lagi setelah Jokowi menjadi Presiden. Di mata China dan etnis Tionghoa Indonesia, presiden yang mempunyai latar belakang pengusaha sangat mengerti akan penderitaan dan liku-liku yang dihadapi oleh pengusaha di birokrasi Indonesia.

Masalah yang dihadapi dua negara

Selain itu diperkirakan ada beberapa isu yang bisa mempengaruhi hubungan China-Indonesia yang pada gilirannya dapat mengganggu kerja sama BRI. Persepsi orang-orang Indonesia non-Tionghooa tentang dominasi ekonomi China asing maupun lokal bisa menjadi masalah pertama yang akan mengganggu hubungan antara Indonesia dan China, kemudian disusul dengan gejolak di Laut China Selatan maupun isu pekerja asing/buruh dari China yang mengokupasi lapangan kerja orang Indonesia.

Meskipun hubungan ekonomi antara Indonesia dan China semakin dekat tetapi persepsi publik terhadap China tetap beragam dan rumit, mulai dari pandangan bahwa bangkitnya ekonomi China akan menjadi pemicu bangkitnya ekonomi Indonesia sampai dengan kecurigaan tentang kebangkitan ekonomi China akan menjajah kedaulatan negara lain. Kaum terpelajar dan yang mempunyai insting bisnis seperti Presiden Jokowi akan melihat bahwa China adalah sumber daya yang bisa dimanfaatkan atau diajak kerja sama untuk pembangunan infrastruktur Indonesia.

Namun, kelompok yang tidak senang dengan kedekatan China dan Indonesia, akan selalu mengaitkan tentang bahaya China yang pernah mendukung kudeta berdarah pada September 1965 di Indonesia, meskipun mereka tidak pernah bisa membuktikan bahwa China terlibat dalam kudeta tersebut. Kelompok ini akan menghidupkan sentimen anti-China dan Tionghoa, dan selalu mengaitkan kerjasama dengan China merupakan jalan menuju kehancuran, meski mereka tidak pernah bisa menunjukkan atau setidaknya membuktikan bahwa Indonesia pernah hancur karena China. Mereka sama sekali memungkiri bahwa justru pembangunan di kota-kota besar di Indonesia banyak dilakukan oleh pengusaha Tionghoa lokal.

Mereka hanya bisa mengaitkan ancaman China dan Tionghoa lokal dengan peristiwa yang tidak pernah ada bukti, tetapi mereka tidak pernah melihat kenyataan bahwa pembangunan yang dilakukan oleh Sumarecon Group, Agung Sedayu, Podomoro, Artha Graha, dan lain-lain semuanya merupakan sumbangsih masyarakat Tionghoa terhadap pembangunan Indonesia. Berbeda dengan kaum terpelajar dan reformis seperti Presiden Jokowi dan Jenderal Luhut Binsar Panjaitan yang melihat bahwa selalu ada sisi positif dari China maupun Tionghoa maupun dari pihak asing lainnya dalam bekerja bersama membangun Indonesia.

Beberapa kejadian di sekitar Laut China Selatan memang menciptakan citra negatif China di Indonesia. China secara terbuka mengakui Kepulauan Natuna itu milik Indonesia, namun Beijing tidak mengakui secara terbuka ZEE Indonesia di perairan Natuna. Kapal-kapal nelayan China sering merambah kekayaan di perairan Natuna. Selain itu juga pemerintah China turut mengklaim bahwa wilayah yang dimasuki nelayan China itu adalah “tempat penangkapan ikan tradisional China”. Ini adalah salah satu kendala yang bisa merusak hubungan kerja sama antara China dan Indonesia. Beijing seharusnya tidak membiarkan nelayannya menangkap ikan secara ilegal di perairan Indonesia, bahkan mengklaim secara sepihak bahwa nelayan China tidak melanggar kedaulatan perairan Indonesia.

Pekerja di Indonesia sangat sensitif tentang jumlah orang China daratan yang bekerja di Indonesia. Dan, permasalahan seperti ini sudah sering diembuskan oleh kalangan anti-pekerja asing di Indonesia. Pemerintah harus lebih tegas lagi dalam perekrutan tenaga kerja asing, dalam arti tenaga kerja asing yang direkrut adalah tenaga kerja yang benar-benar profesional dan yang tugasnya tidak bisa digantikan oleh pekerja lokal. Selain itu, pemerintah harus memberi bekal atau pendidikan kepada tenaga lokal, bahwa pekerja profesional asing yang didatangkan dari luar bukan cuma untuk mengerjakan projek mereka saja, tetapi pekerja lokal harus segera belajar teknik mereka, agar suatu hari Indonesia tidak perlu lagi mengimpor tenaga asing dari negara manapun juga. Sehingga, pergesekan antar negara tidak akan terjadi hanya karena masalah tenaga kerja.

Kesimpulan

Indonesia selalu tegas dalam kerja sama dengan negara asing, terutama dalam kerangka BRI. Pemerintah Indonesia melihat BRI sebagai peluang ekonomi untuk memanfaatkan investasi China. Sementara itu, sikap China selalu lebih tertarik untuk mempromosikan perdagangan dan pembangunan infrastruktur China di Indonesia. Proyek lain seperti pembangkit listrik, bendungan, dan jembatan terkait dengan pembangunan infrastruktur Indonesia. Ke depannya dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia, kehadiran China maupun negara besar yang mempunyai dana besar akan sangat berarti untuk Indonesia yang sedang melaju ke landasan pacu pembangunan nasional yang merata dan adil-makmur.

Oleh karena itu proyek bersama China–Indonesia akan menjadi semakin penting. Indonesia saat ini masih kekurangan dana dan teknologi untuk mengembangkan infrastrukturnya, dan karena itu membutuhkan modal dan teknologi China. Meskipun demikian, tidak semua “proyek BRI” akan sesuai dengan kepentingan Indonesia. Namun, Indonesia mungkin harus menerima proyek-proyek tersebut untuk mendapatkan modal yang dibutuhkan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi di negara ini.

Selama ini memang selalu terjadi pasang surut dalam hubungan dengan China, dari era Presiden Soekarno, Soeharto, sampai dengan era Joko Widodo. Sentimen anti China memang masih ada di Indonesia meskipun semakin berkurang, karena saat ini sudah semakin banyak sarjana lulusan China yang turut berpartisipasi dalam pembangunan di Indonesia. Akan tetapi, terlalu terpaku pada satu negara, terutama dalam bidang ekonomi juga bukan sesuatu yang positif untuk sebuah negara yang mempunyai sumber daya alam yang banyak.

Untuk itu, pembangunan sumber daya juga harus digencarkan, kesejahteraan masyarakat juga harus ditingkatkan seiring dengan pembangunan infrastruktur di Indonesia. Selama pemerintah Indonesia (siapa pun presidennya) lebih condong ke China dalam urusan ekonomi, akan terus ada tekanan politik kepada pemerintah untuk menjaga jarak dengan China, karena alasan dan sebab yang telah ditulis oleh penulis di atas. Masalah ini pada akhirnya akan berdampak buruk pada proyek pembangunan bersama antara China-Indonesia.

Kerja sama dalam kerangka BRI China di Indonesia sangat tergantung pada hubungan baik antara kedua negara. Oleh karena itu, untuk memuluskan kerangka kerja sama dalam BRI dan melanjutkan pembangunan Indonesia yang akhirnya akan menuju ke kesejateraan rakyat Indonesia, isu-isu seperti sentimen dan peningkatan sumber daya manusia harus segera diselesaikan oleh presiden manapun yang akan memimpin Indonesia ke depannya.
(zik)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1024 seconds (0.1#10.140)