Menakar Perppu Cipta Kerja
loading...
A
A
A
Rio Christiawan
Associate Professor bidang Hukum
Pengajar Universitas Prasetiya Mulya
Pemerintah dalam hal ini Presiden baru menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 (Perppu 2/2022). Aturan tersebut dirilis pada hari kerja terakhir di 2022 yakni pada 30 Desember 2022.
Banyak pro-kontra yang muncul di masyarakat mengenai terbitnya Perppu 2/2022, khususnya polemik mengenai terbitnya Perppu 2/2022 sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja (UUCK), sedangkan UUCK sendiri dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Dalam Putusan MK Nomor 91/PUU -XVIII/2020.
MK dalam putusannya menyatakan bahwa, intinya UUCK dinyatakan inkonstitusional bersyarat karena pembentukannya mengandung cacat formal sehingga perlu perbaikan dan diuji kembali dalam waktu dua tahun sejak putusan tersebut dibacakan pada akhir 2021 lalu.
Judul dari artikel ini menggunakan kalimat masa depan cipta kerja dimaksudkan untuk menjernihkan kembali esensi mengenai tujuan dibuatnya aturan cipta kerja.
Tujuan dari dibuatnya UUCK pada awalnya adalah untuk meningkatkan investasi yang terkendala karena banyaknya tumpang tindih perundangan sehingga UUCK dibuat dengan metode omnibus. Sebagaimana dijelaskan oleh Ginder (2001), omnibus adalah metode harmonisasi dan sinkronisasi berbagai aturan hukum dalam satu aturan payung. Diharapkan dengan teratasinya persoalan tumpang tindih aturan maka investasi akan berkembang dan dapat menyerap lapangan kerja.
Jika dicermati secara teliti Putusan MK No 91/PUU -XVIII/2020 hanya menyoal mengenai cacat formal dan bukan cacat materiil. Sehingga secara esensial persoalan UUCK adalah secara formal pembentukannya dan bukan substansinya.
Terbitnya Perppu 2/2022 sebetulnya tidak dapat hanya dimaknai secara legalistik saja, tetapi perlu dimaknai dalam tiga perspektif yakni ekonomi, politik dan hukum itu sendiri.
Sebagaimana konsep sibernetika hukum yang diuraikan oleh Parsons (1967), yang menguraikan bahwa hukum bukanlah sub sistem yang berdiri sendiri dan tidak terpengaruh oleh sub sistem lainnya.
Dalam teori sibernetika hukum, dimaknai bahwa subsistem hukum dipengaruhi oleh sub sistem politik (pembentukan hukum akan sangat bergantung pada konstelasi politik) dan sub sistem politik akan sangat bergantung pada kepentingan ekonomi (subsistem ekonomi) sehingga nampak jelas bahwa kepentingan ekonomi memiliki aspek urgensitas yang besar didalam hukum.
Associate Professor bidang Hukum
Pengajar Universitas Prasetiya Mulya
Pemerintah dalam hal ini Presiden baru menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 (Perppu 2/2022). Aturan tersebut dirilis pada hari kerja terakhir di 2022 yakni pada 30 Desember 2022.
Banyak pro-kontra yang muncul di masyarakat mengenai terbitnya Perppu 2/2022, khususnya polemik mengenai terbitnya Perppu 2/2022 sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja (UUCK), sedangkan UUCK sendiri dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Dalam Putusan MK Nomor 91/PUU -XVIII/2020.
MK dalam putusannya menyatakan bahwa, intinya UUCK dinyatakan inkonstitusional bersyarat karena pembentukannya mengandung cacat formal sehingga perlu perbaikan dan diuji kembali dalam waktu dua tahun sejak putusan tersebut dibacakan pada akhir 2021 lalu.
Judul dari artikel ini menggunakan kalimat masa depan cipta kerja dimaksudkan untuk menjernihkan kembali esensi mengenai tujuan dibuatnya aturan cipta kerja.
Tujuan dari dibuatnya UUCK pada awalnya adalah untuk meningkatkan investasi yang terkendala karena banyaknya tumpang tindih perundangan sehingga UUCK dibuat dengan metode omnibus. Sebagaimana dijelaskan oleh Ginder (2001), omnibus adalah metode harmonisasi dan sinkronisasi berbagai aturan hukum dalam satu aturan payung. Diharapkan dengan teratasinya persoalan tumpang tindih aturan maka investasi akan berkembang dan dapat menyerap lapangan kerja.
Jika dicermati secara teliti Putusan MK No 91/PUU -XVIII/2020 hanya menyoal mengenai cacat formal dan bukan cacat materiil. Sehingga secara esensial persoalan UUCK adalah secara formal pembentukannya dan bukan substansinya.
Terbitnya Perppu 2/2022 sebetulnya tidak dapat hanya dimaknai secara legalistik saja, tetapi perlu dimaknai dalam tiga perspektif yakni ekonomi, politik dan hukum itu sendiri.
Sebagaimana konsep sibernetika hukum yang diuraikan oleh Parsons (1967), yang menguraikan bahwa hukum bukanlah sub sistem yang berdiri sendiri dan tidak terpengaruh oleh sub sistem lainnya.
Dalam teori sibernetika hukum, dimaknai bahwa subsistem hukum dipengaruhi oleh sub sistem politik (pembentukan hukum akan sangat bergantung pada konstelasi politik) dan sub sistem politik akan sangat bergantung pada kepentingan ekonomi (subsistem ekonomi) sehingga nampak jelas bahwa kepentingan ekonomi memiliki aspek urgensitas yang besar didalam hukum.