Eskalasi di ZEE Indonesia Perlu Perhatian Serius Pemerintah
loading...
A
A
A
Sebenarnya, menurut Hakeng, Indonesia bisa mewujudkan diri menjadi poros maritim dunia melalui ekonomi biru dari sumber daya protein ikan lautnya. Indonesia mempunyai 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI), antara lain perairan Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut China Selatan, perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, dan Teluk Berau, perairan Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian Timur.
"11 WPPNRI tersebut memiliki sumber daya ikan tangkap yang jenisnya berbeda-beda," ungkapnya.
Karena itu, sudah saatnya Indonesia fokus kembali ke maritim. Untuk mewujudkan itu dibutuhkan kerja sama antara semua pihak, baik pemerintah pusat dan daerah. Bukan hanya hasil tangkapan melimpah yang menjadi perhatian tapi sarana pendukung juga dibutuhkan, seperti pelabuhan terpadu untuk perikanan tangkap. Di pelabuhan perlu juga dibangun pabrik pengolahan ikan, sehingga hasil ikan dapat langsung diolah. Dibutuhkan juga gudang penyimpanan ikan berpendingin (cold storage) untuk menjaga kesegaran ikan sebelum sampai ke konsumen.
"Dan penting juga perlu dipikirkan pengadaan kapal penampungan (ship to ship) hasil tangkapan nelayan di tengah laut," kata Hakeng.
Nasib Nelayan
Sumber daya kelautan yang dimiliki Indonesia berlimpah antara lain, perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Akan tetapi kekayaan sumber daya kelautan yang berlimpah itu, belum sepenuhnya dapat dinikmati nelayan bahkan belum mampu mengangkat nasib nelayan Indonesia.
"Berdasarkan laporan, ada beberapa masalah yang seringkali menghadang nelayan Indonesia. Salah satu masalah yang sering dikeluhkan para nelayan mengenai persoalan ketersediaan bahan bakar solar subsidi. Ada dugaan masih ada pihak yang seharusnya tidak memanfaatkan solar subsidi tapi menggunakannya. Sehingga nelayan kecil terkena imbas dimana solar subsidi yang dibutuhkan tak ada lagi," kata Sekjen DPP Forum Komunikasi Maritim (FORKAMI) ini.
Hal lain yang saat ini sedang menjadi perdebatan terkait penerapan tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 85/2021. Peraturan tersebut dinilai memberatkan nelayan. Karena ketentuan naiknya besaran tarif PNBP kepada nelayan menjadi sekitar 5%-10%. Padahal aturan sebelumnya yakni PP Nomor 62 Tahun 2002 mengatur kategori kapal kurang dari 60 GT hanya dikenakan tarif 1%. Kemudian di PP Nomor 75 Tahun 2015 naik menjadi 5% dengan kategori kapal kecil 30-60 GT.
Di aturan terbaru, PP Nomor 85 Tahun 2021, ketentuan ini justru diperluas menjadi kapal dengan ukuran 5-60 GT dikenakan tarif 5% untuk PNBP. Hal tersebut patut diduga telah membuat para nelayan tradisional menjadi enggan melaporkan hasil tangkapan mereka dan mengakibatkan data hasil tangkapan para nelayan tradisional menjadi tidak akurat," kata Hakeng.
Ia juga menyoroti pula rencana dari Kementerian Kelautan dan Perikanan yang ingin memberlakukan sistem kontrak dengan memprioritaskan kuota bagi nelayan kecil. Penangkapan ikan terukur dengan sistem kontrak kuota hanya bisa dirasakan manfaatnya oleh perusahaan kapal besar di di sejumlah Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP).
Rencana kuota ini dikhawatirkan tidak dapat berjalan untuk nelayan kecil. Sebab, nelayan-nelayan kecil atau tradisional belumlah memiliki modal yang kuat serta tidak memiliki ketersediaan kapal-kapal yang sesuai dengan kontraknya.
"11 WPPNRI tersebut memiliki sumber daya ikan tangkap yang jenisnya berbeda-beda," ungkapnya.
Karena itu, sudah saatnya Indonesia fokus kembali ke maritim. Untuk mewujudkan itu dibutuhkan kerja sama antara semua pihak, baik pemerintah pusat dan daerah. Bukan hanya hasil tangkapan melimpah yang menjadi perhatian tapi sarana pendukung juga dibutuhkan, seperti pelabuhan terpadu untuk perikanan tangkap. Di pelabuhan perlu juga dibangun pabrik pengolahan ikan, sehingga hasil ikan dapat langsung diolah. Dibutuhkan juga gudang penyimpanan ikan berpendingin (cold storage) untuk menjaga kesegaran ikan sebelum sampai ke konsumen.
"Dan penting juga perlu dipikirkan pengadaan kapal penampungan (ship to ship) hasil tangkapan nelayan di tengah laut," kata Hakeng.
Nasib Nelayan
Sumber daya kelautan yang dimiliki Indonesia berlimpah antara lain, perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Akan tetapi kekayaan sumber daya kelautan yang berlimpah itu, belum sepenuhnya dapat dinikmati nelayan bahkan belum mampu mengangkat nasib nelayan Indonesia.
"Berdasarkan laporan, ada beberapa masalah yang seringkali menghadang nelayan Indonesia. Salah satu masalah yang sering dikeluhkan para nelayan mengenai persoalan ketersediaan bahan bakar solar subsidi. Ada dugaan masih ada pihak yang seharusnya tidak memanfaatkan solar subsidi tapi menggunakannya. Sehingga nelayan kecil terkena imbas dimana solar subsidi yang dibutuhkan tak ada lagi," kata Sekjen DPP Forum Komunikasi Maritim (FORKAMI) ini.
Hal lain yang saat ini sedang menjadi perdebatan terkait penerapan tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 85/2021. Peraturan tersebut dinilai memberatkan nelayan. Karena ketentuan naiknya besaran tarif PNBP kepada nelayan menjadi sekitar 5%-10%. Padahal aturan sebelumnya yakni PP Nomor 62 Tahun 2002 mengatur kategori kapal kurang dari 60 GT hanya dikenakan tarif 1%. Kemudian di PP Nomor 75 Tahun 2015 naik menjadi 5% dengan kategori kapal kecil 30-60 GT.
Di aturan terbaru, PP Nomor 85 Tahun 2021, ketentuan ini justru diperluas menjadi kapal dengan ukuran 5-60 GT dikenakan tarif 5% untuk PNBP. Hal tersebut patut diduga telah membuat para nelayan tradisional menjadi enggan melaporkan hasil tangkapan mereka dan mengakibatkan data hasil tangkapan para nelayan tradisional menjadi tidak akurat," kata Hakeng.
Ia juga menyoroti pula rencana dari Kementerian Kelautan dan Perikanan yang ingin memberlakukan sistem kontrak dengan memprioritaskan kuota bagi nelayan kecil. Penangkapan ikan terukur dengan sistem kontrak kuota hanya bisa dirasakan manfaatnya oleh perusahaan kapal besar di di sejumlah Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP).
Rencana kuota ini dikhawatirkan tidak dapat berjalan untuk nelayan kecil. Sebab, nelayan-nelayan kecil atau tradisional belumlah memiliki modal yang kuat serta tidak memiliki ketersediaan kapal-kapal yang sesuai dengan kontraknya.