Eskalasi di ZEE Indonesia Perlu Perhatian Serius Pemerintah

Jum'at, 30 Desember 2022 - 17:34 WIB
loading...
Eskalasi di ZEE Indonesia...
Kedaulatan wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia perlu menjadi perhatian pemerintah. FOTO/IST
A A A
JAKARTA - Tahun 2022 tinggal beberapa hari lagi berlalu. Tahun yang penuh dengan dinamika khususnya di sektor maritim nasional. Ada beberapa hal yang terjadi dan perlu dicermati di sektor maritim setelah mati suri dihantam gelombang pandemi Covid-19.

Pengamat maritim dari Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas Strategic Center (IKAL SC) Capt Marcellus Hakeng Jayawibawa mengatakan, sektor kemaritiman mendapat kado istimewa pada 2022 dengan dipilihnya Laksamana Yudo Margono sebagai Panglima TNI.

"Dengan terpilihnya Laksamana Yudo Margono menjadi Panglima TNI, menjadi angin segar bagi sektor maritim. Boleh jadi pilihan Presiden Jokowi juga memenuhi harapan dari para pegiat maritim. Saya menyatakan langkah Presiden Jokowi memilih Laksamana Yudo Margono sebagai Panglima TNI sudah tepat," kata Hakeng dalam keterangan persnya, Jumat (30/12/2022).

Dengan latar belakang dari TNI Angkatan Laut diharapkan Laksamana Yudo mampu membawa TNI menjaga wilayah Indonesia yang terdiri dari 17.499 pulau. Total wilayah Indonesia sekitar 7,81 juta kilometer persegi (km2), di mana 5.80 km2 adalah lautan.

Hakeng berharap Laksamana Yudo Margono beserta jajaran TNI dapat ikut mewujudkan Indonesia Poros Maritim Dunia seperti yang dicita-citakan Presiden Jokowi. Selain itu, Panglima TNI juga diharapkan mendukung Kebijakan Kelautan Indonesia yang terdiri atas 7 pilar, yaitu: Pengelolaan sumber daya kelautan dan pengembangan sumber daya manusia; Pertahanan, Keamanan, Penegakan Hukum, dan Keselamatan di Laut; Tata kelola dan kelembagaan laut; Ekonomi dan infrastruktur kelautan dan peningkatan kesejahteraan; Pengelolaan ruang laut dan perlindungan lingkungan laut; Budaya Bahari; dan Diplomasi Maritim.

Kedaulatan wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di perairan Natuna yang kaya akan sumber daya perikanan kerap kali menjadi incaran kapal-kapal ikan asing dari China dan Vietnam. Ditambah lagi persoalan pemberian konsesi ZEE ke Vietnam yang tak kunjung menemui kesepakatan perlu mendapat pengawalan baik dari masyarakat maritim, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Kelautan dan Perikanan maupun TNI AL.

"Eskalasi di wilayah perairan Natuna akan terjadi mengingat potensi perikanan tangkap cukup besar. Karena itu perlu pengawasan dari pemerintah Indonesia untuk memberi perlindungan kepada nelayan Indonesia," kata Hakeng.

Ia mengingatkan saat ini telah terjadi peralihan aktivitas dan perhatian dunia dari wilayah Mediterania dan Atlantik ke kawasan Indopasifik. Peralihan tersebut tentu saja mengakibatkan wilayah maritim Indonesia kembali menjadi perlintasan strategis. Samudera Hindia menjadi perlintasan strategis dan Indonesia yang sangat dekat. Karena itu Indonesia harus sadar dengan posisinya secara geopolitik dan geostrategis.

"Di sini sangat dibutuhkan kekuatan matra TNI AL dengan dukungan dari matra TNI lainnya," katanya.

Potensi Ekonomi Biru Indonesia Berlimpah
Luasnya wilayah maritim Indonesia memang belum sepenuhnya tertangani secara optimal. Begitu juga dengan hasil perikanan tangkap yang belum sepenuhnya dimanfaatkan. Hal itu terjadi karena masih adanya keterbatasan sumber daya manusia Indonesia yang memberikan perhatian kepada dunia maritim.

Sebenarnya, menurut Hakeng, Indonesia bisa mewujudkan diri menjadi poros maritim dunia melalui ekonomi biru dari sumber daya protein ikan lautnya. Indonesia mempunyai 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI), antara lain perairan Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut China Selatan, perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, dan Teluk Berau, perairan Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian Timur.

"11 WPPNRI tersebut memiliki sumber daya ikan tangkap yang jenisnya berbeda-beda," ungkapnya.

Karena itu, sudah saatnya Indonesia fokus kembali ke maritim. Untuk mewujudkan itu dibutuhkan kerja sama antara semua pihak, baik pemerintah pusat dan daerah. Bukan hanya hasil tangkapan melimpah yang menjadi perhatian tapi sarana pendukung juga dibutuhkan, seperti pelabuhan terpadu untuk perikanan tangkap. Di pelabuhan perlu juga dibangun pabrik pengolahan ikan, sehingga hasil ikan dapat langsung diolah. Dibutuhkan juga gudang penyimpanan ikan berpendingin (cold storage) untuk menjaga kesegaran ikan sebelum sampai ke konsumen.

"Dan penting juga perlu dipikirkan pengadaan kapal penampungan (ship to ship) hasil tangkapan nelayan di tengah laut," kata Hakeng.

Nasib Nelayan
Sumber daya kelautan yang dimiliki Indonesia berlimpah antara lain, perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Akan tetapi kekayaan sumber daya kelautan yang berlimpah itu, belum sepenuhnya dapat dinikmati nelayan bahkan belum mampu mengangkat nasib nelayan Indonesia.

"Berdasarkan laporan, ada beberapa masalah yang seringkali menghadang nelayan Indonesia. Salah satu masalah yang sering dikeluhkan para nelayan mengenai persoalan ketersediaan bahan bakar solar subsidi. Ada dugaan masih ada pihak yang seharusnya tidak memanfaatkan solar subsidi tapi menggunakannya. Sehingga nelayan kecil terkena imbas dimana solar subsidi yang dibutuhkan tak ada lagi," kata Sekjen DPP Forum Komunikasi Maritim (FORKAMI) ini.

Hal lain yang saat ini sedang menjadi perdebatan terkait penerapan tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 85/2021. Peraturan tersebut dinilai memberatkan nelayan. Karena ketentuan naiknya besaran tarif PNBP kepada nelayan menjadi sekitar 5%-10%. Padahal aturan sebelumnya yakni PP Nomor 62 Tahun 2002 mengatur kategori kapal kurang dari 60 GT hanya dikenakan tarif 1%. Kemudian di PP Nomor 75 Tahun 2015 naik menjadi 5% dengan kategori kapal kecil 30-60 GT.

Di aturan terbaru, PP Nomor 85 Tahun 2021, ketentuan ini justru diperluas menjadi kapal dengan ukuran 5-60 GT dikenakan tarif 5% untuk PNBP. Hal tersebut patut diduga telah membuat para nelayan tradisional menjadi enggan melaporkan hasil tangkapan mereka dan mengakibatkan data hasil tangkapan para nelayan tradisional menjadi tidak akurat," kata Hakeng.

Ia juga menyoroti pula rencana dari Kementerian Kelautan dan Perikanan yang ingin memberlakukan sistem kontrak dengan memprioritaskan kuota bagi nelayan kecil. Penangkapan ikan terukur dengan sistem kontrak kuota hanya bisa dirasakan manfaatnya oleh perusahaan kapal besar di di sejumlah Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP).

Rencana kuota ini dikhawatirkan tidak dapat berjalan untuk nelayan kecil. Sebab, nelayan-nelayan kecil atau tradisional belumlah memiliki modal yang kuat serta tidak memiliki ketersediaan kapal-kapal yang sesuai dengan kontraknya.

"Pemerintah harus segera memperhatikan nasib nelayan Indonesia yang kurang sejahtera dari taraf hidupnya. KKP dapat memberikan alternatif cara pembiayaan usaha perikanan tangkap yang mudah untuk diakses kepada nelayan kecil di Indonesia," kata Hakeng.

Perlindungan Hukum bagi Pelaut Indonesia
Perhatian dan perlindungan hukum bagi para penyumbang devisa negara yakni pelaut kapal niaga ataupun pelaut perikanan masih dirasakan kurang. Hal itu dapat dilihat dengan masih banyak perlakuan kurang adil yang diterima oleh Pekerja Migran Indonesia, terutama yang bekerja sebagai Pelaut Perikanan (PMI PP) yang bekerja di atas kapal penangkap ikan berbendera asing.

Dari laporan studi bertajuk Potret Kerawanan Kerja Pelaut Perikanan di Kapal Asing: Tinjauan Hukum, HAM, dan Kelembagaan yang diluncurkan Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) pada 31 Agustus 2022. PMI PP masih dihadapkan dengan praktik-praktik perbudakan modern dan perdagangan manusia.

"Saya berharap dari temuan tersebut pemerintah dapat melakukan perundingan dengan negara-negara lain yang banyak memanfaatkan tenaga kerja Pelaut Perikanan Indonesia. Sehingga dapat ditemukan titik terang penyelesaian yang saling menguntungkan," katanya.

Keselamatan Pelayaran
Dalam UU No 17 tahun 2008 tentang Pelayaran mengatakan bahwa pelayaran adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan, serta perlindungan lingkungan maritim.

Karena itu Hakeng sebagai Pengurus Dewan Pimpinan Pusat Perkumpulan Ahli Keamanan dan Keselamatan Maritim Indonesia (AKKMI) ini, merekomendasikan untuk memperketat pengawasan guna meminimalisasi kecelakaan yang melibatkan kapal penyeberangan (Kapal Ferry)-ASDP.

Hentikan Buang Sampah ke Laut
Potensi laut Indonesia itu menyimpan kekayaan sangat besar untuk menghasilkan devisa bagi negara. Selain itu, laut juga merupakan sumber pangan bagi rakyat Indonesia. Karena itu, jangan jadikan laut sebagai tujuan dari pembuangan sampah rumah tangga ataupun kapal-kapal serta pabrik.

"Dengan bersihnya Perairan laut Indonesia dari sampah juga akan menguntungkan jalur pelayaran Indonesia. Perjalanan kapal tidak akan terganggu oleh banyaknya tumpukan sampah yang dapat tersedot oleh kapal sehingga dapat mengganggu kondisi mesin kapal," katanya.
(abd)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0918 seconds (0.1#10.140)