2020, Polusi Udara Telan Biaya Ekonomi Rp21 Triliun
loading...
A
A
A
JAKARTA - Sejak 1 Januari 2020, menurut sebuah alat baru yang diluncurkan Greenpeace Asia Tenggara dan IQAir AirVisual mengungkapkan dampak polusi udara di 28 kota secara real-time di seluruh dunia. Salah satunya yaitu DKI Jakarta .
Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Bondan Andriyanu menilai adanya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) karena pandemi Covid-19, kualitas udara di Jakarta tetap dalam kisaran yang sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Citra satelit dan analisis yang disusun oleh Center for Research on Energy and Clean Air (CREA) mengungkapkan bahwa konsentrasi Nitrogen dioksida (NO2) turun 33 persen, tetapi tingkat polusi PM2.5 tetap tinggi.
Penurunan konsentrasi itu sebagian besar disebabkan oleh penurunan kegiatan pada sektor transportasi dan industri selama masa PSBB. Namun, sumber pencemar utama, seperti pembangkit listrik tenaga batubara yang berlokasi di luar Jakarta, termasuk pembangkit listrik tenaga batubara Suralaya di Banten terus beroperasi seperti biasa. Polutan PM2.5 dari pembangkit batubara tersebut mencapai wilayah Jakarta selama periode PSBB dan mempengaruhi kualitas udara di kota. (Baca juga: Era New Normal, BPJAMSOSTEK Inisiasi Protokol Layanan Tanpa Kontak Fisik)
Konsentrasi PM2.5 dan NO2 di Jakarta juga terus meningkat pada masa PSBB transisi. Pada 15 Juni, Jakarta berada di peringkat satu dari lima kota di dunia dengan kualitas udara terburuk menurut database IQAir Visual.
“Kualitas udara baru-baru ini di Jakarta menunjukkan bahwa tindakan pemerintah terhadap polusi udara masih jauh dari optimal. Kebijakan Gubernur DKI Jakarta yang dituangkan dalam Ingub 66 harus berisi target dan tolok ukur kualitas udara yang jelas dan dievaluasi secara teratur,” kata Bondan dalam pernyataan tertulis yang diperoleh SINDOnews, Jumat (10/7/2020).
Polusi udara juga dinilai bertanggungjawab atas kematian dini sebanyak 6.100 jiwa di Jakarta. Selain risiko kematian dini, data tersebut juga menunjukkan kerugian ekonomi akibat polusi udara. Di Jakarta saja, polusi udara telah menelan biaya ekonomi Rp21,5 triliun. Nilai itu setara 1,7 kali lipat dari defisit BPJS atau 26 persen dari anggaran kota Jakarta pada 2020.
Terdapat bukti yang kuat bahwa paparan polusi udara jangka panjang meningkatkan risiko terinfeksi Covid-19 yang parah hingga menyebabkan kematian. Paparan polusi udara kronis dikaitkan dengan penyakit seperti hipertensi, diabetes, penyakit kardiovaskular, dan penyakit paru-paru kronis. Pasien dengan kondisi ini memiliki risiko lebih besar dirawat di rumah sakit bila terinfeksi Covid-19. (Baca juga: Inilah Javelin, Rudal Anti-Tank yang Digunakan Ukraina Melawan Rusia)
Karena itu, Bondan mendesak Pemprov DKI untuk menambah stasiun pemantauan kualitas udara yang dapat mewakili Jakarta secara keseluruhan. Selain itu, menyediakan sistem transportasi publik terintegrasi serta berkoordinasi dengan pemerintah Jawa Barat dan Banten untuk mengendalikan polusi udara lintas batas.
“Pemerintah harus segera beralih ke sumber energi terbarukan, melakukan inventarisasi emisi reguler, dan memperketat standar kualitas udara ambien nasional,” kata Bondan.
Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Bondan Andriyanu menilai adanya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) karena pandemi Covid-19, kualitas udara di Jakarta tetap dalam kisaran yang sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Citra satelit dan analisis yang disusun oleh Center for Research on Energy and Clean Air (CREA) mengungkapkan bahwa konsentrasi Nitrogen dioksida (NO2) turun 33 persen, tetapi tingkat polusi PM2.5 tetap tinggi.
Penurunan konsentrasi itu sebagian besar disebabkan oleh penurunan kegiatan pada sektor transportasi dan industri selama masa PSBB. Namun, sumber pencemar utama, seperti pembangkit listrik tenaga batubara yang berlokasi di luar Jakarta, termasuk pembangkit listrik tenaga batubara Suralaya di Banten terus beroperasi seperti biasa. Polutan PM2.5 dari pembangkit batubara tersebut mencapai wilayah Jakarta selama periode PSBB dan mempengaruhi kualitas udara di kota. (Baca juga: Era New Normal, BPJAMSOSTEK Inisiasi Protokol Layanan Tanpa Kontak Fisik)
Konsentrasi PM2.5 dan NO2 di Jakarta juga terus meningkat pada masa PSBB transisi. Pada 15 Juni, Jakarta berada di peringkat satu dari lima kota di dunia dengan kualitas udara terburuk menurut database IQAir Visual.
“Kualitas udara baru-baru ini di Jakarta menunjukkan bahwa tindakan pemerintah terhadap polusi udara masih jauh dari optimal. Kebijakan Gubernur DKI Jakarta yang dituangkan dalam Ingub 66 harus berisi target dan tolok ukur kualitas udara yang jelas dan dievaluasi secara teratur,” kata Bondan dalam pernyataan tertulis yang diperoleh SINDOnews, Jumat (10/7/2020).
Polusi udara juga dinilai bertanggungjawab atas kematian dini sebanyak 6.100 jiwa di Jakarta. Selain risiko kematian dini, data tersebut juga menunjukkan kerugian ekonomi akibat polusi udara. Di Jakarta saja, polusi udara telah menelan biaya ekonomi Rp21,5 triliun. Nilai itu setara 1,7 kali lipat dari defisit BPJS atau 26 persen dari anggaran kota Jakarta pada 2020.
Terdapat bukti yang kuat bahwa paparan polusi udara jangka panjang meningkatkan risiko terinfeksi Covid-19 yang parah hingga menyebabkan kematian. Paparan polusi udara kronis dikaitkan dengan penyakit seperti hipertensi, diabetes, penyakit kardiovaskular, dan penyakit paru-paru kronis. Pasien dengan kondisi ini memiliki risiko lebih besar dirawat di rumah sakit bila terinfeksi Covid-19. (Baca juga: Inilah Javelin, Rudal Anti-Tank yang Digunakan Ukraina Melawan Rusia)
Karena itu, Bondan mendesak Pemprov DKI untuk menambah stasiun pemantauan kualitas udara yang dapat mewakili Jakarta secara keseluruhan. Selain itu, menyediakan sistem transportasi publik terintegrasi serta berkoordinasi dengan pemerintah Jawa Barat dan Banten untuk mengendalikan polusi udara lintas batas.
“Pemerintah harus segera beralih ke sumber energi terbarukan, melakukan inventarisasi emisi reguler, dan memperketat standar kualitas udara ambien nasional,” kata Bondan.
(jon)