Mengenal Soemitro, Jenderal TNI Bintang Empat Mantan Prajurit PETA Bentukan Jepang
loading...
A
A
A
Kekuasaan Soemitro sangat luas meliputi bidang sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Lembaga ini berwenang melarang unjuk rasa, menangkap figur politik yang dianggap bermasalah, melarang diskusi dengan topik sensitif, dan melakukan sensor media massa. Soemitro pun menjadi orang nomor dua setelah Presiden Soeharto.
Kewenangan Kopkamtib kerap berbenturan dengan kepentingan-kepentingan kelompok kekuasaan lain yang dikoordinasi oleh Asisten Pribadi (Aspri) Presiden Soeharto, Ali Murtopo. Salah satunya terkait keinginan Soemitro memotong keterlibatan militer dalam politik, sementara Ali Murtopo berkehendak sebaliknya. Keduanya pun terlibat dalam persaingan di kancah perpolitikan Indonesia.
Soeharto sempat berupaya mendamaikan keduanya tapi tidak berhasil. Pada akhir 1973, Soemitro malah seakan menjauhi pemerintah. Ia membiarkan kritik-kritik terhadap rezim Soeharto. Bahkan, Soemitro mulai mengunjungi kampus-kampus untuk terlibat dalam diskusi dengan mahasiswa. Dalam pidatonya, Soemitro menawarkan pola kepemimpinan nasional baru yang bisa dicapai ketika rakyat dan pemerintah terjalin komunikasi timbal balik. Pidato yang disampaikan pada November 1973 itu menjadi lampu hijau bagi mahasiswa dan oposisi untuk melakukan koreksi terhadap jalannya pemerintahan nasional.
Namun atas langkahnya ini, Soemitro mengaku diperintah Soeharto. "Pak Harto cerita tentang keadaan kampus yang resah dan meminta agar saya menenangkan kampus-kampus itu. Saya jawab Bersedia, Pak. Tapi ijinkan saya pergi ke Pulau Buru dulu, lalu ke kampus di Jawa Timur (karena saya berasal dari Jawa Timur). Kalau saya berhasil di sana, baru saya akan ke kampus-kampus lainnya," kata Soemitro dalam buku Soemitro, dari Pangdam Mulawarman sampai Pangkopkamtib dikutip, Sabtu (17/12/2022).
Pola kepemimpinan nasional baru yang ditawarkan Soemitro nyatanya memunculkan gerakan mahasiswa di sejumlah kota. Para mahasiswa berdiskusi dan berunjuk rasa atas maraknya korupsi, kemiskinan, pengangguran, serta kenaikan harga bahan pokok. Selain itu, mahasiswa juga menyoroti penanaman modal asing yang tidak memberikan dampak pada kesejahteraan masyarakat.
Kunjungan Perdana Menteri (PM) Jepang Kakuei Tanaka ke Jakarta pada 14 Januari 1974 dimanfaatkan mahasiswa dan kelompok kritis untuk menggelar protes. Namun pada 15 dan 16 Januari, unjuk rasa berubah rusuh dan menyebabkan 11 orang tewas, 300 luka-luka, dan 775 orang ditangkap. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan Malari atau Malapetaka 15 Januari.
Sebagai Pangkopkamtib, Soemitro berusaha menebus kesalahannya dengan memburu dan menindak Senat Mahasiswa Universitas Indonesia. Namun hal itu tidak bisa mengubah keadaan, ia dianggap bertanggung jawab atas unjuk rasa yang berujung kerusuhan tersebut. Tak lama setelah peristiwa Malari, Soemitro akhirnya mengundurkan diri dari jabatan Pangkopkamtib dan Wakil Panglima ABRI.
Soemitro memilih meninggalkan dunia militer untuk menikmati masa tuanya. Golf adalah salah satu olahraga yang kerap dilakukan setelah menjadi warga sipil. Soemitro meninggal dunia di Jakarta pada 10 Mei 1998.
Lihat Juga: 2 Mantan Pangdivif Kostrad Kini Jadi Pangdam, Salah Satunya Teman Seangkatan Panglima TNI
Kewenangan Kopkamtib kerap berbenturan dengan kepentingan-kepentingan kelompok kekuasaan lain yang dikoordinasi oleh Asisten Pribadi (Aspri) Presiden Soeharto, Ali Murtopo. Salah satunya terkait keinginan Soemitro memotong keterlibatan militer dalam politik, sementara Ali Murtopo berkehendak sebaliknya. Keduanya pun terlibat dalam persaingan di kancah perpolitikan Indonesia.
Soeharto sempat berupaya mendamaikan keduanya tapi tidak berhasil. Pada akhir 1973, Soemitro malah seakan menjauhi pemerintah. Ia membiarkan kritik-kritik terhadap rezim Soeharto. Bahkan, Soemitro mulai mengunjungi kampus-kampus untuk terlibat dalam diskusi dengan mahasiswa. Dalam pidatonya, Soemitro menawarkan pola kepemimpinan nasional baru yang bisa dicapai ketika rakyat dan pemerintah terjalin komunikasi timbal balik. Pidato yang disampaikan pada November 1973 itu menjadi lampu hijau bagi mahasiswa dan oposisi untuk melakukan koreksi terhadap jalannya pemerintahan nasional.
Namun atas langkahnya ini, Soemitro mengaku diperintah Soeharto. "Pak Harto cerita tentang keadaan kampus yang resah dan meminta agar saya menenangkan kampus-kampus itu. Saya jawab Bersedia, Pak. Tapi ijinkan saya pergi ke Pulau Buru dulu, lalu ke kampus di Jawa Timur (karena saya berasal dari Jawa Timur). Kalau saya berhasil di sana, baru saya akan ke kampus-kampus lainnya," kata Soemitro dalam buku Soemitro, dari Pangdam Mulawarman sampai Pangkopkamtib dikutip, Sabtu (17/12/2022).
Pola kepemimpinan nasional baru yang ditawarkan Soemitro nyatanya memunculkan gerakan mahasiswa di sejumlah kota. Para mahasiswa berdiskusi dan berunjuk rasa atas maraknya korupsi, kemiskinan, pengangguran, serta kenaikan harga bahan pokok. Selain itu, mahasiswa juga menyoroti penanaman modal asing yang tidak memberikan dampak pada kesejahteraan masyarakat.
Kunjungan Perdana Menteri (PM) Jepang Kakuei Tanaka ke Jakarta pada 14 Januari 1974 dimanfaatkan mahasiswa dan kelompok kritis untuk menggelar protes. Namun pada 15 dan 16 Januari, unjuk rasa berubah rusuh dan menyebabkan 11 orang tewas, 300 luka-luka, dan 775 orang ditangkap. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan Malari atau Malapetaka 15 Januari.
Sebagai Pangkopkamtib, Soemitro berusaha menebus kesalahannya dengan memburu dan menindak Senat Mahasiswa Universitas Indonesia. Namun hal itu tidak bisa mengubah keadaan, ia dianggap bertanggung jawab atas unjuk rasa yang berujung kerusuhan tersebut. Tak lama setelah peristiwa Malari, Soemitro akhirnya mengundurkan diri dari jabatan Pangkopkamtib dan Wakil Panglima ABRI.
Soemitro memilih meninggalkan dunia militer untuk menikmati masa tuanya. Golf adalah salah satu olahraga yang kerap dilakukan setelah menjadi warga sipil. Soemitro meninggal dunia di Jakarta pada 10 Mei 1998.
Lihat Juga: 2 Mantan Pangdivif Kostrad Kini Jadi Pangdam, Salah Satunya Teman Seangkatan Panglima TNI
(abd)