Mengenal Soemitro, Jenderal TNI Bintang Empat Mantan Prajurit PETA Bentukan Jepang
loading...
A
A
A
JAKARTA - Soemitro merupakan Jenderal TNI yang sangat berpengaruh di masa awal kepemimpinan Presiden Soeharto. Memulai karier sebagai tentara sukarela Pembela Tanah Air (PETA) bentukan penjajah Jepang, Soemitro dipercaya menduduki dua jabatan penting sekaligus, Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) dan Wakil Panglima ABRI.
Namun Soemitro harus mengakhiri karier militernya setelah peristiwa Malari meletus. Kerusuhan yang terjadi pada 15 Januari 1974 itu menyebabkan 11 orang tewas, 300 luka-luka, dan 775 ditangkap. Sebagai pertanggungjawaban, Soemitro mundur dari jabatan Pangkopkamtib. Dua bulan setelahnya, ia juga melepaskan jabatan Wakil Panglima ABRI.
Nama lengkapnya Soemitro Sastrodihardjo. Ia lahir di Probolinggo, Jawa Timur, 13 Januari 1927. Ayahnya adalah seorang kasir di Pabrik Gula Gending sekaligus aktivis Partai Nasional Indonesia (PNI), sementara ibunya merupakan ibu rumah tangga biasa.
Baca juga: Rivalitas 2 Jenderal Kepercayaan Presiden, Penuh Intrik dan Saling Jegal
Soemitro kecil mengenyam pendidikan dasar di Hollandsch Inlandsche School (HIS), sekolah untuk bumiputera di zaman penjajahan Belanda. Selesai dari HIS, ia melanjutkan pendidikan di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) dan lulus pada 1944.
Selepas sekolah menengah pertama, Soemitro mendaftar sebagai tentara sukarela Pembela Tanah Air (PETA). Waktu itu, satuan militer bentukan Jepang membuka lowongan sebagai prajurit pembantu. Soemitro diterima dan diberangkatkan ke Bogor, Jawa Barat untuk mengikuti pendidikan.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 1945, seperti kebanyakan tentara PETA, Soemitro juga bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR), cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI). Saat Agresi Belanda II, Soemitro menjabat sebagai Wakil Komandan Sub-Wehkreise di Malang. Dia sukses melakukan perang wingate atau perang gerilya sesuai instruksi Panglima Komando Jawa, Kolonel Nasution, untuk mengamankan wilayahnya.
Sadar pendidikan mendukung karier di militer, pada 1952, Soemitro masuk Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad) di Bandung, Jawa Barat. Namun di tengah Soemitro menjalani pendidikan, terjadi peristiwa 17 Oktober 1952 yang dipicu konflik internal Angkatan Darat dan partai politik. Saat itu, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Kolonel AH Nasution menempatkan tank-tank di sekitar Istana Presiden untuk mendesak Presiden Soekarno membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS).
Seperti diceritakan dalam buku Jenderal Purnawirana Soemitro: Mengungkap Masalah, Menatap Masa Depan (Sebuah Refleksi), Soemitro yang diperintah membela pemerintah pusat, termasuk orang yang dikejar-kejar. Namun ia berhasil melarikan diri ke Jawa Timur. Setelah situasi mereda, ia kembali ke Bandung untuk menyelesaikan pendidikan Seskoad.
Lulus dari Seskoad, karier Soemitro moncer. Ia diangkat menjadi Asisten 2 Panglima Tentara Teritorium (TT) V/Brawijaya. Kemudian jabatannya naik menjadi Kepala Staf Resimen pada 1953 dan Komandan Resimen pada 1955. Setahun kemudian, Soemitro kembali Bandung menjadi pengajar di Seskoad sekaligus mengambil Sekolah Lanjutan Perwira II.
Pada 1958, Soemitro mengikuti Sekolah Infanteri Angkatan Darat Amerika Serikat di Fort Benning. Sekembali dari negeri Paman Sam, ia mendapat jabatan sebagai Komandan Pusat Senjata Infanteri. Soemitro memegang jabatan itu hingga 1963 sekaligus merangkap sebagai Ketua Dewan Perencanaan Angkatan Darat.
Soemitro kembali melanjutkan pendidikan militernya. Ia masuk Sekolah Staf dan Komando ABRI. Setelah selesai, Soemitro berangkat ke luar negeri untuk belajar di Fuhrungsakademie der Bundeswehr di Hamburg, Jerman Barat.
Pulang ke Tanah Air, pada 1965, Soemitro diangkat menjadi Panglima Kodam IX/Mulawarman yang membawahi wilayah Kalimantan Timur. Ia membangun reputasi sebagai jenderal antikomunis dengan menangkapi para pejabat yang terkait Partai Komunis Indonesia (PKI) di Kalimantan Timur. Tindakan itu mendapat teguran dari Presiden Soekarno.
Pada akhir 1965, Panglima Angkatan Darat Mayor Jenderal Soeharto yang tengah berupaya mengambil alih kekuasaan, kemudian menarik Soemitro ke Jakarta untuk menjadi stafnya. Penarikan ini sebagai strategi mendapatkan dukungan dari para perwira dari berbagai etnis. Soemitro dan Basuki Rahmat mewakili Provinsi Jawa Timur.
Ketegangan politik yang terjadi pada Maret 1996 mendorong Soeharto mengumpulkan perwira Angkatan Darat. Soeharto menyampaikan bahwa Presiden Soekarno perlu dipisahkan dengan sejumlah menteri yang diduga terlibat dalam G30S/PKI. Dalam pertemuan itu diputuskan melakukan penangkapan terhadap menteri-menteri tersebut saat sidang pelantikan Kabinet Dwikora pada 11 Maret 1966. Sebagai pelaksananya adalah Resimen Parakommando Angkatan Darat (RPKAD).
Soemitro yang bertugas mencatat perintah kemudian meneruskannya kepada pasukan. Saat pasukan sudah mulai bergerak, salah satu staf pribadi Soeharto, Alamsyah Ratu Prawiranegara menelepon Soemitro untuk menarik pasukan karena Soeharto berubah pikiran. Namun perintah Soeharto itu terlambat, operasi sudah berjalan, Soemitro tak bisa menarik pasukan. Pergerakan ini kemudian yang mendasari Presiden Soekarno mengeluarkan Surat 11 Maret atau dikenal Supersemar.
Soemitro yang loyal kepada Soeharto kemudian ditugaskan kembali ke Jawa Timur menjadi Panglima Kodam VIII/Brawijaya pada pertengahan 1966. Bukan tugas mudah untuk mengamankan Jawa Timur mengingat wilayah ini merupakan provinsi asal Soekarno. Namun dengan kemampuan yang dimiliki, Soemitro berhasil menghilangkan sentimen pro Soekarno dalam komandonya.
Ketika Soeharto dilantik menjadi Plt Presiden RI pada 1967, Soemitro ditarik ke Jakarta. Dia ditempatkan menjadi Asisten Operasi Panglima Angkatan Darat. Karier Soemitro terus menanjak. Dua tahun kemudian, ia dipercaya menjabat Kepala Staf Menteri Pertahanan dan Keamanan.
Berdasarkan buku Soemitro dari Pangdam Mulawarman sampai Pangkopkamtib karya Ramadhan KH (1994), semrawutnya organisasi militer dan melemahnya kewibawaan tentara pasca peristiwa G30S/PKI, mendorong dilakukan reorganisasi pada 1969. Situasi ini mengantarkan Soemitro menduduki jabatan Wakil Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Wapangkopkamtib) yang memiliki tugas mengembalikan kondisi keamanan dan ketertiban.
Soemitro meraih pangkat jenderal penuh, empat bintang, pada 1970. Setahun kemudian dia juga mencapai puncak karier militernya, menjadi Panglima Kopkamtib merangkap Wakil Panglima ABRI. Jabatan Pangkopkamtib sangat prestisius karena memiliki kewenangan penuh atas keamanan dan ketertiban di Indonesia.
Kekuasaan Soemitro sangat luas meliputi bidang sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Lembaga ini berwenang melarang unjuk rasa, menangkap figur politik yang dianggap bermasalah, melarang diskusi dengan topik sensitif, dan melakukan sensor media massa. Soemitro pun menjadi orang nomor dua setelah Presiden Soeharto.
Kewenangan Kopkamtib kerap berbenturan dengan kepentingan-kepentingan kelompok kekuasaan lain yang dikoordinasi oleh Asisten Pribadi (Aspri) Presiden Soeharto, Ali Murtopo. Salah satunya terkait keinginan Soemitro memotong keterlibatan militer dalam politik, sementara Ali Murtopo berkehendak sebaliknya. Keduanya pun terlibat dalam persaingan di kancah perpolitikan Indonesia.
Soeharto sempat berupaya mendamaikan keduanya tapi tidak berhasil. Pada akhir 1973, Soemitro malah seakan menjauhi pemerintah. Ia membiarkan kritik-kritik terhadap rezim Soeharto. Bahkan, Soemitro mulai mengunjungi kampus-kampus untuk terlibat dalam diskusi dengan mahasiswa. Dalam pidatonya, Soemitro menawarkan pola kepemimpinan nasional baru yang bisa dicapai ketika rakyat dan pemerintah terjalin komunikasi timbal balik. Pidato yang disampaikan pada November 1973 itu menjadi lampu hijau bagi mahasiswa dan oposisi untuk melakukan koreksi terhadap jalannya pemerintahan nasional.
Namun atas langkahnya ini, Soemitro mengaku diperintah Soeharto. "Pak Harto cerita tentang keadaan kampus yang resah dan meminta agar saya menenangkan kampus-kampus itu. Saya jawab Bersedia, Pak. Tapi ijinkan saya pergi ke Pulau Buru dulu, lalu ke kampus di Jawa Timur (karena saya berasal dari Jawa Timur). Kalau saya berhasil di sana, baru saya akan ke kampus-kampus lainnya," kata Soemitro dalam buku Soemitro, dari Pangdam Mulawarman sampai Pangkopkamtib dikutip, Sabtu (17/12/2022).
Pola kepemimpinan nasional baru yang ditawarkan Soemitro nyatanya memunculkan gerakan mahasiswa di sejumlah kota. Para mahasiswa berdiskusi dan berunjuk rasa atas maraknya korupsi, kemiskinan, pengangguran, serta kenaikan harga bahan pokok. Selain itu, mahasiswa juga menyoroti penanaman modal asing yang tidak memberikan dampak pada kesejahteraan masyarakat.
Kunjungan Perdana Menteri (PM) Jepang Kakuei Tanaka ke Jakarta pada 14 Januari 1974 dimanfaatkan mahasiswa dan kelompok kritis untuk menggelar protes. Namun pada 15 dan 16 Januari, unjuk rasa berubah rusuh dan menyebabkan 11 orang tewas, 300 luka-luka, dan 775 orang ditangkap. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan Malari atau Malapetaka 15 Januari.
Sebagai Pangkopkamtib, Soemitro berusaha menebus kesalahannya dengan memburu dan menindak Senat Mahasiswa Universitas Indonesia. Namun hal itu tidak bisa mengubah keadaan, ia dianggap bertanggung jawab atas unjuk rasa yang berujung kerusuhan tersebut. Tak lama setelah peristiwa Malari, Soemitro akhirnya mengundurkan diri dari jabatan Pangkopkamtib dan Wakil Panglima ABRI.
Soemitro memilih meninggalkan dunia militer untuk menikmati masa tuanya. Golf adalah salah satu olahraga yang kerap dilakukan setelah menjadi warga sipil. Soemitro meninggal dunia di Jakarta pada 10 Mei 1998.
Namun Soemitro harus mengakhiri karier militernya setelah peristiwa Malari meletus. Kerusuhan yang terjadi pada 15 Januari 1974 itu menyebabkan 11 orang tewas, 300 luka-luka, dan 775 ditangkap. Sebagai pertanggungjawaban, Soemitro mundur dari jabatan Pangkopkamtib. Dua bulan setelahnya, ia juga melepaskan jabatan Wakil Panglima ABRI.
Nama lengkapnya Soemitro Sastrodihardjo. Ia lahir di Probolinggo, Jawa Timur, 13 Januari 1927. Ayahnya adalah seorang kasir di Pabrik Gula Gending sekaligus aktivis Partai Nasional Indonesia (PNI), sementara ibunya merupakan ibu rumah tangga biasa.
Baca juga: Rivalitas 2 Jenderal Kepercayaan Presiden, Penuh Intrik dan Saling Jegal
Soemitro kecil mengenyam pendidikan dasar di Hollandsch Inlandsche School (HIS), sekolah untuk bumiputera di zaman penjajahan Belanda. Selesai dari HIS, ia melanjutkan pendidikan di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) dan lulus pada 1944.
Selepas sekolah menengah pertama, Soemitro mendaftar sebagai tentara sukarela Pembela Tanah Air (PETA). Waktu itu, satuan militer bentukan Jepang membuka lowongan sebagai prajurit pembantu. Soemitro diterima dan diberangkatkan ke Bogor, Jawa Barat untuk mengikuti pendidikan.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 1945, seperti kebanyakan tentara PETA, Soemitro juga bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR), cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI). Saat Agresi Belanda II, Soemitro menjabat sebagai Wakil Komandan Sub-Wehkreise di Malang. Dia sukses melakukan perang wingate atau perang gerilya sesuai instruksi Panglima Komando Jawa, Kolonel Nasution, untuk mengamankan wilayahnya.
Sadar pendidikan mendukung karier di militer, pada 1952, Soemitro masuk Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad) di Bandung, Jawa Barat. Namun di tengah Soemitro menjalani pendidikan, terjadi peristiwa 17 Oktober 1952 yang dipicu konflik internal Angkatan Darat dan partai politik. Saat itu, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Kolonel AH Nasution menempatkan tank-tank di sekitar Istana Presiden untuk mendesak Presiden Soekarno membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS).
Seperti diceritakan dalam buku Jenderal Purnawirana Soemitro: Mengungkap Masalah, Menatap Masa Depan (Sebuah Refleksi), Soemitro yang diperintah membela pemerintah pusat, termasuk orang yang dikejar-kejar. Namun ia berhasil melarikan diri ke Jawa Timur. Setelah situasi mereda, ia kembali ke Bandung untuk menyelesaikan pendidikan Seskoad.
Lulus dari Seskoad, karier Soemitro moncer. Ia diangkat menjadi Asisten 2 Panglima Tentara Teritorium (TT) V/Brawijaya. Kemudian jabatannya naik menjadi Kepala Staf Resimen pada 1953 dan Komandan Resimen pada 1955. Setahun kemudian, Soemitro kembali Bandung menjadi pengajar di Seskoad sekaligus mengambil Sekolah Lanjutan Perwira II.
Pada 1958, Soemitro mengikuti Sekolah Infanteri Angkatan Darat Amerika Serikat di Fort Benning. Sekembali dari negeri Paman Sam, ia mendapat jabatan sebagai Komandan Pusat Senjata Infanteri. Soemitro memegang jabatan itu hingga 1963 sekaligus merangkap sebagai Ketua Dewan Perencanaan Angkatan Darat.
Soemitro kembali melanjutkan pendidikan militernya. Ia masuk Sekolah Staf dan Komando ABRI. Setelah selesai, Soemitro berangkat ke luar negeri untuk belajar di Fuhrungsakademie der Bundeswehr di Hamburg, Jerman Barat.
Pulang ke Tanah Air, pada 1965, Soemitro diangkat menjadi Panglima Kodam IX/Mulawarman yang membawahi wilayah Kalimantan Timur. Ia membangun reputasi sebagai jenderal antikomunis dengan menangkapi para pejabat yang terkait Partai Komunis Indonesia (PKI) di Kalimantan Timur. Tindakan itu mendapat teguran dari Presiden Soekarno.
Pada akhir 1965, Panglima Angkatan Darat Mayor Jenderal Soeharto yang tengah berupaya mengambil alih kekuasaan, kemudian menarik Soemitro ke Jakarta untuk menjadi stafnya. Penarikan ini sebagai strategi mendapatkan dukungan dari para perwira dari berbagai etnis. Soemitro dan Basuki Rahmat mewakili Provinsi Jawa Timur.
Ketegangan politik yang terjadi pada Maret 1996 mendorong Soeharto mengumpulkan perwira Angkatan Darat. Soeharto menyampaikan bahwa Presiden Soekarno perlu dipisahkan dengan sejumlah menteri yang diduga terlibat dalam G30S/PKI. Dalam pertemuan itu diputuskan melakukan penangkapan terhadap menteri-menteri tersebut saat sidang pelantikan Kabinet Dwikora pada 11 Maret 1966. Sebagai pelaksananya adalah Resimen Parakommando Angkatan Darat (RPKAD).
Soemitro yang bertugas mencatat perintah kemudian meneruskannya kepada pasukan. Saat pasukan sudah mulai bergerak, salah satu staf pribadi Soeharto, Alamsyah Ratu Prawiranegara menelepon Soemitro untuk menarik pasukan karena Soeharto berubah pikiran. Namun perintah Soeharto itu terlambat, operasi sudah berjalan, Soemitro tak bisa menarik pasukan. Pergerakan ini kemudian yang mendasari Presiden Soekarno mengeluarkan Surat 11 Maret atau dikenal Supersemar.
Soemitro yang loyal kepada Soeharto kemudian ditugaskan kembali ke Jawa Timur menjadi Panglima Kodam VIII/Brawijaya pada pertengahan 1966. Bukan tugas mudah untuk mengamankan Jawa Timur mengingat wilayah ini merupakan provinsi asal Soekarno. Namun dengan kemampuan yang dimiliki, Soemitro berhasil menghilangkan sentimen pro Soekarno dalam komandonya.
Ketika Soeharto dilantik menjadi Plt Presiden RI pada 1967, Soemitro ditarik ke Jakarta. Dia ditempatkan menjadi Asisten Operasi Panglima Angkatan Darat. Karier Soemitro terus menanjak. Dua tahun kemudian, ia dipercaya menjabat Kepala Staf Menteri Pertahanan dan Keamanan.
Berdasarkan buku Soemitro dari Pangdam Mulawarman sampai Pangkopkamtib karya Ramadhan KH (1994), semrawutnya organisasi militer dan melemahnya kewibawaan tentara pasca peristiwa G30S/PKI, mendorong dilakukan reorganisasi pada 1969. Situasi ini mengantarkan Soemitro menduduki jabatan Wakil Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Wapangkopkamtib) yang memiliki tugas mengembalikan kondisi keamanan dan ketertiban.
Soemitro meraih pangkat jenderal penuh, empat bintang, pada 1970. Setahun kemudian dia juga mencapai puncak karier militernya, menjadi Panglima Kopkamtib merangkap Wakil Panglima ABRI. Jabatan Pangkopkamtib sangat prestisius karena memiliki kewenangan penuh atas keamanan dan ketertiban di Indonesia.
Kekuasaan Soemitro sangat luas meliputi bidang sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Lembaga ini berwenang melarang unjuk rasa, menangkap figur politik yang dianggap bermasalah, melarang diskusi dengan topik sensitif, dan melakukan sensor media massa. Soemitro pun menjadi orang nomor dua setelah Presiden Soeharto.
Kewenangan Kopkamtib kerap berbenturan dengan kepentingan-kepentingan kelompok kekuasaan lain yang dikoordinasi oleh Asisten Pribadi (Aspri) Presiden Soeharto, Ali Murtopo. Salah satunya terkait keinginan Soemitro memotong keterlibatan militer dalam politik, sementara Ali Murtopo berkehendak sebaliknya. Keduanya pun terlibat dalam persaingan di kancah perpolitikan Indonesia.
Soeharto sempat berupaya mendamaikan keduanya tapi tidak berhasil. Pada akhir 1973, Soemitro malah seakan menjauhi pemerintah. Ia membiarkan kritik-kritik terhadap rezim Soeharto. Bahkan, Soemitro mulai mengunjungi kampus-kampus untuk terlibat dalam diskusi dengan mahasiswa. Dalam pidatonya, Soemitro menawarkan pola kepemimpinan nasional baru yang bisa dicapai ketika rakyat dan pemerintah terjalin komunikasi timbal balik. Pidato yang disampaikan pada November 1973 itu menjadi lampu hijau bagi mahasiswa dan oposisi untuk melakukan koreksi terhadap jalannya pemerintahan nasional.
Namun atas langkahnya ini, Soemitro mengaku diperintah Soeharto. "Pak Harto cerita tentang keadaan kampus yang resah dan meminta agar saya menenangkan kampus-kampus itu. Saya jawab Bersedia, Pak. Tapi ijinkan saya pergi ke Pulau Buru dulu, lalu ke kampus di Jawa Timur (karena saya berasal dari Jawa Timur). Kalau saya berhasil di sana, baru saya akan ke kampus-kampus lainnya," kata Soemitro dalam buku Soemitro, dari Pangdam Mulawarman sampai Pangkopkamtib dikutip, Sabtu (17/12/2022).
Pola kepemimpinan nasional baru yang ditawarkan Soemitro nyatanya memunculkan gerakan mahasiswa di sejumlah kota. Para mahasiswa berdiskusi dan berunjuk rasa atas maraknya korupsi, kemiskinan, pengangguran, serta kenaikan harga bahan pokok. Selain itu, mahasiswa juga menyoroti penanaman modal asing yang tidak memberikan dampak pada kesejahteraan masyarakat.
Kunjungan Perdana Menteri (PM) Jepang Kakuei Tanaka ke Jakarta pada 14 Januari 1974 dimanfaatkan mahasiswa dan kelompok kritis untuk menggelar protes. Namun pada 15 dan 16 Januari, unjuk rasa berubah rusuh dan menyebabkan 11 orang tewas, 300 luka-luka, dan 775 orang ditangkap. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan Malari atau Malapetaka 15 Januari.
Sebagai Pangkopkamtib, Soemitro berusaha menebus kesalahannya dengan memburu dan menindak Senat Mahasiswa Universitas Indonesia. Namun hal itu tidak bisa mengubah keadaan, ia dianggap bertanggung jawab atas unjuk rasa yang berujung kerusuhan tersebut. Tak lama setelah peristiwa Malari, Soemitro akhirnya mengundurkan diri dari jabatan Pangkopkamtib dan Wakil Panglima ABRI.
Soemitro memilih meninggalkan dunia militer untuk menikmati masa tuanya. Golf adalah salah satu olahraga yang kerap dilakukan setelah menjadi warga sipil. Soemitro meninggal dunia di Jakarta pada 10 Mei 1998.
(abd)