Menavigasi Ekonomi Daerah dalam Pergolakan Global
loading...
A
A
A
Adhitya Wardhono
Dosen dan Peneliti Ekonomi Jurusan Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis-Universitas Jember, Koordinator Kelompok Riset Behavioral Economics on Monetary, Financial, and Development Policy” (Ke-Ris Benefitly)- Universitas Jember
KINERJA ekonomi daerah secara agregatif diyakini bisa menjadi pilar pergerakan ekonomi nasional. Meski, nuasa kecemasan kinerja ekonomi daerah kini mirip akhir 2019 lalu. Ketika itu kecemasan dunia membuncah melalui perseteruan pelik soal dagang Amerika-Tiongkok.
Kini tak jauh beda meski dengan pernik-pernik lebih tajam di tengah pemulihan pandemi. Mengarus pada hasil Laporan Nusantara BI rilis Oktober 2022 lalu, perekonomian terkini masih eksis dan diperkirakan terus tumbuh dalam kisaran 4,5% hingga 5,3%.
Dalam perspektif spasial, ekonomi daerah sangat bertumpu pada permintaan domestik, khususnya kinerja ekspor. Ini terbukti dari kontribusi ekspor nonmigas berbasis sumber daya alam (SDA) hingga triwulan III di berbagai daerah yang masih kuat. Sehingga secara tidak langsung ikut menopang perbaikan lapangan usaha, seperti pertambangan dan pengolahan.
Baca Juga: koran-sindo.com
Sebagaimana dipaparkan Nicholas Kaldor, ekonom bermazhab Post Keynesian, perekonomian daerah sejatinya memang didorong oleh ekspor. Baginya, komponen ekspor adalah satu-satunya permintaan agregat yang bersifat otonom baik di tingkat regional maupun nasional. Sedangkan permintaan dari konsumsi dan investasi, dianggapnya sebagai hasil dari pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Logikanya bisa dirunut dari konsep animal spirit, di mana keputusan para agen ekonomi didasarkan pada aspek psikologis seperti optimisme prospek pertumbuhan ekonomi.
Bisa ditarik simpulan bahwa aktivitas ekspor menjadi instrumen penting mendorong pertumbuhan ekonomi daerah yang nantinya berujung pada kinerja ekonomi nasional.
Pada titik ini, masuk akal bila daerah seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi-Maluku-Papua (Sulampua), dan Bali-Nusa Tenggara (Balinusra) sangat beruntung dan memiliki kontribusi besar pada perekonomian nasional. Pasalnya, katalisator perekonomian daerah tersebut berasal dari komoditas alam seperti CPO, batu bara, besi baja, serta tembaga yang diekspor. Di mana komoditas itu adalah ekspor andalan Indonesia.
Namun, dalam turbulensi ekonomi global, yang dimulai dari ketegangan geopolitik hingga kini, pelemahan ekonomi Tiongkok, dan pengetatan kebijakan di negara maju, membuat proyeksi di tahun 2023 menjadi suram. Ini menarik bila coba ditelisik dari periskop ekonomi daerah.
Reseliensi Ekonomi Daerah
Kendati isu resesi yang berhembus kencang, kinerja ekspor di Sumatera dan Kalimantan masih diperkirakan tinggi. Sebabnya, harga batu bara masih mahal disertai dengan kebutuhan energi global yang tinggi. Lebih dari itu, cuaca yang bersahabat dan ketersediaan alat berat yang memadai membuat kinerja produksi batu bara lebih baik.
Dosen dan Peneliti Ekonomi Jurusan Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis-Universitas Jember, Koordinator Kelompok Riset Behavioral Economics on Monetary, Financial, and Development Policy” (Ke-Ris Benefitly)- Universitas Jember
KINERJA ekonomi daerah secara agregatif diyakini bisa menjadi pilar pergerakan ekonomi nasional. Meski, nuasa kecemasan kinerja ekonomi daerah kini mirip akhir 2019 lalu. Ketika itu kecemasan dunia membuncah melalui perseteruan pelik soal dagang Amerika-Tiongkok.
Kini tak jauh beda meski dengan pernik-pernik lebih tajam di tengah pemulihan pandemi. Mengarus pada hasil Laporan Nusantara BI rilis Oktober 2022 lalu, perekonomian terkini masih eksis dan diperkirakan terus tumbuh dalam kisaran 4,5% hingga 5,3%.
Dalam perspektif spasial, ekonomi daerah sangat bertumpu pada permintaan domestik, khususnya kinerja ekspor. Ini terbukti dari kontribusi ekspor nonmigas berbasis sumber daya alam (SDA) hingga triwulan III di berbagai daerah yang masih kuat. Sehingga secara tidak langsung ikut menopang perbaikan lapangan usaha, seperti pertambangan dan pengolahan.
Baca Juga: koran-sindo.com
Sebagaimana dipaparkan Nicholas Kaldor, ekonom bermazhab Post Keynesian, perekonomian daerah sejatinya memang didorong oleh ekspor. Baginya, komponen ekspor adalah satu-satunya permintaan agregat yang bersifat otonom baik di tingkat regional maupun nasional. Sedangkan permintaan dari konsumsi dan investasi, dianggapnya sebagai hasil dari pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Logikanya bisa dirunut dari konsep animal spirit, di mana keputusan para agen ekonomi didasarkan pada aspek psikologis seperti optimisme prospek pertumbuhan ekonomi.
Bisa ditarik simpulan bahwa aktivitas ekspor menjadi instrumen penting mendorong pertumbuhan ekonomi daerah yang nantinya berujung pada kinerja ekonomi nasional.
Pada titik ini, masuk akal bila daerah seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi-Maluku-Papua (Sulampua), dan Bali-Nusa Tenggara (Balinusra) sangat beruntung dan memiliki kontribusi besar pada perekonomian nasional. Pasalnya, katalisator perekonomian daerah tersebut berasal dari komoditas alam seperti CPO, batu bara, besi baja, serta tembaga yang diekspor. Di mana komoditas itu adalah ekspor andalan Indonesia.
Namun, dalam turbulensi ekonomi global, yang dimulai dari ketegangan geopolitik hingga kini, pelemahan ekonomi Tiongkok, dan pengetatan kebijakan di negara maju, membuat proyeksi di tahun 2023 menjadi suram. Ini menarik bila coba ditelisik dari periskop ekonomi daerah.
Reseliensi Ekonomi Daerah
Kendati isu resesi yang berhembus kencang, kinerja ekspor di Sumatera dan Kalimantan masih diperkirakan tinggi. Sebabnya, harga batu bara masih mahal disertai dengan kebutuhan energi global yang tinggi. Lebih dari itu, cuaca yang bersahabat dan ketersediaan alat berat yang memadai membuat kinerja produksi batu bara lebih baik.