Telenursing Jadi Tren Pelayanan Keperawatan 2023?
loading...
A
A
A
Rr.Tutik Sri Hariyati
Profesor Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Ketua Peneliti Kluster Nursing Informatics, Bidang Penelitian DPP PPNI, Ketua Forum Perawat Informatika Indonesia, Chair of Technical Working Group- DTO Kemenkes
“JIKA sakit maka pergilah ke dokter perawat, klinik, atau rumah sakit;--tapi sekarang tidak itu saja, dengan hitungan detik, jari kita bisa memesan hallo..doc, dan tele….. yang dengan mudah kita cari melalui internet, dan kita akan dapat advice atau obat.”
Perkembanganteknologi sangatlah pesat, termasuk pada bidang kesehatan. Refleksi akhir tahun 2022 ini saya fokuskan pada perkembangan telemedicine dan telenursing seperti yang dilustrasikan di paragraf pertama tulisan ini. Pada dekade masa kini telah terjadi perubahan, dan budaya konsumen dalam mencari bantuan atas kesehatannya, tidak hanya secara konvensional pergi ke fasilitas kesehatan, tetapi juga menggunakan fasilitas telemedicine.
Baca Juga: koran-sindo.com
Mengutip hasil survey Asia-Pacific Front Line of Healthcare Report, pada 2022 terjadi kenaikan penggunaan telehealth dan akan meningkat sampai 2025. Menurut Permenkes Nomor 20 Tahun 2019, telemedicine merupakan pemberian pelayanan kesehatan jarak jauh oleh profesional kesehatan dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi, meliputi pertukaran informasi diagnosis, pengobatan, pencegahan penyakit dan cedera, penelitian dan evaluasi, dan pendidikan berkelanjutan penyedia layanan kesehatan untuk kepentingan peningkatan kesehatan individu dan masyarakat.
Merujuk dari definisi ini maka telemedicine tidak hanya untuk dokter tetapi untuk profesional kesehatan termasuk perawat.
Telemedicine yang dilaksanakan antara fasilitas pelayanan kesehatan satu dengan fasilitas pelayanan kesehatan yang lain berupa konsultasi untuk menegakkan diagnosis, terapi, dan/atau pencegahan penyakit.
Telemedicine di Indonesia semakin berkembang saat era Covid-19. Berkembangnya startup juga mendorong berkembangnya telemedicine. Tercatat beberapa keuntungan saat menggunakan telemecine antara lain, efisien waktu karena tidak memerlukan pergi ke fasilitas kesehatan, tidak perlu mengantre, mengurangi transmisi infeksi, serta biayanyapun dapat terjangkau. Di samping kelebihan, tentunya juga mempunyai kekurangan antara lain tidak mengetahui bagaimana standardisasi akreditasi dari penyedia, tidak mengenal dokter yang akan memberikan layanan, serta tidak bisa berinteraksi langsung dengan petugas kesehatan.
Telemedicine sendiri saat ini juga tidak hanya dilakukan oleh dokter, tetapi juga oleh perawat yang sering kita kenal dengan telenursing. Telenursing diarahkan oleh International Council of Nurses untuk dapat menjangkau seluruh masyarakat, meningkatkan interkolaborasi dan juga untuk kesinambungan perawatan primer, sekunder dan tersier, serta sebagai bagian dalam pencapaian Sustainable Development Goals/SDGs.
Telenursing di luar negeri sudah menjadi kebutuhan dengan berbagai keunggulannya yaitu membantu monitoring, dan kesinambungan pascarawat, sebagai alat untuk konsultasi dan edukasi, pemberian advise ke pasien, serta sebagai alat untuk konsul pada expert keperawatan. Berbagai scope of telenursing practices, guide, white-paper, standar pelatihan telenursing and nursing informatics telah sangat berkembang di luar negeri. Lalu bagaimana telenursing di Indonesia?
Sebuah tantangan di Indonesia mengingat turunan regulasi dari Peraturan Menteri Kesehatan Telemedicine bagi keperawatan belum ada, namun jika dilihat dari kebutuhannya sudah sangat banyak, serta praktiknya juga telah dilaksanakan, baik di rumah sakit, puskesmas maupun praktik mandiri.
Di sisi lain masih muncul pertanyaan kalau di Indonesia banyak startup tentang pengobatan dari dokter, mengapa belum banyak untuk keperawatan? Pertanyaan yang lain lagi adalah, apakah boleh perawat di Indonesia melaksanakan telenursing secara mandiri? Bukankah perawat itu asuhannya mengedepankan caring, sentuhan dan kedekatan dengan klien? Apakah telenursing ini akan bisa menjadi alternatif di Indonesia?
Berbagai pertanyaan ini mendorong kami sebagai peneliti kluster, “Nursing Informatics,” dari Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia mengadakan survei dan Focus Group Discussion (FGD). Hasil survei pada 118 responden yang melaksanakan pelayanan berbantu teknologi atau disebut telenursing, menyampaikan bahwa semua mempunyai Surat Tanda Regristasi (STR) dan Surat Izin Praktik Perawat (SIPP). Responden mayoritas bekerja di fasilitas pelayanan keperawatan seperti rumah sakit, puskesmas, klinik, dan praktik mandiri perawat. Hampir semua responden merasakan manfaat telenursing, dan pelangganpun tidak ada komplain secara bermakna.
Dalam melaksanakan telenursing, mereka rata-rata menggunakan fasilitas ponsel, komputer, dengan sistem Android maupun web-based. Beberapa responden juga menyatakan belum melengkapi dengan fasilitas rekam medik yang adekuat, dan menyadari bahwa pelayanannya dalam menggunakan telenursing perlu mendapatkan penguatan legalisasi dan standarisasi.
Kami juga melaksanakan FGD dengan para pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dari rumah sakit, puskesmas, klinik, praktik mandiri perawat, serta organisasi Persatuan Nasional Perawat Indonesia (PPNI), Himpunan Perawat Manajer Indonesia, Forum Perawat Informatika Indonesia, dan Perhimpunan Seluruh Rumah sakit Indonesia (PERSI) pada Oktober 2022. Yang menarik dari hasil FGD adalah, perlu pengembangan pedoman dan white-paper bagi telenursing. Perlu adanya standardisasi asuhan, dan mengidentifikasi asuhan mana yang dapat dilaksanakan melalui telenursing, seperti follow-up perkembangan pasien pascarawat, monitoring progres asuhan, edukasi, konsul expert dan tindakan lain.
Telenursing tidak diarahkan untuk menggantikan asuhan keperawatan secara penuh, tetapi lebih ke arah pendamping, sehingga bentuk yang dianjurkan adalah melalui blended yaitu asuhan langsung dan juga berbantu teknologi. Dalam menggunakan telenursing perlu mengedepankan etik profesi, menjaga keamanan dan privasi serta mengedepankan asuhan berbasis caring baik saat asuhan secara langsung maupun berbantu teknologi.
Dari sisi sumber daya manusia (SDM), perlu standarisasi perawat; dan jika merujuk pada Undang-Undang Keperawatan Nomor 38 Tahun 2014, maka yang mempunyai kewenangan adalah perawat yang mempunyai STR dan SIPP, serta setelah 7 tahun sejak dikeluarkannya Permenkes 26 Tahun 2019, maka bagi perawat D3 yang berpraktik di praktik mandiri harus meningkatkan pendidikannya menjadi Ners. Pada asuhan keperawatan telenursing juga harus dibekali dengan kompetensi literasi komputer, literasi informasi dan literasi data manajemen, maka sebaiknya juga setiap perawat yang berpraktik menggunakan bantuan teknologi mendapat pelatihan 3 komponen, yaitu literasi dasar dalam nursing informatics.
Bagaimana dengan tempat praktik? Apakah semua free boleh melaksanakan telenursing? Hasil FGD menyarankan telenursing sebaiknya dilaksanakan pada Fasyankes yang mempunyai izin, hal ini juga sesuai dengan UU Keperawatan dan Permenkes 26 Tahun 2019. Sarana-prasarana juga harus ditingkatkan terutama dari sisi dokumentasi rekam medis harus adekuat dan harus memenuhi standarisasi dari rekam medis pasien yang mengedepankan kelengkapanan dan legalitas data, keamanan serta privasi data. Alat dan media telenursing sebaiknya juga tidak bergabung dengan perangkat pribadi yang mempunyai risiko tinggi pada kemanan dan privasi data.
Secara nasional juga seharusnya dibangun “sistem satu sehat Indonesia,” sehingga data masyarakat aman, dan interoperability ini dapat menjadi bigdata yang dapat dianalisis dan digunakan untuk program pengembangan dan perbaikan yang manfaatnya dikembalikan bagi kesejahteraan umat.
Sebuah tantangan pada 2023, diyakini telemedicine dan telenursing akan semakin berkembang seperti jamur. Tentunya perlu kerja keras bahu membahu dari berbagai stakeholder, seperti kementerian terkait, organisi profesi, fasilitas kesehatan, universitas, peneliti dan masyarakat dalam mengawal implementasi telemedicine dan telenursing. Secara khusus hasil FGD ini seyogianya akan menjadi start dalam mengembakan white-paper dan pedoman implementasi yang lebih operasional bagi implementasi telenursing.
Pada dasarnya setiap program yang dikembangkan harusnya dikembalikan kemanfaatannya bagi masyarakat. Telenursing sudah banyak membuktikan bermanfaat baik maka mari kita kawal implementasinya untuk menurunkan risiko yang kurang menguntungkan dan menuju perubahan yang lebih baik untuk masyarakat yang lebih sehat dan sejahtera.
Profesor Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Ketua Peneliti Kluster Nursing Informatics, Bidang Penelitian DPP PPNI, Ketua Forum Perawat Informatika Indonesia, Chair of Technical Working Group- DTO Kemenkes
“JIKA sakit maka pergilah ke dokter perawat, klinik, atau rumah sakit;--tapi sekarang tidak itu saja, dengan hitungan detik, jari kita bisa memesan hallo..doc, dan tele….. yang dengan mudah kita cari melalui internet, dan kita akan dapat advice atau obat.”
Perkembanganteknologi sangatlah pesat, termasuk pada bidang kesehatan. Refleksi akhir tahun 2022 ini saya fokuskan pada perkembangan telemedicine dan telenursing seperti yang dilustrasikan di paragraf pertama tulisan ini. Pada dekade masa kini telah terjadi perubahan, dan budaya konsumen dalam mencari bantuan atas kesehatannya, tidak hanya secara konvensional pergi ke fasilitas kesehatan, tetapi juga menggunakan fasilitas telemedicine.
Baca Juga: koran-sindo.com
Mengutip hasil survey Asia-Pacific Front Line of Healthcare Report, pada 2022 terjadi kenaikan penggunaan telehealth dan akan meningkat sampai 2025. Menurut Permenkes Nomor 20 Tahun 2019, telemedicine merupakan pemberian pelayanan kesehatan jarak jauh oleh profesional kesehatan dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi, meliputi pertukaran informasi diagnosis, pengobatan, pencegahan penyakit dan cedera, penelitian dan evaluasi, dan pendidikan berkelanjutan penyedia layanan kesehatan untuk kepentingan peningkatan kesehatan individu dan masyarakat.
Merujuk dari definisi ini maka telemedicine tidak hanya untuk dokter tetapi untuk profesional kesehatan termasuk perawat.
Telemedicine yang dilaksanakan antara fasilitas pelayanan kesehatan satu dengan fasilitas pelayanan kesehatan yang lain berupa konsultasi untuk menegakkan diagnosis, terapi, dan/atau pencegahan penyakit.
Telemedicine di Indonesia semakin berkembang saat era Covid-19. Berkembangnya startup juga mendorong berkembangnya telemedicine. Tercatat beberapa keuntungan saat menggunakan telemecine antara lain, efisien waktu karena tidak memerlukan pergi ke fasilitas kesehatan, tidak perlu mengantre, mengurangi transmisi infeksi, serta biayanyapun dapat terjangkau. Di samping kelebihan, tentunya juga mempunyai kekurangan antara lain tidak mengetahui bagaimana standardisasi akreditasi dari penyedia, tidak mengenal dokter yang akan memberikan layanan, serta tidak bisa berinteraksi langsung dengan petugas kesehatan.
Telemedicine sendiri saat ini juga tidak hanya dilakukan oleh dokter, tetapi juga oleh perawat yang sering kita kenal dengan telenursing. Telenursing diarahkan oleh International Council of Nurses untuk dapat menjangkau seluruh masyarakat, meningkatkan interkolaborasi dan juga untuk kesinambungan perawatan primer, sekunder dan tersier, serta sebagai bagian dalam pencapaian Sustainable Development Goals/SDGs.
Telenursing di luar negeri sudah menjadi kebutuhan dengan berbagai keunggulannya yaitu membantu monitoring, dan kesinambungan pascarawat, sebagai alat untuk konsultasi dan edukasi, pemberian advise ke pasien, serta sebagai alat untuk konsul pada expert keperawatan. Berbagai scope of telenursing practices, guide, white-paper, standar pelatihan telenursing and nursing informatics telah sangat berkembang di luar negeri. Lalu bagaimana telenursing di Indonesia?
Sebuah tantangan di Indonesia mengingat turunan regulasi dari Peraturan Menteri Kesehatan Telemedicine bagi keperawatan belum ada, namun jika dilihat dari kebutuhannya sudah sangat banyak, serta praktiknya juga telah dilaksanakan, baik di rumah sakit, puskesmas maupun praktik mandiri.
Di sisi lain masih muncul pertanyaan kalau di Indonesia banyak startup tentang pengobatan dari dokter, mengapa belum banyak untuk keperawatan? Pertanyaan yang lain lagi adalah, apakah boleh perawat di Indonesia melaksanakan telenursing secara mandiri? Bukankah perawat itu asuhannya mengedepankan caring, sentuhan dan kedekatan dengan klien? Apakah telenursing ini akan bisa menjadi alternatif di Indonesia?
Berbagai pertanyaan ini mendorong kami sebagai peneliti kluster, “Nursing Informatics,” dari Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia mengadakan survei dan Focus Group Discussion (FGD). Hasil survei pada 118 responden yang melaksanakan pelayanan berbantu teknologi atau disebut telenursing, menyampaikan bahwa semua mempunyai Surat Tanda Regristasi (STR) dan Surat Izin Praktik Perawat (SIPP). Responden mayoritas bekerja di fasilitas pelayanan keperawatan seperti rumah sakit, puskesmas, klinik, dan praktik mandiri perawat. Hampir semua responden merasakan manfaat telenursing, dan pelangganpun tidak ada komplain secara bermakna.
Dalam melaksanakan telenursing, mereka rata-rata menggunakan fasilitas ponsel, komputer, dengan sistem Android maupun web-based. Beberapa responden juga menyatakan belum melengkapi dengan fasilitas rekam medik yang adekuat, dan menyadari bahwa pelayanannya dalam menggunakan telenursing perlu mendapatkan penguatan legalisasi dan standarisasi.
Kami juga melaksanakan FGD dengan para pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dari rumah sakit, puskesmas, klinik, praktik mandiri perawat, serta organisasi Persatuan Nasional Perawat Indonesia (PPNI), Himpunan Perawat Manajer Indonesia, Forum Perawat Informatika Indonesia, dan Perhimpunan Seluruh Rumah sakit Indonesia (PERSI) pada Oktober 2022. Yang menarik dari hasil FGD adalah, perlu pengembangan pedoman dan white-paper bagi telenursing. Perlu adanya standardisasi asuhan, dan mengidentifikasi asuhan mana yang dapat dilaksanakan melalui telenursing, seperti follow-up perkembangan pasien pascarawat, monitoring progres asuhan, edukasi, konsul expert dan tindakan lain.
Telenursing tidak diarahkan untuk menggantikan asuhan keperawatan secara penuh, tetapi lebih ke arah pendamping, sehingga bentuk yang dianjurkan adalah melalui blended yaitu asuhan langsung dan juga berbantu teknologi. Dalam menggunakan telenursing perlu mengedepankan etik profesi, menjaga keamanan dan privasi serta mengedepankan asuhan berbasis caring baik saat asuhan secara langsung maupun berbantu teknologi.
Dari sisi sumber daya manusia (SDM), perlu standarisasi perawat; dan jika merujuk pada Undang-Undang Keperawatan Nomor 38 Tahun 2014, maka yang mempunyai kewenangan adalah perawat yang mempunyai STR dan SIPP, serta setelah 7 tahun sejak dikeluarkannya Permenkes 26 Tahun 2019, maka bagi perawat D3 yang berpraktik di praktik mandiri harus meningkatkan pendidikannya menjadi Ners. Pada asuhan keperawatan telenursing juga harus dibekali dengan kompetensi literasi komputer, literasi informasi dan literasi data manajemen, maka sebaiknya juga setiap perawat yang berpraktik menggunakan bantuan teknologi mendapat pelatihan 3 komponen, yaitu literasi dasar dalam nursing informatics.
Bagaimana dengan tempat praktik? Apakah semua free boleh melaksanakan telenursing? Hasil FGD menyarankan telenursing sebaiknya dilaksanakan pada Fasyankes yang mempunyai izin, hal ini juga sesuai dengan UU Keperawatan dan Permenkes 26 Tahun 2019. Sarana-prasarana juga harus ditingkatkan terutama dari sisi dokumentasi rekam medis harus adekuat dan harus memenuhi standarisasi dari rekam medis pasien yang mengedepankan kelengkapanan dan legalitas data, keamanan serta privasi data. Alat dan media telenursing sebaiknya juga tidak bergabung dengan perangkat pribadi yang mempunyai risiko tinggi pada kemanan dan privasi data.
Secara nasional juga seharusnya dibangun “sistem satu sehat Indonesia,” sehingga data masyarakat aman, dan interoperability ini dapat menjadi bigdata yang dapat dianalisis dan digunakan untuk program pengembangan dan perbaikan yang manfaatnya dikembalikan bagi kesejahteraan umat.
Sebuah tantangan pada 2023, diyakini telemedicine dan telenursing akan semakin berkembang seperti jamur. Tentunya perlu kerja keras bahu membahu dari berbagai stakeholder, seperti kementerian terkait, organisi profesi, fasilitas kesehatan, universitas, peneliti dan masyarakat dalam mengawal implementasi telemedicine dan telenursing. Secara khusus hasil FGD ini seyogianya akan menjadi start dalam mengembakan white-paper dan pedoman implementasi yang lebih operasional bagi implementasi telenursing.
Pada dasarnya setiap program yang dikembangkan harusnya dikembalikan kemanfaatannya bagi masyarakat. Telenursing sudah banyak membuktikan bermanfaat baik maka mari kita kawal implementasinya untuk menurunkan risiko yang kurang menguntungkan dan menuju perubahan yang lebih baik untuk masyarakat yang lebih sehat dan sejahtera.
(bmm)