Bahas Isu Strategis di Rakernas, Peradi Soroti Keputusan MK
loading...
A
A
A
JAKARTA - Perhimpunan Advokat Indonesia ( Peradi ) menggelar Rapat Kerja Nasional (Rakernas) di Batam. Rakernas yang diselenggarakan mulai Senin hingga Rabu 12-14 Desember 2022 ini membahas sejumlah isu strategis.
Ketua Umum (Ketum) Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Otto Hasibuan mengatakan, Rakernas ini membahas berbagai hal mulai evaluasi program kerja sampai pada pembahasan isu-isu strategis yang mengemuka dalam dunia advokat. "Seperti putusan Mahkamah Konstitusi (MK), perjuangan single bar, dan lain-lain," ujarnya, Selasa (13/12/2022).
Peradi merupakan wadah tunggal sesuai Undang-Undang Advokat Nomor 18 Tahun 2003, terus memperjuangkan single bar. Hal ini menyikapi munculnya berbagai organisasi advokat akibat Surat Ketua MA Nomor 73/KMA/HK.01/IX/2015.
Menurut Otto, single bar is a must karena merupakan amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003. Namun MA tetap menerbitkan aturan melawan UU. Putusan MK No.91/PUU/2022 yang membatasi masa kepemimpinan organisasi advokat maksimal dua periode baik secara berturut-turut atau tidak, kian memperumit persoalan yang dihadapi advokat. “Putusan MK jelas-jelas telah mengooptasi kebebasan berserikat dan berkumpul dari para advokat,” kata Otto.
Menurutnya, putusan MK menambah kehancuran organisasi advokat (OA) meski dalam UU Advokat, OA merupakan organ mandiri dan independen sehingga tidak dibentuk dan dibiayai dari anggaran negara. “Sekarang independensi advokat telah diobok-obok oleh MK dan MA. Ironis nasib advokat di Indonesia ini,” tandasnya.
Terkait itu, Rakesnas ini membahasnya dalam diskusi bertajuk “Tinjauan Akademis terhadap Putusan MK No. 91/PUU/2022” menghadirkan Guru Besar Universitas Krisnadwipayana (Unkris) Gayus Lumbuun dan Dosen Hukum Tata Negara dan Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia Fahri Bachmid sebagai narasumber.
Gayus menyampaikan, pemohon uji materi bukan lagi meminta MK untuk membuat makna atau menafsirkan Pasal 28 Ayat (3) UU Advokat, melainkan membuat regulasi baru. Partisipasi anggota dan kepastian hukum atas hak anggota sudah diatur dalam AD/ART organisasi yang dibuat oleh organisasi advokat sesuai dengan mekanisme yang berlaku dalam organisasi.
“Pertimbangan dan penilaian MK ini sudah jauh masuk ke ranah kebebasan berserikat dan kebebasan mengatur serikat atau perkumpulan yang menjadi kedaulatan anggota,” ujar Gayus.
Dengan demikian, MK telah melakukan abuse of power berdasarkan tiga hal, yakni mencampuri kebebasan anggota organisasi dan atau kedaulatan organisasi dalam menentukan sikap organisasi, penalarannya dengan alasan pertimbangan hukumnya bukan pada konstitusi yang nyata dan tegas sudah diatur UUD dan kewenangan dalam memutus perkara, dan mengesampingkan fakta yuridis dan faktual bahwa organisasi advokat adalah mandiri dan menjadi milik dari anggotanya sebagai pihak yang berdaulat atas organisasinya.
Adapun Fahri Bachmid, menjelaskan masa jabatan (periodisasi) pempimpin organisasi advokat, kekuatan tetap dari putusan sebagaimana dianut dalam Pasal 60 Undang-Undang MK bertujuan untuk tercapainya suatu kepastian hukum. Namun, pemberlakuan tanpa pengecualian tertentu, dapat menyebabkan kemandekan dalam perkembangan hukum di masyarakat.
Oleh karenanya, meskipun putusan MK mengikat secara umum, termasuk terhadap dirinya sendiri, akan tetapi MK tidak terikat secara mutlak pada kekuatan res judicata putusannya, jikalau terjadi perkembangan dan perubahan fakta-fakta yang relevan dengan penafsiran MK atas satu norma konstitusi pada putusan terdahulu.
”Keterikatan terhadap res judicata substantif hanya dipandang sah dan layak sepanjang fakta- fakta yang relevan dengan putusan tidak berubah dibandingkan ketika putusan dijatuhkan,” kata Fahri.
Secara prinsip sesungguhnya perubahan pendirian posisi hukum Mahkamah terhadap satu isu hukum kontemporer tertentu adalah sebuah keniscayaan, atau sesuatu yang dapat dibenarkan sepanjang perubahan didasarkan pada alasan yang substansial. Secara doktriner maupun praktik, dalam pengujian konstitusionalitas undang-undang, perubahan pendirian Mahkamah bukanlah sesuatu yang tanpa dasar.
“Hal demikian merupakan sesuatu yang lazim terjadi. Bahkan misalnya, di Amerika Serikat yang berada dalam tradisi common law, yang sangat ketat menerapkan asas precedent atau stare decisis atau res judicata, pun telah menjadi praktik yang lumrah di mana pengadilan, khususnya Mahkamah Agung Amerika Serikat mengubah pendiriannya dalam soal-soal yang berkait dengan konstitusi,” kata Fahri.
Perihal tindak lanjut terhadap putusan MK ini, baik Gayus Lumbuun maupun Fahri Bachmid menegaskan, mereka tetap menghormati putusan tersebut. Namun, ke depannya, DPN Peradi dapat saja mengajukan suatu permohonan pengujian ulang materi yang sama—dengan tetap melakukan sejumlah pengkajian dan pertimbangan terlebih dahulu.
Ketua Dewan Penasihat DPN Peradi Thomas E. Tampubolon menyampaikan dengan tegas, untuk mewujudkan Peradi sebagai wadah tunggal, hal pertama yang harus dilakukan para anggota adalah menyadari dan meyakini keberadaan single bar.
Thomas optimistis single bar dapat terwujud karena advokat semakin solid di tengah tantangan dan perdebatan single atau justru multibar demi kebenaran dan keadilan pencari keadilan serta integritas advokat.
Ketua Dewan Pakar DPN Peradi, Fauzie Yusuf Hasibuan menyampaikan, advokat perlu bekerja sama untuk membangun sebuah organisasi yang solid demi peningkatan kualitas. Salah satu persoalan yang dihadapi adalah Putusan MK yang menyasar independensi OA
Ketua Umum (Ketum) Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Otto Hasibuan mengatakan, Rakernas ini membahas berbagai hal mulai evaluasi program kerja sampai pada pembahasan isu-isu strategis yang mengemuka dalam dunia advokat. "Seperti putusan Mahkamah Konstitusi (MK), perjuangan single bar, dan lain-lain," ujarnya, Selasa (13/12/2022).
Peradi merupakan wadah tunggal sesuai Undang-Undang Advokat Nomor 18 Tahun 2003, terus memperjuangkan single bar. Hal ini menyikapi munculnya berbagai organisasi advokat akibat Surat Ketua MA Nomor 73/KMA/HK.01/IX/2015.
Menurut Otto, single bar is a must karena merupakan amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003. Namun MA tetap menerbitkan aturan melawan UU. Putusan MK No.91/PUU/2022 yang membatasi masa kepemimpinan organisasi advokat maksimal dua periode baik secara berturut-turut atau tidak, kian memperumit persoalan yang dihadapi advokat. “Putusan MK jelas-jelas telah mengooptasi kebebasan berserikat dan berkumpul dari para advokat,” kata Otto.
Menurutnya, putusan MK menambah kehancuran organisasi advokat (OA) meski dalam UU Advokat, OA merupakan organ mandiri dan independen sehingga tidak dibentuk dan dibiayai dari anggaran negara. “Sekarang independensi advokat telah diobok-obok oleh MK dan MA. Ironis nasib advokat di Indonesia ini,” tandasnya.
Terkait itu, Rakesnas ini membahasnya dalam diskusi bertajuk “Tinjauan Akademis terhadap Putusan MK No. 91/PUU/2022” menghadirkan Guru Besar Universitas Krisnadwipayana (Unkris) Gayus Lumbuun dan Dosen Hukum Tata Negara dan Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia Fahri Bachmid sebagai narasumber.
Gayus menyampaikan, pemohon uji materi bukan lagi meminta MK untuk membuat makna atau menafsirkan Pasal 28 Ayat (3) UU Advokat, melainkan membuat regulasi baru. Partisipasi anggota dan kepastian hukum atas hak anggota sudah diatur dalam AD/ART organisasi yang dibuat oleh organisasi advokat sesuai dengan mekanisme yang berlaku dalam organisasi.
“Pertimbangan dan penilaian MK ini sudah jauh masuk ke ranah kebebasan berserikat dan kebebasan mengatur serikat atau perkumpulan yang menjadi kedaulatan anggota,” ujar Gayus.
Dengan demikian, MK telah melakukan abuse of power berdasarkan tiga hal, yakni mencampuri kebebasan anggota organisasi dan atau kedaulatan organisasi dalam menentukan sikap organisasi, penalarannya dengan alasan pertimbangan hukumnya bukan pada konstitusi yang nyata dan tegas sudah diatur UUD dan kewenangan dalam memutus perkara, dan mengesampingkan fakta yuridis dan faktual bahwa organisasi advokat adalah mandiri dan menjadi milik dari anggotanya sebagai pihak yang berdaulat atas organisasinya.
Adapun Fahri Bachmid, menjelaskan masa jabatan (periodisasi) pempimpin organisasi advokat, kekuatan tetap dari putusan sebagaimana dianut dalam Pasal 60 Undang-Undang MK bertujuan untuk tercapainya suatu kepastian hukum. Namun, pemberlakuan tanpa pengecualian tertentu, dapat menyebabkan kemandekan dalam perkembangan hukum di masyarakat.
Oleh karenanya, meskipun putusan MK mengikat secara umum, termasuk terhadap dirinya sendiri, akan tetapi MK tidak terikat secara mutlak pada kekuatan res judicata putusannya, jikalau terjadi perkembangan dan perubahan fakta-fakta yang relevan dengan penafsiran MK atas satu norma konstitusi pada putusan terdahulu.
”Keterikatan terhadap res judicata substantif hanya dipandang sah dan layak sepanjang fakta- fakta yang relevan dengan putusan tidak berubah dibandingkan ketika putusan dijatuhkan,” kata Fahri.
Secara prinsip sesungguhnya perubahan pendirian posisi hukum Mahkamah terhadap satu isu hukum kontemporer tertentu adalah sebuah keniscayaan, atau sesuatu yang dapat dibenarkan sepanjang perubahan didasarkan pada alasan yang substansial. Secara doktriner maupun praktik, dalam pengujian konstitusionalitas undang-undang, perubahan pendirian Mahkamah bukanlah sesuatu yang tanpa dasar.
“Hal demikian merupakan sesuatu yang lazim terjadi. Bahkan misalnya, di Amerika Serikat yang berada dalam tradisi common law, yang sangat ketat menerapkan asas precedent atau stare decisis atau res judicata, pun telah menjadi praktik yang lumrah di mana pengadilan, khususnya Mahkamah Agung Amerika Serikat mengubah pendiriannya dalam soal-soal yang berkait dengan konstitusi,” kata Fahri.
Perihal tindak lanjut terhadap putusan MK ini, baik Gayus Lumbuun maupun Fahri Bachmid menegaskan, mereka tetap menghormati putusan tersebut. Namun, ke depannya, DPN Peradi dapat saja mengajukan suatu permohonan pengujian ulang materi yang sama—dengan tetap melakukan sejumlah pengkajian dan pertimbangan terlebih dahulu.
Ketua Dewan Penasihat DPN Peradi Thomas E. Tampubolon menyampaikan dengan tegas, untuk mewujudkan Peradi sebagai wadah tunggal, hal pertama yang harus dilakukan para anggota adalah menyadari dan meyakini keberadaan single bar.
Thomas optimistis single bar dapat terwujud karena advokat semakin solid di tengah tantangan dan perdebatan single atau justru multibar demi kebenaran dan keadilan pencari keadilan serta integritas advokat.
Ketua Dewan Pakar DPN Peradi, Fauzie Yusuf Hasibuan menyampaikan, advokat perlu bekerja sama untuk membangun sebuah organisasi yang solid demi peningkatan kualitas. Salah satu persoalan yang dihadapi adalah Putusan MK yang menyasar independensi OA
(cip)