Pro-Kontra Impor Beras
loading...
A
A
A
Bagi yang kontra, impor beras merupakan pengkhianatan pada petani. Selama ini petani didorong berproduksi tinggi dengan disuntik subsidi pupuk, dan bantuan alat dan mesin pertanian. Saat produksi surplus kok impor. Seperti perkiraan Badan Pusat Statistik (BPS), produksi beras pada 2022 mencapai 31,9 juta ton beras, lebih tinggi 1,7% dari produksi 2021.
Sementara konsumsi pada 2022 mencapai 30,2 juta ton beras. Ada surplus 1,7 juta ton. Ditambah surplus akumulatif tahun lalu sebesar 5,2 juta ton beras, total ada surplus 6,9 juta ton. Jika Bulog terkendala dalam menyerap gabah/beras petani domestik karena harga yang tinggi dan kualitas yang tidak memenuhi kualifikasi, mengapa ini tak dicarikan jalan keluar.
Impor juga menampar muka Presiden Jokowi. Bukankah pada Agustus 2022 lalu Presiden telah menerima pengakuan dari IRRI (International of Rice Research Institute) atas prestasi tiga tahun berturut-turut (2019-2021) tak impor beras (medium)? Apa makna pengakuan itu jika akhirnya Indonesia jatuh lagi sebagai importir beras hanya beberapa bulan setelah menerima plakat. Keputusan impor beras bukan saja bagai menjilat ludah sendiri, tapi juga bisa dimaknai menelikung petani. Petani hanya dinggap penting saat tahun politik lima tahun sekali, setelah itu mereka ditinggalkan dan ditanggalkan.
Bahkan ada yang mencurigai impor beras merupakan cara mudah mengais dana segar buat modal bertarung dalam kontestasi politik. Kecurigaan ini tidak bisa dilepaskan dari kentalnya aktivitas perburuan rente impor selama ini. Kecurigaan itu berpijak pada alas: disparitas harga beras di pasar dunia dengan di pasar domestik tinggi.
Menurut FAO (3 November 2022), harga beras Pakistan dan Vietnam (pecahan 5%) masing-masing USD412,3/ton dan USD426,3/ton. Sedangkan harga beras Thailand (100% utuh) sebesar USD448/ton. Harga ini setara antara Rp6.431-Rp6.993/kg FoB (kurs Rp15.610 per dolar AS). Sementara harga eceran tertinggi beras premium dalam negeri senilai Rp12.800/kg.
Pro-kontra impor beras kali ini memberi pelajaran penting: pemerintah harus hati-hati dalam mengelola narasi perberasan ke ranah publik. Karena beras bukan hanya komoditas ekonomi, tapi juga politik. Karena karakteristiknya itu, komoditas beras amat sensitif. Sebelum menyampaikan narasi ke publik, apa pun itu, lebih-lebih soal impor, pemerintah harus memastikan narasinya tidak menimbulkan multitafsir dan memantik gaduh.
Tak terhitung energi bangsa ini terkuras hanya karena memperdebatkan hal yang tak perlu diperdebatkan. Salah satunya adalah perdebatan urgensi impor beras saat ini.
Sementara konsumsi pada 2022 mencapai 30,2 juta ton beras. Ada surplus 1,7 juta ton. Ditambah surplus akumulatif tahun lalu sebesar 5,2 juta ton beras, total ada surplus 6,9 juta ton. Jika Bulog terkendala dalam menyerap gabah/beras petani domestik karena harga yang tinggi dan kualitas yang tidak memenuhi kualifikasi, mengapa ini tak dicarikan jalan keluar.
Impor juga menampar muka Presiden Jokowi. Bukankah pada Agustus 2022 lalu Presiden telah menerima pengakuan dari IRRI (International of Rice Research Institute) atas prestasi tiga tahun berturut-turut (2019-2021) tak impor beras (medium)? Apa makna pengakuan itu jika akhirnya Indonesia jatuh lagi sebagai importir beras hanya beberapa bulan setelah menerima plakat. Keputusan impor beras bukan saja bagai menjilat ludah sendiri, tapi juga bisa dimaknai menelikung petani. Petani hanya dinggap penting saat tahun politik lima tahun sekali, setelah itu mereka ditinggalkan dan ditanggalkan.
Bahkan ada yang mencurigai impor beras merupakan cara mudah mengais dana segar buat modal bertarung dalam kontestasi politik. Kecurigaan ini tidak bisa dilepaskan dari kentalnya aktivitas perburuan rente impor selama ini. Kecurigaan itu berpijak pada alas: disparitas harga beras di pasar dunia dengan di pasar domestik tinggi.
Menurut FAO (3 November 2022), harga beras Pakistan dan Vietnam (pecahan 5%) masing-masing USD412,3/ton dan USD426,3/ton. Sedangkan harga beras Thailand (100% utuh) sebesar USD448/ton. Harga ini setara antara Rp6.431-Rp6.993/kg FoB (kurs Rp15.610 per dolar AS). Sementara harga eceran tertinggi beras premium dalam negeri senilai Rp12.800/kg.
Pro-kontra impor beras kali ini memberi pelajaran penting: pemerintah harus hati-hati dalam mengelola narasi perberasan ke ranah publik. Karena beras bukan hanya komoditas ekonomi, tapi juga politik. Karena karakteristiknya itu, komoditas beras amat sensitif. Sebelum menyampaikan narasi ke publik, apa pun itu, lebih-lebih soal impor, pemerintah harus memastikan narasinya tidak menimbulkan multitafsir dan memantik gaduh.
Tak terhitung energi bangsa ini terkuras hanya karena memperdebatkan hal yang tak perlu diperdebatkan. Salah satunya adalah perdebatan urgensi impor beras saat ini.
(bmm)