Pro-Kontra Impor Beras
loading...
A
A
A
Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) dan Komite Pendayagunaan Pertanian (KPP)
IMPOR, seperti halnya ekspor, merupakan kegiatan ekonomi biasa. Keduanya merupakan aktivitas netral. Akan tetapi, di Indonesia aktivitas impor, apalagi impor pangan, seringkali jadi pelik dan rumit. Itu terjadi terutama pada komoditas yang kental muatan politik seperti beras.
Seperti umumnya di negara-negara Asia, di Indonesia beras adalah komoditas pemicu inflasi. Inflasi yang tinggi membuat kesejahteraan warga, terutama yang miskin, tergerus. Inflasi tinggi membuat jumlah kemiskinan bertambah. Inflasi juga menyebabkan naiknya suku bunga, yang ujungnya menghancurkan sektor riil.
Baca Juga: koran-sindo.com
Seperti diberitakan banyak media, Bulog memastikan mengimpor beras 200.000 ton dari izin yang dikantongi: 500.000 ton. Beras tiba di Indonesia Desember 2022 ini. Pro-kontra muncul di publik. Ini tak bisa dilepaskan dari posisi ekonomi dan politik beras. Partisipasi konsumsi beras di Indonesia saat ini hampir sempurna: semua perut warga dari Sabang sampai Serui tergantung pada beras.
Dari sisi gizi dan nutrisi, beras relatif unggul dari pangan lain. Seluruh bagian beras bisa dimakan, kandungan energinya 360 kalori per 100 gr, dan protein 6,8 gr per 100 gr. Pangsa beras pada konsumsi energi per kapita (intake) mencapai 54,3%, dan 40% sumber protein dipenuhi dari beras.
Dari sisi produsen, usaha tani padi melibatkan 13,155 juta rumah tangga, tertinggi di antara komoditas penting lainnya. Dalam struktur pengeluaran rumah tangga, beras mendominasi: rerata 24% dari total pengeluaran. Jika harga beras naik, jumlah warga miskin dipastikan bakal membengkak. Makanya, di Indonesia –dan sebagian besar negara di Asia—berkepentingan dengan beras, tidak saja sebagai komoditi upah (wage goods), tapi juga komoditas politik (political goods). Pendek kata, beras merupakan komoditas strategis karena menjadi penopang tripel ketahanan: pangan, ekonomi dan nasional.
Dalam konteks seperti ini mudah dipahami bila rencana mengimpor 0,5 juta ton beras saat ini memantik kontroversi. Pemerintah, seperti dijelaskan Kepala Badan Pangan Nasional (National Food Agency/NFA) Arief Prasetyo Adi, tak ingin mengambil risiko lantaran stok beras di gudang Bulog awal Desember 2022 tipis: sekitar 500.000 ton. Menggenjot pengadaan beras dari produksi domestik hanya akan menambah salah urus. Saat ini musim paceklik: produksi lebih rendah dari konsumsi. Mendorong Bulog masuk ke pasar dan bersaing dengan pelaku pasar lain bakal mengerek harga beras kian tinggi.
Impor beras ditempuh untuk memastikan pemerintah punya cadangan memadai guna mengintervensi pasar. Dengan cadangan beras pemerintah (CBP) yang memadai, pemerintah setidaknya mengirim sinyal ke pasar agar tidak ada pemain, apakah pedagang atau penggilingan padi yang menguasai stok dalam jumlah besar, untuk memperkeruh keadaan.
Misalnya, dengan menahan stok yang dimiliki karena ada peluang menangguk untung dari kenaikan harga. Dengan jumlah CBP memadai untuk mengintervensi pasar, mereka yang menguasai stok besar tak akan berani menahan beras. Dengan operasi pasar terus-menerus oleh Bulog, harga akan turun. Mereka yang menahan beras bakal merugi.
Bagi yang kontra, impor beras merupakan pengkhianatan pada petani. Selama ini petani didorong berproduksi tinggi dengan disuntik subsidi pupuk, dan bantuan alat dan mesin pertanian. Saat produksi surplus kok impor. Seperti perkiraan Badan Pusat Statistik (BPS), produksi beras pada 2022 mencapai 31,9 juta ton beras, lebih tinggi 1,7% dari produksi 2021.
Sementara konsumsi pada 2022 mencapai 30,2 juta ton beras. Ada surplus 1,7 juta ton. Ditambah surplus akumulatif tahun lalu sebesar 5,2 juta ton beras, total ada surplus 6,9 juta ton. Jika Bulog terkendala dalam menyerap gabah/beras petani domestik karena harga yang tinggi dan kualitas yang tidak memenuhi kualifikasi, mengapa ini tak dicarikan jalan keluar.
Impor juga menampar muka Presiden Jokowi. Bukankah pada Agustus 2022 lalu Presiden telah menerima pengakuan dari IRRI (International of Rice Research Institute) atas prestasi tiga tahun berturut-turut (2019-2021) tak impor beras (medium)? Apa makna pengakuan itu jika akhirnya Indonesia jatuh lagi sebagai importir beras hanya beberapa bulan setelah menerima plakat. Keputusan impor beras bukan saja bagai menjilat ludah sendiri, tapi juga bisa dimaknai menelikung petani. Petani hanya dinggap penting saat tahun politik lima tahun sekali, setelah itu mereka ditinggalkan dan ditanggalkan.
Bahkan ada yang mencurigai impor beras merupakan cara mudah mengais dana segar buat modal bertarung dalam kontestasi politik. Kecurigaan ini tidak bisa dilepaskan dari kentalnya aktivitas perburuan rente impor selama ini. Kecurigaan itu berpijak pada alas: disparitas harga beras di pasar dunia dengan di pasar domestik tinggi.
Menurut FAO (3 November 2022), harga beras Pakistan dan Vietnam (pecahan 5%) masing-masing USD412,3/ton dan USD426,3/ton. Sedangkan harga beras Thailand (100% utuh) sebesar USD448/ton. Harga ini setara antara Rp6.431-Rp6.993/kg FoB (kurs Rp15.610 per dolar AS). Sementara harga eceran tertinggi beras premium dalam negeri senilai Rp12.800/kg.
Pro-kontra impor beras kali ini memberi pelajaran penting: pemerintah harus hati-hati dalam mengelola narasi perberasan ke ranah publik. Karena beras bukan hanya komoditas ekonomi, tapi juga politik. Karena karakteristiknya itu, komoditas beras amat sensitif. Sebelum menyampaikan narasi ke publik, apa pun itu, lebih-lebih soal impor, pemerintah harus memastikan narasinya tidak menimbulkan multitafsir dan memantik gaduh.
Tak terhitung energi bangsa ini terkuras hanya karena memperdebatkan hal yang tak perlu diperdebatkan. Salah satunya adalah perdebatan urgensi impor beras saat ini.
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) dan Komite Pendayagunaan Pertanian (KPP)
IMPOR, seperti halnya ekspor, merupakan kegiatan ekonomi biasa. Keduanya merupakan aktivitas netral. Akan tetapi, di Indonesia aktivitas impor, apalagi impor pangan, seringkali jadi pelik dan rumit. Itu terjadi terutama pada komoditas yang kental muatan politik seperti beras.
Seperti umumnya di negara-negara Asia, di Indonesia beras adalah komoditas pemicu inflasi. Inflasi yang tinggi membuat kesejahteraan warga, terutama yang miskin, tergerus. Inflasi tinggi membuat jumlah kemiskinan bertambah. Inflasi juga menyebabkan naiknya suku bunga, yang ujungnya menghancurkan sektor riil.
Baca Juga: koran-sindo.com
Seperti diberitakan banyak media, Bulog memastikan mengimpor beras 200.000 ton dari izin yang dikantongi: 500.000 ton. Beras tiba di Indonesia Desember 2022 ini. Pro-kontra muncul di publik. Ini tak bisa dilepaskan dari posisi ekonomi dan politik beras. Partisipasi konsumsi beras di Indonesia saat ini hampir sempurna: semua perut warga dari Sabang sampai Serui tergantung pada beras.
Dari sisi gizi dan nutrisi, beras relatif unggul dari pangan lain. Seluruh bagian beras bisa dimakan, kandungan energinya 360 kalori per 100 gr, dan protein 6,8 gr per 100 gr. Pangsa beras pada konsumsi energi per kapita (intake) mencapai 54,3%, dan 40% sumber protein dipenuhi dari beras.
Dari sisi produsen, usaha tani padi melibatkan 13,155 juta rumah tangga, tertinggi di antara komoditas penting lainnya. Dalam struktur pengeluaran rumah tangga, beras mendominasi: rerata 24% dari total pengeluaran. Jika harga beras naik, jumlah warga miskin dipastikan bakal membengkak. Makanya, di Indonesia –dan sebagian besar negara di Asia—berkepentingan dengan beras, tidak saja sebagai komoditi upah (wage goods), tapi juga komoditas politik (political goods). Pendek kata, beras merupakan komoditas strategis karena menjadi penopang tripel ketahanan: pangan, ekonomi dan nasional.
Dalam konteks seperti ini mudah dipahami bila rencana mengimpor 0,5 juta ton beras saat ini memantik kontroversi. Pemerintah, seperti dijelaskan Kepala Badan Pangan Nasional (National Food Agency/NFA) Arief Prasetyo Adi, tak ingin mengambil risiko lantaran stok beras di gudang Bulog awal Desember 2022 tipis: sekitar 500.000 ton. Menggenjot pengadaan beras dari produksi domestik hanya akan menambah salah urus. Saat ini musim paceklik: produksi lebih rendah dari konsumsi. Mendorong Bulog masuk ke pasar dan bersaing dengan pelaku pasar lain bakal mengerek harga beras kian tinggi.
Impor beras ditempuh untuk memastikan pemerintah punya cadangan memadai guna mengintervensi pasar. Dengan cadangan beras pemerintah (CBP) yang memadai, pemerintah setidaknya mengirim sinyal ke pasar agar tidak ada pemain, apakah pedagang atau penggilingan padi yang menguasai stok dalam jumlah besar, untuk memperkeruh keadaan.
Misalnya, dengan menahan stok yang dimiliki karena ada peluang menangguk untung dari kenaikan harga. Dengan jumlah CBP memadai untuk mengintervensi pasar, mereka yang menguasai stok besar tak akan berani menahan beras. Dengan operasi pasar terus-menerus oleh Bulog, harga akan turun. Mereka yang menahan beras bakal merugi.
Bagi yang kontra, impor beras merupakan pengkhianatan pada petani. Selama ini petani didorong berproduksi tinggi dengan disuntik subsidi pupuk, dan bantuan alat dan mesin pertanian. Saat produksi surplus kok impor. Seperti perkiraan Badan Pusat Statistik (BPS), produksi beras pada 2022 mencapai 31,9 juta ton beras, lebih tinggi 1,7% dari produksi 2021.
Sementara konsumsi pada 2022 mencapai 30,2 juta ton beras. Ada surplus 1,7 juta ton. Ditambah surplus akumulatif tahun lalu sebesar 5,2 juta ton beras, total ada surplus 6,9 juta ton. Jika Bulog terkendala dalam menyerap gabah/beras petani domestik karena harga yang tinggi dan kualitas yang tidak memenuhi kualifikasi, mengapa ini tak dicarikan jalan keluar.
Impor juga menampar muka Presiden Jokowi. Bukankah pada Agustus 2022 lalu Presiden telah menerima pengakuan dari IRRI (International of Rice Research Institute) atas prestasi tiga tahun berturut-turut (2019-2021) tak impor beras (medium)? Apa makna pengakuan itu jika akhirnya Indonesia jatuh lagi sebagai importir beras hanya beberapa bulan setelah menerima plakat. Keputusan impor beras bukan saja bagai menjilat ludah sendiri, tapi juga bisa dimaknai menelikung petani. Petani hanya dinggap penting saat tahun politik lima tahun sekali, setelah itu mereka ditinggalkan dan ditanggalkan.
Bahkan ada yang mencurigai impor beras merupakan cara mudah mengais dana segar buat modal bertarung dalam kontestasi politik. Kecurigaan ini tidak bisa dilepaskan dari kentalnya aktivitas perburuan rente impor selama ini. Kecurigaan itu berpijak pada alas: disparitas harga beras di pasar dunia dengan di pasar domestik tinggi.
Menurut FAO (3 November 2022), harga beras Pakistan dan Vietnam (pecahan 5%) masing-masing USD412,3/ton dan USD426,3/ton. Sedangkan harga beras Thailand (100% utuh) sebesar USD448/ton. Harga ini setara antara Rp6.431-Rp6.993/kg FoB (kurs Rp15.610 per dolar AS). Sementara harga eceran tertinggi beras premium dalam negeri senilai Rp12.800/kg.
Pro-kontra impor beras kali ini memberi pelajaran penting: pemerintah harus hati-hati dalam mengelola narasi perberasan ke ranah publik. Karena beras bukan hanya komoditas ekonomi, tapi juga politik. Karena karakteristiknya itu, komoditas beras amat sensitif. Sebelum menyampaikan narasi ke publik, apa pun itu, lebih-lebih soal impor, pemerintah harus memastikan narasinya tidak menimbulkan multitafsir dan memantik gaduh.
Tak terhitung energi bangsa ini terkuras hanya karena memperdebatkan hal yang tak perlu diperdebatkan. Salah satunya adalah perdebatan urgensi impor beras saat ini.
(bmm)