Pemilu 2024 dan Potensi Konflik

Senin, 12 Desember 2022 - 12:40 WIB
loading...
Pemilu 2024 dan Potensi Konflik
Anang Puji Utama (Foto: Ist)
A A A
Anang Puji Utama
Dosen Program Studi Damai dan Resolusi Konflik Fakultas Keamanan Nasioonal Universitas Pertahanan

DINAMIKA politik dalam rangka pemilihan umum (pemilu) sudah mulai terasa dan semakin menguat akhir-akhir ini. Meskipun pelaksanaan pesta demokrasi tersebut masih sekitar 13 bulan lagi yaitu 14 Februari 2024.

Tak hanya terkait dengan pelaksanaan tahapan pemilu yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). dinamika politik yang berkembang saat ini juga dipengaruhi kontestasi bakal calon presiden baik antarpartai maupun antarkubu pendukung masing-masing bakal calon yang sering diunggulkan melalui berbagai survei. Selain itu, sering muncul acara deklarasi relawan bakal calon di berbagai daerah.

Baca Juga: koran-sindo.com

Suasana kontestasi antarpendukung, meskipun banyak di antara bakal calon yang belum mendeklarasikan sebagai calon presiden, terlihat memanas melalui interaksi percakapan di media sosial. Adu argumen, mengurai rekam jejak, bahkan saling serang dapat dengan mudah ditemukan.

Tentu masih segar dalam ingatan bagaimana polarisasi masyarakat akibat aksi saling dukung pada pemilu maupun pemilihan kepala daerah masih menjadi permasalahan besar hingga saat ini. Situasi tersebut sepertinya masih akan “menghantui” Pemilu 2024. Bagaimana menyikapi hal tersebut supaya polarisasi masyarakat dapat dikendalikan dan tidak memunculkan konflik berkepanjangan?

Ancaman Disintegrasi Nasional
Pemilu 2024, termasuk pemilihan kepala daerah pada November 2024, tidak berangkat dari titik steril namun sudah berada pada polarisasi yang tajam di tengah masyarakat. Polarisasi kelompok masyarakat akibat pilihan politik tersebut mengakibatkan sensitivitas negatif yang tinggi dalam interaksi masyarakat baik interaksi langsung maupun di dunia maya. Sensitivitas negatif yang tinggi ini rentan terhadap terjadinya konflik sosial di tengah-tengah masyarakat.

Dalam ruang lingkup daerah bisa dilihat sensitivitas negatif dalam politik praktis yang bisa menyulut konflik fisik di masyarakat.

Pada lingkup politik nasional polarisasi berkepanjangan terjadi sampai saat ini. Situasi perang siber sejak Pemilu 2014, Pilkada DKI 2017 hingga Pemilu 2019 masih berlanjut. Polarisasi ini berkembang hingga ke aspek interaksi publik. Termasuk pada penilaian program pemerintah maupun pemerintah daerah yang juga bergantung pada kubu masing-masing, hingga perang argumen yang di luar nalar. Akibat konflik siber ini, tensi masyarakat selalu tinggi. Terutama di dunia maya. Saling serang dan sebaran ujaran kebencian sering muncul dalam interaksi di media sosial.

Pola konflik siber yang berkepanjangan dan rentan memicu disintegrasi nasional menjadi salah satu konflik yang bersifat destruktif. Konflik ini menyimpan dan menyebarkan kebencian dan dendam di antara kelompok yang berseberangan pilihan politik. Tentu situasi ini menjadi kendala dalam membangun dan menjaga integrasi nasional. Bahkan kebencian dan dendam yang tersimpan tersebut menjadi bahaya laten yang setiap saat apabila ada pemicu bisa menimbulkan konflik yang lebih besar. Masyarakat beraktifitas dalam situasi penuh ketegangan dan was-was.

Konflik sosial termasuk konflik siber tidak selamanya bersifat destruktif. Konflik dalam takaran tertentu dapat menjadi salah satu proses mendewasakan masyarakat. Prasyaratnya adalah pengendalian konflik tersebut. Untuk mencapai konflik siber yang konstruktif perlu langkah-langkah strategis dalam mengelolanya. Pemilu dan pilkada serentak 2024 menjadi momentum pembuktian apakah konflik siber yang menimbulkan polarisasi masyarakat saat ini akan menjadi konstruktif atau malah berkembang menjadi destruktif dan berdampak pada disintegrasi nasional.

Berpolitik Damai dan Positif
Pemilu dan pilkada merupakan pesta demokrasi yang idealnya disambut dengan gegap gempita. Dulu sering terdengar mars pemilu yang salah satu liriknya akrab di telinga generasi 90-an, “pemilihan umum telah memanggil kita, seluruh rakyat menyambut gembira”. Potongan lirik tersebut menunjukkan pemilu sebagai sebuah ajang rakyat yang seharusnya disambut dengan suka cita.

Namun, nampaknya penyambutan gembira akan datangnya pemilu tersebut menjadi situasi langka dalam beberapa dekade ini. Menjelang pemilu kini selalu disambut dengan ketegangan dan tensi masyarakat yang tinggi. Bahkan usai pelaksanaannya pun masih menyebabkan ketegangan berkepanjangan.

Pemilu merupakan ajang suksesi kepemimpinan nasional dan lokal sekaligus merupakan sarana edukasi politik dan demokrasi bagi masyarakat. Kesuksesan penyelenggaraan setiap tahapan pemilu yang baik, jujur dan adil menjadi sarana edukasi bagi setiap generasi. Hasilnya pun akan memiliki legitimasi tinggi dari masyarakat serta menghindarkan masyarakat dari konflik politik.

Di sinilah letak esensi pemilu sebagai ajang demokrasi prosedural dan substansial. Tentu untuk mencapainya perlu kerja keras dari berbagai pihak terutama penyelenggara dan pengawas pemilu, elit dan partai politik, penegak hukum, kontestan pemilu dan pilkada, dan lain-lain.

Upaya menciptakan pemilu damai harus dimulai dengan menciptakan kompetisi atau kontestasi yang sehat. Di sini elite politik dan partai politik yang berkompetisi memiliki peran yang sangat vital. Tak jarang konflik di akar rumput merupakan resonansi dari cara kompetisi di antara elite politik yang tidak membangun.

Sayangnya resonansi elite ketika mencapai resolusi konflik pascapemilu tidak menjalar ke akar rumput. Elite politik sudah berdamai, masyarakat masih berkonflik. Karakter konflik politik ini harus dicermati. Sejak dini dan dalam setiap tahapan, para elite politik harus menunjukkan semangat kompetisi yang cerdas, kreatif dan damai.

Upaya menciptakan pemilu yang damai juga menuntut penyelenggara dan pengawas pemilu bekerja secara independen, netral dan profesional. Kesalahan atau kekurangan dalam hal teknis penyelenggaraan maupun pengawasan pemilu bisa menyebabkan ketegangan dan memicu konflik berkepanjangan di antara kelompok masyarakat. Selain itu perlu penegakan aturan kepemiluan yang tegas dari para pihak yang berwenang. Penegakan hukum kepemiluan yang tegas ini diharapkan dapat menekan pertentangan diantara kontestan, pendukung dan kelompok masyarakat.

Tak kalah penting adalah peran pemerintah dan penegak hukum dalam menertibkan pendengung atau buzzer yang sering meresahkan dan sengaja memancing konflik di antara kelompok masyarakat. Subjek ini menjadi target vital dalam menciptakan pemilu damai dan edukatif.

Pemerintah perlu mengambil langkag-langkah taktis dan menciptakan sistem pengendalian penyebaran ujaran kebencian maupun berita bohong dari para pendengung. Sebagai upaya terakhir, penegak hukum juga harus tegas tanpa pandang bulu dalam menindak aktivitas pendengung yang memicu konflik politik.

Pemilu dan pilkada 2024 sebagai pesta demokrasi memiliki beban untuk sekaligus menghapus polarisasi yang terjadi saat ini dan mendewasakan masyarakat dalam berpolitik. Hal ini dilakukan untuk mengarahkan konflik politik selama ini menjadi konstruktif untuk membangun dan menjaga integrasi nasional.

Polarisasi selama ini telah menimbulkan perpecahan yang memiliki daya rusak dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu seluruh pihak yang mempunyai wewenang perlu bekerja keras menciptakan pemilu yang damai dan positif sejak dini.
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1709 seconds (0.1#10.140)