Bom di Astana Anyar, Deradikalisasi Tak Bisa Dipaksakan pada Napiter Berwatak Keras

Kamis, 08 Desember 2022 - 10:16 WIB
loading...
Bom di Astana Anyar, Deradikalisasi Tak Bisa Dipaksakan pada Napiter Berwatak Keras
Pelaku bom bunuh diri di Mapolsek Astana Anyar, Bandung, Jawa Barat, pada Rabu (7/12/2022) diketahui merupakan mantan narapidana terorisme (napiter). Foto/Kontributor MPI
A A A
JAKARTA - Pelaku bom bunuh diri di Mapolsek Astana Anyar , Bandung, Rabu (7/12/2022) diketahui merupakan mantan narapidana terorisme (napiter). Pelaku tewas dengan kondisi mengenaskan saat kejadian yang berbarengan dengan apel pagi itu.

Senior researcher di Pusat Riset Ilmu Kepolisian dan Kajian Terorisme Universitas Indonesia (UI), Stanislaus Riyanta menyatakan, program deradikalisasi tidak bisa dipaksakan kepada napiter berwatak keras.

Diketahui pelaku bom di Polsek Astana Anyar bernama Agus Sujatno. Hasil penyelidikan merupakan mantan napiter yang pada 27 Februari 2017 ditangkap karena kasus bom panci yang diledakkan di Taman Pandawa, Kelurahan Arjuna, Kota Bandung. Pada saat penangkapan pada 2017 diketahui Agus sudah merencanakan untuk melakukan aksi di Mapolda Jawa Barat.

"Agus Sujatno selama menjalani masa tahanan adalah napiter yang sangat keras dan menolak untuk mengikuti deradikalisasi. Karena sifatnya yang keras, Agus Sujatno ditempatkan di Super Maximum Security di Nusakambangan," kata Riyanta dalam keterangannya, Kamis (8/12/2022).

Baca juga: Bom Polsek Astana Anyar High Explosive, Ini Efeknya

Agus Sujatno ditahan selama 4 tahun sejak 14 Maret 2017 dan bebas pada 14 Maret 2021. Agus Sujatno alias Agus Muslim alias Abu Muslim dan Soleh Abdurrahman alias Gungun alias Abu Fursan ini merupakan bagian dari Jamaah Ansharut Daulah yang berafiliasi dengan ISIS. Agus Sujatno mempunyai keahlian membuat bom dari bahan TATP (triaceton triperoxide).

Riyanta menjelaskan, selama di Nusakambangan, Agus tidak mau berkomunikasi dengan sipir atau petugas lain. "Informasi di atas sekaligus menepis berbagai cibiran soal program deradikalisasi, mengingat pelaku saat menjalani hukuman tidak mau mengikuti program deradikalasi," ucap Riyanta.

Namun demikian, Riyanta memberikan pandangannya bahwa karakter pelaku tersebut seharusnya ada pengawasan yang sangat ketat pascapelaku bebas dari hukuman. Menurutnya, narapidana yang tidak mau mengikuti program deradikalisasi kemungkinan kembali melakukan aksi teror cukup besar.

"Terkait dengan potensi aksi teror yang dikhawatirkan terjadi di masa menjelang Natal dan Tahun Baru, hal tersebut harus diwaspadai. Beberapa kali aksi teror terjadi memanfaatkan momentum perayaan Natal dan Tahun Baru, selain itu beberapa aksi teror juga pernah terjadi di tempat ibadah dan tempat publik," terang Riyanta.

Riyanta mengingatkan, pemerintah tidak bisa sendirian dalam mendeteksi, mencegah, dan menangani aksi teror. Sebab itu, dia mengajak pelibatan masyarakat luas untuk membangun kesadaran masyarakat terkait radikalisme dan terorisme adalah musuh Bersama.

"Harus dikuatkan, sehingga ruang bagi proses radikalisasi di masyarakat bisa semakin terbatas dan aksi teror bisa dicegah" ujar Riyanta.

Selain itu Riyanta menengarai bahwa simbol atau pesan yang ditemukan di sepeda motor yang diduga dibawa pelaku sebelum aksi bunuh diri, menunjukkan perlawanan terhadap KUHP. Hal ini dapat dinilai hanya sebagai momentum yang dimanfaatkan pelaku.

"Kelompok JAD dalam berbagai aksinya menargetkan polisi sebagai sasaran utama. Hal ini terjadi karena polisi melakukan upaya penegakan hukum terhadap teroris, sehingga polisi dianggap sebagai thaghut. Selain polisi, tercatat JAD juga kerap kali menjadikan tempat ibadah sebagai sasaran aksi mereka," tutup Riyanta.
(maf)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2199 seconds (0.1#10.140)