Pergeseran Negara Hukum ke Negara Kekuasaan

Kamis, 08 Desember 2022 - 09:50 WIB
loading...
Pergeseran Negara Hukum ke Negara Kekuasaan
Ahmad Zairudin (Foto: Ist)
A A A
Ahmad Zairudin
Dosen Hukum Tata Negara Universitas Nurul Jadid

INDONESIA benar-benar diterpa oleh gonjang-ganjing persoalan hukum. Belum selesai kasus Ferdy Sambo yang menembak mati ajudannya sendiri dan tertangkapnya dua Hakim Agung Mahkamah Agung (Dimyati Sudrajad dan Gazalba Saleh) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kini kita disuguhkan oleh akrobat Komisi III DPR yang memberhentikan Hakim Konstitusi Aswanto.

Walaupun terjadi gelombang kritik dari berbagai elemen masyakarat, khususnya para akademisi Hukum Tata Negara seperti Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, maupun lembaga seperti Perludem, PSHK UII, dan PUSKAKUM Unuja, pemberhentian Aswanto tetap berlanjut.

Pada Rabu 23 November 2022 Presiden Joko Widodo tetap melantik Guntur Hamzah yang sebelumnya menjabat sebagai sekretaris jenderal Mahkamah Konstitusi untuk menggantikan Aswanto yang sebelumnya diberhentikan oleh DPR. Pengucapan sumpah dan janji ini ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 114/P Tahun 2022 tentang pemberhentian dan pengangkatan hakim konstitusi yang diajukan oleh DPR.

Baca Juga: koran-sindo.com

Pemecatan Aswanto oleh DPR ditengarai berawal dari tindak lanjut atas putusan MK Nomor 96/PUU-XVIII/2020 mengenai uji materi UU Nomor 7 tahun 2020 tentang MK. Putusan uji materi menyebutkan jabatan Hakim MK diperpanjang dari 5 tahun menjadi 15 tahun atau sampai umur 70 tahun. DPR diduga salah tafsir terhadap surat MK tersebut, sehingga manganggap punya kewenangan menganti Hakim MK.

Dugaan lainnya adalah, DPR memang sengaja memberhentikan Aswanto atas dasar ketidaksenangan semata karena dinilai tidak berkomitmen kepada DPR sebagai lembaga pengusul. Aswanto kerapkali menolak bahkan membatalkan produk undang-undang yang dihasilkan DPR.

Di dalam UUD 1945 pasal 24C tentang Mahkamah Konstitusi ayat 3 berbunyi Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang di ajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung (MA), tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan tiga orang oleh Presiden. Aturan ini cukup jelas bahwa DPR hanya berhak mengajukan Hakim MK, bukan memberhentikannya apalagi menjadikannya sebagai wakil untuk meloloskan produk perundang-undangan yang dibuatnya. serta dapat me-remote mereka dengan cara mengganti kapan saja apabila tidak sejalan.

Apa yang dilakukan oleh DPR jelas dianggap bertentangan dengan UU MK. Pemberhentian Aswanto tentunya tidak memenuhi unsur di dalam UU MK Nomor 2 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi Pasal 23 ayat 1 tentang pemberhentian Hakim MK. Disebutkan bahwa syarat pemberhetian adalah meninggal dunia, mengundurkan diri atau berusia 70 tahun. Syarat pada ayat 2, yakni pernah dipidana, melakukan perbuatan tercela, tidak menghadiri persidangan sebanyak lima kali dan melanggar sumpah janji.

Proses pemberhentian Hakim MK yang tidak sesuai dengan ketentuan UU di atas tentu dapat merusak citra dan indepedensi kekuasaan kehakiman. Apa yang dipertonkan oleh DPR ini tentu bertentangan dengan landasan konstitusi dan menjadi sebuah tindakan inkonstitusional.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2008 seconds (0.1#10.140)