Refleksi KUPI 2: Mewujudkan Peradaban yang Berkeadilan
loading...
A
A
A
Ketiga, musyawarah keagamaan tentang perlindungan perempuan dari pemaksaan perkawinan. Keempat, musyawarah keagamaan tentang perlindungan jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat perkosaan. Kelima, musyawarah keagamaan tentang perlindungan perempuan dari bahaya pemotongan dan pelukaan genetalia perempuan (P2GP) tanpa alasan medis.
Dari kelima isu musyawarah di atas, saya memilih nomor 2 dan 5. Meski kelima isu di atas semuanya relate dengan misi Islam dalam memanusiakan manusia, namun kedua isu yang saya pilih cukup relate dengan kondisi di masyarakat sekitar saya tinggal.
Dalam setiap sesi halaqoh, kami diberi waktu 90 menit untuk memberikan pendapat serta refleksi dari pengalaman yang berkaitan dengan isu di atas. Yang menarik pada halaqoh ekstremisme adalah keterlibatan dari delegasi mancanegara seperti Kenya dan Suriah yang memberikan pendapat serta refleksi yang berkaitan dengan kondisi di negaranya.
Sayangnya, halaqoh di hari pertama atau yang disebut dengan pramusyawarah ini hanya berlangsung 90 menit. Refleksi maupun pendapat dari seluruh atau minimal 50% peserta yang hadir tidak dapat didengarkan sama-sama.
Untungnya, pada musyawarah di hari berikutnya, isu-isu tersebut dibahas lebih lama. Tentunya dilihat dari berbagai aspek, terutama maqashid syariah-nya. Konsep maqashid syariah tentu mengedepankan nilai kemasalahatan yang lebih besar daripada mudharat yang kecil, sehingga pesan Islam yang rahmatan lil ‘alamin dapat dirasakan oleh seluruh makhluk di muka bumi ini.
Akhir dari musyawarah peran perempuan dalam menjaga NKRI dari bahaya ekstrimisme beragama melahirkan hukum wajib. Tentu ini adalah konklusi paling maslahah. Peran perempuan tidak hanya sebagai khalifah fil ardl yang sama dengan laki-laki perannya dalam menjaga NKRI, tetapi juga sebagai madrasatul ula bagi seluruh anak di Tanah Air.
Hal ini yang membuat peran perempuan harus lebih depan dan lebih penting dalam mencegah ekstremisme beragama. Berikutnya, pada musyawarah keagamaan tentang bahaya pemotongan dan pelukaan genetalia perempuan (P2GP) ini lebih hangat dibanding musyawarah peran perempuan dalam mencegah ekstrimisme.
Pada musyawarah ini, ada banyak pendapat yang mengungkapkan bahaya P2GP. Namun ada juga yang berpendapat P2GP tidak berdampak buruk terhadap perempuan sehingga tidak masalah jika masih ada yang melakukan hal tersebut, misalnya khitan bagi perempuan.
Khitan perempuan adalah budaya yang sudah mengakar di Indonesia. Banyak ahli agama berpendapat khitan perempuan adalah keharusan setiap anak atau bayi perempuan.
Padahal sebenarnya, dari keempat madzhab fiqih (madzhab arba’ah) tidak ada yang mewajibkan hukum khitan bagi perempuan. Dari refleksi sahabat-sahabat yang mengikuti musyawarah ini, pemotongan genetalia ini sangat variatif.
Dari kelima isu musyawarah di atas, saya memilih nomor 2 dan 5. Meski kelima isu di atas semuanya relate dengan misi Islam dalam memanusiakan manusia, namun kedua isu yang saya pilih cukup relate dengan kondisi di masyarakat sekitar saya tinggal.
Dalam setiap sesi halaqoh, kami diberi waktu 90 menit untuk memberikan pendapat serta refleksi dari pengalaman yang berkaitan dengan isu di atas. Yang menarik pada halaqoh ekstremisme adalah keterlibatan dari delegasi mancanegara seperti Kenya dan Suriah yang memberikan pendapat serta refleksi yang berkaitan dengan kondisi di negaranya.
Sayangnya, halaqoh di hari pertama atau yang disebut dengan pramusyawarah ini hanya berlangsung 90 menit. Refleksi maupun pendapat dari seluruh atau minimal 50% peserta yang hadir tidak dapat didengarkan sama-sama.
Untungnya, pada musyawarah di hari berikutnya, isu-isu tersebut dibahas lebih lama. Tentunya dilihat dari berbagai aspek, terutama maqashid syariah-nya. Konsep maqashid syariah tentu mengedepankan nilai kemasalahatan yang lebih besar daripada mudharat yang kecil, sehingga pesan Islam yang rahmatan lil ‘alamin dapat dirasakan oleh seluruh makhluk di muka bumi ini.
Akhir dari musyawarah peran perempuan dalam menjaga NKRI dari bahaya ekstrimisme beragama melahirkan hukum wajib. Tentu ini adalah konklusi paling maslahah. Peran perempuan tidak hanya sebagai khalifah fil ardl yang sama dengan laki-laki perannya dalam menjaga NKRI, tetapi juga sebagai madrasatul ula bagi seluruh anak di Tanah Air.
Hal ini yang membuat peran perempuan harus lebih depan dan lebih penting dalam mencegah ekstremisme beragama. Berikutnya, pada musyawarah keagamaan tentang bahaya pemotongan dan pelukaan genetalia perempuan (P2GP) ini lebih hangat dibanding musyawarah peran perempuan dalam mencegah ekstrimisme.
Pada musyawarah ini, ada banyak pendapat yang mengungkapkan bahaya P2GP. Namun ada juga yang berpendapat P2GP tidak berdampak buruk terhadap perempuan sehingga tidak masalah jika masih ada yang melakukan hal tersebut, misalnya khitan bagi perempuan.
Khitan perempuan adalah budaya yang sudah mengakar di Indonesia. Banyak ahli agama berpendapat khitan perempuan adalah keharusan setiap anak atau bayi perempuan.
Padahal sebenarnya, dari keempat madzhab fiqih (madzhab arba’ah) tidak ada yang mewajibkan hukum khitan bagi perempuan. Dari refleksi sahabat-sahabat yang mengikuti musyawarah ini, pemotongan genetalia ini sangat variatif.