Perjalanan Panjang UU KUHP hingga Disahkan Hari Ini
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ) merupakan peraturan hukum yang sudah digunakan sejak masa pendudukan Belanda. Dalam Jurnal Sosio-Religia (2006) dengan judul ‘Sejarah dan Problematika Hukum Pidana Materiel di Indonesia’, KUHP Hindia Belanda diundangkan dengan Staatblad No. 732 Tahun 1915, dan mulai berlaku per 1 Januari 1918.
Ada berbagai pandangan muncul mengenai KUHP. Salah satu pandangan tersebut menyinggung bahwa Indonesia sudah seharusnya memproduksi aturan hukum pidananya sendiri karena telah merdeka pada 17 Agustus 1945, sehingga tidak lagi menggunakan warisan hukum pemerintah kolonial.
Secara garis besar, KUHP memiliki 2 hal pokok yaitu memuat perbuatan apa saja yang diancam hukum pidana. Maka dari itu, negara harus mempublikasikannya kepada masyarakat agar bisa diketahui dengan jelas. Selanjutnya, hal pokok lainnya dari KUHP adalah mengenai konsekuensi apa saja yang akan diterima oleh mereka yang melakukan perbuatan melarang hukum.
Meskipun Indonesia adalah negara merdeka, namun hukum pidana yang digunakan belum bisa lepas dari pengaruh penjajah. Dilihat dari usianya, maka KUHP di Indonesia sudah diterapkan lebih dari 100 tahun dan sangat usang. Hal tersebut dirasa sudah tidak lagi relevan dan sepatutnya dilakukan perubahan. Meskipun Indonesia sudah beberapa kali mengubah materi KUHP, namun belum masuk pada perubahan substansi KUHP. Padahal, KUHP di Belanda sendiri sudah banyak berkembang, seiring dengan perkembangan era.
Rencana Lama
Sejak tahun 1963, Pemerintah Indonesia sebenarnya sudah berencana melakukan rekodifikasi KUHP Nasional. Pembahasan tersebut muncul pada Seminar Hukum Nasional I di Semarang. Bahkan, seminar penting itu disebut sebagai tiang pembaharuan KUHP Indonesia. Adapun substansi KUHP yang kini digunakan berlandaskan pada seminar tahun tersebut. Salah satu contohnya, terkait perluasan dan penambahan delik atau tindak pidana kejahatan keamanan negara, hukum adat, delik kesusilaan, dan delik ekonomi. Dalam beberapa tahun terakhir, diadopsi delik-delik lain, seperti delik penghinaan presiden atau kepala negara, korupsi, dan penyebaran kebencian kepada pemerintah.
Lebih dari 50 tahun lamanya pembahasan rekodifikasi KUHP hanyalah rencana yang mulai usang. Draf RKUHP yang merupakan ide pokok pemikiran tim penyusun kemudian diserahkan ke DPR pada tahun 2013 dan 2015. Setelahnya, pembahasan draf RKUHP memang dilakukan intensif oleh Panja (Panitia Kerja) DPR dan tim dari pemerintah. Targetnya, pembahasan RKUHP akan selesai di akhir tahun 2013. Sayang, target itu tidak tercapai hingga DPR periode 2009-2014 berakhir.
Ketika Presiden Joko Widodo menjabat pada 2014, pemerintah menyatakan komitmen dan kesiapannya untuk membahas lagi RKUHP yang sempat terbengkalai. RKUHP ini terdiri dari Buku I dan II dengan total 786 pasal. Usai draf RKUHP diserahkan, pemerintah membidik pembahasan akan dilakukan selama 2 tahun, yakni sampai akhir 2017. Namun, lagi-lagi bidikan itu kembali meleset. RKUHP tak kunjung rampung dan cenderung menemui kebuntuan.
Angin segar kembali bertiup kala Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej, yang mewakili pemerintah, menyerahkan draf RUU KUHP di Komisi III DPR pada 6 Juli 2022. Draf sempat ditarik kembali oleh pemerintah setelah banjir kritik dan masukan. Pada 9 November 2022, draf terbaru RKUHP diserahkan Kemenkuham kepada DPR.
Akhirnya Disahkan
Setelah mengundang elemen masyarakat melalui rapat dengar pendapat umum, dorongan agar RKUHP segera disahkan menguat. Pemerintah menyatakan pembahasan RKUHP sudah berada di tahap akhir dan telah lebih dari 700 pasal yang dibahas.
Selasa (6/12/2022), RKUHP resmi menjadi UU. Informasi terbaru ini disampaikan langsung oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly. Menurutnya, pengesahan ini menjadi tonggak sejarah baru bagi bangsa Indonesia. Sebab, KUHP yang selama ini digunakan adalah warisan pemerintah kolonial Belanda. Sementara itu, RUU KUHP sudah disosialisasikan dengan baik kepada berbagai pemangku kepentingan di Tanah Air.
Ada berbagai pandangan muncul mengenai KUHP. Salah satu pandangan tersebut menyinggung bahwa Indonesia sudah seharusnya memproduksi aturan hukum pidananya sendiri karena telah merdeka pada 17 Agustus 1945, sehingga tidak lagi menggunakan warisan hukum pemerintah kolonial.
Secara garis besar, KUHP memiliki 2 hal pokok yaitu memuat perbuatan apa saja yang diancam hukum pidana. Maka dari itu, negara harus mempublikasikannya kepada masyarakat agar bisa diketahui dengan jelas. Selanjutnya, hal pokok lainnya dari KUHP adalah mengenai konsekuensi apa saja yang akan diterima oleh mereka yang melakukan perbuatan melarang hukum.
Meskipun Indonesia adalah negara merdeka, namun hukum pidana yang digunakan belum bisa lepas dari pengaruh penjajah. Dilihat dari usianya, maka KUHP di Indonesia sudah diterapkan lebih dari 100 tahun dan sangat usang. Hal tersebut dirasa sudah tidak lagi relevan dan sepatutnya dilakukan perubahan. Meskipun Indonesia sudah beberapa kali mengubah materi KUHP, namun belum masuk pada perubahan substansi KUHP. Padahal, KUHP di Belanda sendiri sudah banyak berkembang, seiring dengan perkembangan era.
Rencana Lama
Sejak tahun 1963, Pemerintah Indonesia sebenarnya sudah berencana melakukan rekodifikasi KUHP Nasional. Pembahasan tersebut muncul pada Seminar Hukum Nasional I di Semarang. Bahkan, seminar penting itu disebut sebagai tiang pembaharuan KUHP Indonesia. Adapun substansi KUHP yang kini digunakan berlandaskan pada seminar tahun tersebut. Salah satu contohnya, terkait perluasan dan penambahan delik atau tindak pidana kejahatan keamanan negara, hukum adat, delik kesusilaan, dan delik ekonomi. Dalam beberapa tahun terakhir, diadopsi delik-delik lain, seperti delik penghinaan presiden atau kepala negara, korupsi, dan penyebaran kebencian kepada pemerintah.
Lebih dari 50 tahun lamanya pembahasan rekodifikasi KUHP hanyalah rencana yang mulai usang. Draf RKUHP yang merupakan ide pokok pemikiran tim penyusun kemudian diserahkan ke DPR pada tahun 2013 dan 2015. Setelahnya, pembahasan draf RKUHP memang dilakukan intensif oleh Panja (Panitia Kerja) DPR dan tim dari pemerintah. Targetnya, pembahasan RKUHP akan selesai di akhir tahun 2013. Sayang, target itu tidak tercapai hingga DPR periode 2009-2014 berakhir.
Ketika Presiden Joko Widodo menjabat pada 2014, pemerintah menyatakan komitmen dan kesiapannya untuk membahas lagi RKUHP yang sempat terbengkalai. RKUHP ini terdiri dari Buku I dan II dengan total 786 pasal. Usai draf RKUHP diserahkan, pemerintah membidik pembahasan akan dilakukan selama 2 tahun, yakni sampai akhir 2017. Namun, lagi-lagi bidikan itu kembali meleset. RKUHP tak kunjung rampung dan cenderung menemui kebuntuan.
Angin segar kembali bertiup kala Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej, yang mewakili pemerintah, menyerahkan draf RUU KUHP di Komisi III DPR pada 6 Juli 2022. Draf sempat ditarik kembali oleh pemerintah setelah banjir kritik dan masukan. Pada 9 November 2022, draf terbaru RKUHP diserahkan Kemenkuham kepada DPR.
Akhirnya Disahkan
Setelah mengundang elemen masyarakat melalui rapat dengar pendapat umum, dorongan agar RKUHP segera disahkan menguat. Pemerintah menyatakan pembahasan RKUHP sudah berada di tahap akhir dan telah lebih dari 700 pasal yang dibahas.
Selasa (6/12/2022), RKUHP resmi menjadi UU. Informasi terbaru ini disampaikan langsung oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly. Menurutnya, pengesahan ini menjadi tonggak sejarah baru bagi bangsa Indonesia. Sebab, KUHP yang selama ini digunakan adalah warisan pemerintah kolonial Belanda. Sementara itu, RUU KUHP sudah disosialisasikan dengan baik kepada berbagai pemangku kepentingan di Tanah Air.
(muh)