Inspiratif, Pendeta di Bantul Turut Gotong Royong Bangun Masjid di Kampung Karanggede Bantul

Minggu, 04 Desember 2022 - 11:36 WIB
loading...
Inspiratif, Pendeta...
Sekilas bangunan ini tampak seperti rumah tinggal pada umumnya. Jika tidak diamati dengan seksama, orang tak akan tahu jika ini adalah Gereja Pantekosta di Indonesia (Gpdi) Pendowoharjo.
A A A
YOGYAKARTA - Sekilas bangunan ini tampak seperti rumah tinggal pada umumnya. Jika tidak diamati dengan seksama, orang tak akan tahu jika ini adalah Gereja Pantekosta di Indonesia (Gpdi) Pendowoharjo.

Bangunannya menghadap ke selatan tepat di pinggir jalan lingkungan. Ada sebuah selokan besar di depan gereja. Tanda salib besar di bagian dinding atas dan dinding depanlah yang membedakan bangunan ini dengan sekitarnya. Di teras rumah juga terpasang jadwal ibadah.

Letak gereja ini berada sekitar 30 meter dari masjid di Kampung Karanggede RT 01, Pedukuhan Dagen, Kalurahan Pendowoharjo, Kapanewon Sewon. Lantaran jaraknya yang dekat, maka saat ibadah di gereja yang diikuti oleh banyak jemaat akan terdengar dari masjid. Begitupun sebaliknya, jika di masjid ada pengajian atau pas Salat Jumat maka bisa juga terdengar dari gereja ini.

Di belakang dan timur gereja itu ada beberapa rumah. Tepat di belakang gereja yang bangunannya hampir berdempetan, pemilik rumah adalah penganut muslim, begitupun pemilik rumah yang berada di timur masjid.

“Warga sini yang jadi jemaat gereja hanya tiga KK (kepala keluarga) rumahnya agak di belakang itu,” ujar Pdt Zefanya Kristianto Wijayadi kepada jurnalis MNC Portal, Selasa (29/11/2022).

Dia menyambut ramah saat jurnalis MNC Portal datang. Usai mempersilakan masuk, dia yang awalnya hanya memakai celana pendek dan kaus kemudian masuk ke dalam. Tak berapa lama kemudian dia keluar dengan mengenakan kemeja dan celana panjang.

Pendeta Wijayadi bukan asli warga Karanggede. Dia berasal dari Ngawi, Jawa Timur. Dirinya datang ke kampung itu sekitar tahun 2003 silam. Saat itu dia datang ke Karanggede dan membeli sebidang tanah untuk dibuat rumah. Kemudian pada 2004 mulai membangun rumah yang kemudian dijadikan gereja.

Meski izin secara resmi baru keluar pada 2017, namun masyarakat setempat tidak pernah mempersoalkan hal itu. “Masyarakat welcome dan tidak ribet. Tidak mempersoalkan itu (izin gereja),” ujarnya.

Dalam kehidupan sehari-hari Pendeta Wijayadi juga diterima dengan baik oleh masyarakat sekitar. Dalam acara-acara kampung dia juga terlibat mulai dari acara kenduri selamatan atau hajatan warga dirinya juga diundang. Termasuk saat ada warga meninggal. Pendeta ini juga ikut menggali kubur bersama warga lain sesama muslim.

“Kalau ada kenduri, tradisi Jawa selametan saya ikut. Mereka berdoa dengan keyakinan mereka ya saya juga ikut mendoakan dengan keyakinan kami,” ucapnya.

Tak hanya soal kenduri, saat pembangunan masjid, Pendeta Wijayadi juga ikut bergotong royong. “Dulu kan ini musala, kemudian dibangun masjid sekitar tahun 2010. Di situ saya ikut gotong royong, menganyam besi dan lainnya,” ujarnya.

Pendeta Wijayadi dan jemaatnya mengaku nyaman beribadah dan tinggal di Kampung Karanggede. Setiap event-event keagamaan di gerejanya, masyarakat sekitar juga membantu baik soal parkir hingga masalah keamanan. Meski gereja tak mempunyai lahan parkir sehingga parkir jemaat harus dilakukan di pinggir jalan, masyarakat juga bisa menerima.

“Menurut saya apa yang ada di Karanggede ini adalah contoh sederhana toleransi dan kerukunan beragama. Kuncinya adalah saling menghormati dan saling memahami,” katanya lagi.

Isu-isu terkait konflik agama juga tak mempan di Karanggede ini. Konflik antara agara di sejumlah wilayah tak membuat kerukunan di Karanggede menjadi goyah. Masyarakat di Karanggede justru yang pertama membela jika ada pihak luar ingin mengganggu penganut agama tertentu. “Dulu sempat ada isu ada pihak luar ingin mengganggu mengusik , tapi justru masyarakat sini yang marah dan mengamankannya,” ujarnya.

Ketua RT 01, Heri Joko membenarkan hal ini. Dia masih ingat, saat ada peristiwa gereja dibakar di daerah lain, dirinya dan para warga bersama aparat berjaga di pintu masuk kampung. Pasalnya ada isu kelompok massa itu akan menyerang gereja di kampungnya.

“Kami bersama-sama berjaga di pintu masuk kampung. Kami tidak ingin ketenteraman kampung kami diusik,” ujar pensiunan TNI AU ini.

Heri menjelaskan, meski antara satu tempat ibadah dengan tempat lainnya jaraknya sangat dekat mereka saling menghormati dan tidak saling mengganggu. Heri mencontohkan di Masjid Karanggede rutin digelar pengajian.

Setiap pengajian, pengelola masjid tidak pernah menggunakan pengeras luar. Mereka hanya menggunakan pengeras dalam. Padahal di masjid itu terdapat menara tinggi yang khusus digunakan untuk menempatkan pengeras luar.

“Jadi meski gereja dan pura dekat dengan masjid misalkan ada acara keagamaan berbarengan juga tidak akan mengganggu karena masjid hanya menggunakan pengeras dalam. Pengeras hanya digunakan saat azan saja,” ujarnya.

Atas toleransi yang tinggi ini, Kementerian Agama pada November 2021 silam menobatkan Karanggede sebagai Desa Sadar Kerukunan. Saat ini kampung ini juga menjadi jujugan tempat studi banding dari seluruh Indonesia termasuk para mahasiswa yang ingin belajar toleransi.

Tak jarang para mahasiswa ini juga menetap selama beberapa waktu lamanya untuk memotret kerukunan beragama di kampung ini. Pada 2022 ini, Kementerian Agama juga menetapkan sebagai Tahun Toleransi. Potret di Karanggede ini telah menjadi bukti nyata bahwa dengan toleransi beragama yang tinggi, maka kerukunan di tengah masyarakat akan semakin terjaga.
(ars)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1191 seconds (0.1#10.140)