Kontras Sebut Pasal 218 RKUHP Zombie, Berpotensi Kriminalisasi Pengkritik Presiden

Jum'at, 25 November 2022 - 20:15 WIB
loading...
Kontras Sebut Pasal 218 RKUHP Zombie, Berpotensi Kriminalisasi Pengkritik Presiden
Peneliti Kontras Rozy Brilian menyebut Pasal 218 tentang penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden multitafsir dan akan menjadi pasal karet dalam praktiknya. Foto/istimewa
A A A
JAKARTA - Kontras menilai keberadaan Pasal 218 RKUHP sebagai zombie. Sebab esensi pasal yang mengatur hukuman bagi penyerang harkat dan martabat presiden dan wakil presiden itu sebelumnya telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK).

"Pasal ini kita bilang pasal zombie yang kemudian dihidupkan kembali, padahal sudah dibatalkan oleh MK," kata peneliti Kontras Rozy Brilian saat dihubungi, Jumat (25/11/2022).

Rozy menjelaskan, klausul penghinaan terhadap pimpinan negara sebelumnya telah diatur dalam Pasal 134, Pasal 136bis dan Pasal 137 KUHP. Namun MK telah membatalkan aturan itu dalam putusan Nomor 13-22/PUU-IV/2006.



Menurut Rozy, esensi klausul yang tercantum dalam RKUHP memiliki kesamaan dengan delik yang dibatalkan MK. "Yakni menyerang bisa jadi mengkriminalisasi pihak yang mengkritik terhadap presiden dan wakil presiden," terang Rozy.

Tak hanya itu, Rozy juga menyoroti keberadaan pasal penghinaan terhadap lembaga negara yang tercantum dalam Pasal 349. Menurutnya, keberadaan delik itu sangat mengancam keberlangsungan demokrasi.

"Contohnya penghinaan terhadap lembaga negara misalnya. Kan di penjelasannya disebutkan secara rinci bahwa lembaga negara yang dimaksud itu kepolisian, kejaksaan, DPR RI. Nah lembaga itu kan sebetulnya lembaga yang secara kinerja itu sering dikritik oleh publik," tutur Rozy.



"Nah memasukan delik penghinaan lembaga negara, itu sama saja upaya untuk mengebalkan lembaga negara itu dari kritik publik. Jadi kita melihat ada semacam upaya legitimasi untuk mengkriminalisasi rakyat yang kemudian nanti akan menyampaikan kritik kepada lembaga negara," imbuhnya.

Ia merasa delik penghinaan itu juga bersifat multitafsir. Ia merasa, keberadaan klausul itu dalam RKUHP akan menjadikannya pasal karet. "Sebenarnya itu juga bersifat multitafsir, karet, enggak jelas standar ukuran ketika kita bicara kritik atau menghina," tutur Rozy.

Kendati demikian, Rozy merasa, keberadaan pasal iti akan membuat mundur demokrasi. "Pasti tentu saja RKUHP ini bisa kembalikan rezim otoritarian," tandasnya.
(muh)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2190 seconds (0.1#10.140)