Mengapa Amerika Serikat Selalu Gunakan Standar Ganda dalam Urusan Taiwan?

Rabu, 23 November 2022 - 13:10 WIB
loading...
Mengapa Amerika Serikat Selalu Gunakan Standar Ganda dalam Urusan Taiwan?
Harryanto Aryodiguno, Ph.D, Dosen jurusan Hubungan Internasional President University, Jababeka-Cikarang. Foto/Dok Pribadi
A A A
Harryanto Aryodiguno, Ph.D
Dosen jurusan Hubungan Internasional President University, Jababeka-Cikarang

Amerika Serikat (AS) adalah negara terpenting bagi Taiwan, yang saya yakin tidak akan disangkal oleh orang Taiwan mana pun. Tetapi siapa AS? Mengapa AS seolah-olah menjadi pelindung sekaligus penjual Taiwan ? Apa yang harus kita ketahui tentang AS mengenai pernyataannya tentang "One China Policy" tetapi di sisi lain "Siap melindungi Taiwan dari ancaman" China .

AS memainkan peran sebagai "polisi dunia" di dalam hubungan internasional. AS sekaligus merasa mempunyai tanggung jawab moral untuk menciptakan atau membentuk tatanan dunia. Meskipun AS tidak serta-merta akan campur tangan dalam semua konflik internasional, tetapi selain AS, kita tidak dapat menemukan negara mana pun di dunia ini yang lebih mampu dan mau membantu negara lain dalam melawan agresi dan mengubah sistem politik di bawah kehendak rezim atau negara tersebut.

Tapi faktor apa yang membuat AS melakukan berperan sebagai polisi dunia? Apa yang memotivasi AS untuk melakukan intervensi politik dalam negeri negara lain, terutama negara saingannya, katakanlah China dan Rusia? Apa fokus AS untuk melakukan semua itu? Apa yang dilakukan oleh didasari oleh bagaimana AS mengembangkan pandangan internasional yang sangat unik setelah berdirinya Republik Rakyat China dan kemudian memperluas ideologi kapitalismenya yang menentang komunisme China dan Uni Soviet. Dan seperti yang kita ketahui, kekalahan Uni Soviet menandakan berakhirnya Perang Dingin di dunia internasional.



Dari sudut pandang pemimpin komunis atau rivalnya AS, mekanisme pengambilan keputusan kebijakan luar negeri AS dan teori-teori penting hubungan internasional, kemudian juga pengaruhnya terhadap kebijakan luar negeri AS, tentu saja sangat berpengaruh terhadap keamanan politik, ekonomi maupun perdagangan internasional. Dari sudut pandang orang Asia timur, tentu saja, pengaruh terbesar bagi Asia timur, terutama Taiwan. Karena Taiwan adalah kebijakan AS atau alat tawar-menawar terhadap China. Secara khusus, jika terjadi perang di Selat Taiwan, apakah AS akan mengirimkan pasukan untuk melindungi Taiwan? Pertanyaan yang sangat menarik. Tentu saja tidak mungkin, karena AS tidak akan mengorbankan tentaranya, sumber dayanya maupun ekonominya hanya untuk daerah yang tidak bisa memberikan kontribusi besar terhadap keuangan AS.

Peran Amerika Serikat dalam Perang Saudara China
Sejauh yang penulis amati selama bertahun-tahun, keputusan kebijakan luar negeri AS berasal dari kesadaran moral AS sendiri, yang tercermin dalam upaya mereka untuk memisahkan kekuasaan dan kontrak politik, seperti yang tercermin dalam realisme, liberalisme, dan konstruktivisme dalam teori hubungan internasional. Karakteristik kepentingan nasional AS adalah proses konstruksi yang lebih kompleks, dan proses pengambilan keputusan yang lebih dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu pengambilan keputusan yang rasional, perilaku organisasi, dan politik pemerintah AS. Ini tidak dapat dipersonifikasikan secara murni, juga tidak bisa dijelaskan dengan kebiasaan politik maupun politisi di Taiwan.

Dalam memahami hubungan Republik China (Taiwan) dan AS, kita harus kembali sebelum tahun 1949. Pada saat itu AS tidak peduli dengan Taiwan atau wilayah yang kini menjadi pusat pemerintahan Republik China, tetapi setelah berdirinya Republik Rakyat Cina pada tahun 1949, keamanan Taiwan menjadi objek perhatian AS. Sampai hari ini, AS merasa mempunyai tanggung jawab moral dalam melindungi pemerintah Republik China dan ingat, bukan Taiwan. AS merasa berhutang kepada sekutunya yang bersama-sama berhasil mengalahkan Jepang dalam Perang Dunia II.

Tentu saja banyak pengamat akan berpikir bahwa AS mendukung Taiwan karena letak geografisnya penting. Namun, penulis percaya bahwa rasa bersalah karena "kehilangan Republik China" di Nanjing dan AS ingin "mempromosikan nilai-nilai Amerika" merupakan salah satu faktor utama dalam bantuan untuk selalu menjaga Republik China di Taiwan. Perlu dicatat di sini bahwa "tanggung jawab moral" AS tidak untuk mengelola atau mengatur Taiwan, tetapi berharap bahwa Taiwan bisa "mengatur negara mereka sendiri dengan cara yang sama seperti orang Amerika mengelola Amerika Serikat" tanpa campur tangan dari China maupun kekuatan lainnya.

Republik China sangat tidak setuju dengan cara AS. Melalui kajian data historis, penulis menemukan bahwa meskipun semua orang percaya bahwa Republik China adalah sekutu setia AS, pada kenyataannya, dalam hal "strategi nasional", "sikap terhadap mainland China atau RRC", "sistem politik yang demokratis di Republik China-Taiwan", "derajat demokrasi" maupun "kebijakan ekonomi", Republik China, setidaknya selama Perang Dingin, tidak seperti yang dilakukan oleh AS terhadap negara lain. Dan Republik China-Taiwan sangat tidak setuju dengan "demokrasi" buatan AS.

Selama Perang Dingin, selain membantu pembangunan ekonomi Taiwan, fokus kebijakan AS adalah melindungi Taiwan, jangan sampai RRC merasa ada peluang untuk melancarkan perang melawan Taiwan. Di sisi lain, AS memang berniat melindungi Taiwan, tapi tidak ingin membantu Taiwan menyerang kembali daratan China. Keputusan Chiang Kai-shek, Presiden Republik China di Taiwan waktu itu untuk "menyerang balik daratan" adalah hambatan utama bagi hubungan antara Taiwan dan AS, karena AS percaya bahwa serangan balik di daratan tidak mungkin berhasil, dan itu akan membuat AS dan RRC saling berhadapan. Oleh karena itu selama Perang Dingin, AS tidak menganggap Taiwan sebagai umpan atau koin yang penting. AS juga yakin Taiwan tidak akan diserang oleh RRC. Karena RRC juga tidak menganggap nilai strategis Taiwan, dan bagi AS Taiwan sama sekali tidak bernilai, kecuali sebagai tempat untuk mempropagandakan anti komunisnya AS.

Ketidaksepakatan atau perbedaan pandangan antara Chiang Kai Shek dan AS adalah posisi Taiwan. Hal ini tidak terlepas dari kebijakan “counter-ofensif daratan China”. Penulis percaya bahwa untuk AS, "dua negara di kedua sisi Selat Taiwan" (dua China atau satu China, dan satu Taiwan) adalah kebijakan yang cenderung diadopsi AS sebelum pemerintahan Nixon, meskipun AS sudah melakukannya dari dulu tetapi karena alasan politis, sampai saat ini AS belum tentu menyatakannya secara eksplisit.

Seperti kesepakatan tak tertulis dari berbagai negara, negara-negara yang bertikai tidak boleh menyelesaikan perselisihan dengan kekerasan. Jika prinsip ini juga diterapkan di antara China daratan dan Taiwan, maka AS akan selalu merasa memiliki dukungan moral dari internasional untuk membela Taiwan dan melawan China. Tentu saja, logika yang sama berlaku untuk "serangan balik ke daratan", sehingga AS akan menentangnya. Jika tidak, dukungan AS terhadap serangan Chiang Kai-shek di daratan China akan menjadi campur tangan AS dalam perang saudara China.

Akan tetapi, Republik China juga dengan tegas menentang hal ini, karena kebijakan "Satu China" artinya "hanya ada Satu China di dunia, Satu China tentu saja adalah Republik Rakyat China, dan Taiwan adalah bagian dari China." Berdasarkan landasan diplomatik dunia, yang terakhir adalah landasan politik kepemilikan pemerintah Kuomintang atas Taiwan; Pemerintah Chiang Kai Shek menuntut bahwa kenapa prinsip Satu China tidak bisa diartikan bahwa hanya ada satu Republik China-Taiwan yang sah di dunia? Yang bisa mewakili seluruh China? Dan Chiang Kai Shek yakin apabila ada dukungan dan persetujuan AS, semua ini akan menjadi nyata. Dan inilah sebabnya mengapa keturunan China di seluruh dunia menuding bahwa Taiwan menjual diri kepada AS, tanpa mempelajari sejarah dan latar belakang yang membuat semua ini terjadi.

Masalah lain adalah , bagaimanapun, Republik Rakyat China yang lebih besar, kuat dan lebih representatif. Selama AS mengubah pengakuan politiknya terhadap Taiwan dan status "Taiwan" diganti menjadi provinsi China, "Kebijakan Satu China" Republik China tidak hanya akan gagal menjadi dasar diplomasi otoritas Taipei, tetapi juga malah akan menjadi belenggu atau rintangan Taiwan dalam menjadi bagian dari anggota dunia.

Kebijakan Amerika Serikat terhadap Taiwan
AS membantu mempertahankan Taiwan karena Perang Korea, dan secara bertahap juga menjaga jarak dengan Taiwan karena Perang Vietnam. AS bersekutu dengan China untuk menyelesaikan perang Vietnam dan memaksa RRC berperan sebagai penyeimbang komunis Soviet. Saat itulah "versi AS tentang kebijakan Satu China" muncul. Dalam Komunike Shanghai 1972, tertera dengan jelas bahwa AS menyatakan mengakui bahwa semua orang China di kedua sisi Selat Taiwan percaya bahwa hanya ada satu China dan bahwa Taiwan adalah bagian dari China. Pemerintah AS tidak menyangkal ini. AS kembali menegaskan kembali minatnya pada resolusi damai tentang Taiwan. Dengan mengingat komunike ini, AS menegaskan akan menarik semua angkatan bersenjata dan instalasi militer AS dari Taiwan. Selama periode ini, secara bertahap akan mengurangi instalasi militer dan angkatan bersenjataAS di Taiwan sampai dengan ketegangan di kawasan itu mereda.

Sampai hari ini, "kebijakan satu China" masih menjadi faktor paling krusial yang mempengaruhi kebijakan AS terhadap Taiwan. Hal ini dipengaruhi oleh tradisi politik AS "yang merupakan prinsip dan model dunia yang mapan, yang sulit untuk berubah dengan mudah. Perlu dicatat bahwa ini juga sejalan dengan salah satu prinsip diplomasi moral AS - yaitu, "jangan lakukan kepada orang lain apa yang tidak ingin Anda lakukan pada diri sendiri."

Alasan penting bagi AS untuk mematuhi "Prinsip Satu China" adalah bahwa kedua sisi Selat Taiwan percaya bahwa Taiwan adalah bagian dari China; tentu saja, Beijing tidak perlu mengatakan bahwa Taipei tidak menyangkal bahwa Taiwan adalah bagian dari China. Ketika "Prinsip Satu China mulai" diungkapkan dengan kata-kata, dan Satu China itu adalah "China" di tahun 1972. Pemerintah RRC di Beijing tidak bisa menerima, karena mereka mengklaim bahwa merekalah pemilik sah dari China, meskipun saat itu masih sedikit negara yang mengakui keabsahan RRC. Meskipun "Satu China, dan semua negara pendukung RRC turut menyatakan model Satu China pada tahun 1972 tidak diterima oleh RRC saat itu, tetapi pada saat itu prinsip Satu China di bawah Republik China yang ada di Taipei adalah fakta.

Terakhir, untuk mempersingkat tulisan ini, sampai saat ini Taiwan dan China menggunakan "Satu China" sebagai nama negara mereka. Jadi, sebenarnya tidak perlu ada pertentangan internasional tentang One China Policy, cukup saja mereka yang menyelesaikan masalahnya sendiri.
(zik)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1797 seconds (0.1#10.140)