Pasal Larangan Hina Pemerintah dan Lembaga Umum di RKUHP Dinilai Melawan PBB
loading...
A
A
A
JAKARTA - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menilai Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( RKUHP ) telah melawan kesepakatan Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) dengan memasukkan pasal larangan menghina pemerintah atau lembaga umum.
Pengacara LBH Jakarta, Citra Referandum mengatakan, RKUHP tersebut memasukkan larangan penghinaan terhadap pemerintah maupun lembaga umum. Dia menilai pasal tersebut telah melawan kesepakatan yang dikeluarkan PBB karena mengancam kebebasan berpendapat.
"Padahal pasal ini menurut PBB sudah tidak boleh lagi karena pengaturan itu akan mengancam kebebasan berpendapatan dan berekspresi," kata Citra dalam konferensi pers yang digelar Aliansi Masyarakat Sipil , Minggu (20/11/2022).
Senada, Kepala Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Zainal Arifin menilai, pasal penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga umum merupakan penyempitan ruang demokrasi. Pasal itu juga dianggap sebagai bukti bahwa bahwa pemerintah. "Ini menjadi pasal yang berpotensi penyempitan ruang demokrasi," kata Arifin.
Arifin menilai pasal tersebut membuktikan pemerintah menjadikan pasal tersebut sebagai tameng di tengah buruknya kinerja pemerintah. Hal itu dilakukan sebagai upaya pemerintah mempersempit ruang partisipasi masyarakat dalam memberikan saran dan kritik baik yang dilakukan berdasarkan kasian sistematik maupun tidak.
"Saya menduga keberadaan pasal antidemokrasi ini merupakan bagian bahwa pemerintah memiliki kinerja yang buruk. Pemerintah menyadari bahwa proses menjalankan tugas buruk atau kekerasan demi kekerasan yang dilakukan negara sehingga potensi melakukan kritik atau potensi masyarakat memperjuangkan keadilan akan tersedia. Karena sadar buruknya kinerja maka pemerintah memerlukan tameng untuk melindungi dirinya dengan masih mempertahankan pasal antidemokrasi dalam RKUHP," katanya.
Pengacara LBH Jakarta, Citra Referandum mengatakan, RKUHP tersebut memasukkan larangan penghinaan terhadap pemerintah maupun lembaga umum. Dia menilai pasal tersebut telah melawan kesepakatan yang dikeluarkan PBB karena mengancam kebebasan berpendapat.
"Padahal pasal ini menurut PBB sudah tidak boleh lagi karena pengaturan itu akan mengancam kebebasan berpendapatan dan berekspresi," kata Citra dalam konferensi pers yang digelar Aliansi Masyarakat Sipil , Minggu (20/11/2022).
Senada, Kepala Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Zainal Arifin menilai, pasal penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga umum merupakan penyempitan ruang demokrasi. Pasal itu juga dianggap sebagai bukti bahwa bahwa pemerintah. "Ini menjadi pasal yang berpotensi penyempitan ruang demokrasi," kata Arifin.
Arifin menilai pasal tersebut membuktikan pemerintah menjadikan pasal tersebut sebagai tameng di tengah buruknya kinerja pemerintah. Hal itu dilakukan sebagai upaya pemerintah mempersempit ruang partisipasi masyarakat dalam memberikan saran dan kritik baik yang dilakukan berdasarkan kasian sistematik maupun tidak.
"Saya menduga keberadaan pasal antidemokrasi ini merupakan bagian bahwa pemerintah memiliki kinerja yang buruk. Pemerintah menyadari bahwa proses menjalankan tugas buruk atau kekerasan demi kekerasan yang dilakukan negara sehingga potensi melakukan kritik atau potensi masyarakat memperjuangkan keadilan akan tersedia. Karena sadar buruknya kinerja maka pemerintah memerlukan tameng untuk melindungi dirinya dengan masih mempertahankan pasal antidemokrasi dalam RKUHP," katanya.
(cip)