Kasus Gagal Ginjal Akut, Orang Tua Anak Meninggal Gugat BPOM dan Kemenkes
loading...
A
A
A
Di saat yang sama, pemasok bahan obat juga harus memastikan keamanan bahan yang disediakan serta memenuhi standar mutu serta standar keselamatan bagi konsumen. Tim kuasa hukum menilai, kejadian hilangnya ratusan nyawa anak tak berdosa ini menunjukkan betapa pemerintah dan perusahaan obat abai atas keselamatan warga.
"Gugatan class action ini didasarkan pada penilaian kami bahwa seharusnya peristiwa kelam ini bisa dicegah andai saja pemerintah dan swasta benar-benar memiliki itikad baik," jelasnya.
Hal ini mengingat peristiwa serupa bukan baru pertama kali ini terjadi di dunia. Tim mencatat setidaknya sejak 1990 telah terjadi peristiwa keracunan zat EG dan DEG yang tersebar di berbagai negara di antaranya Nigeria pada 1990 yang menyebabkan 40 anak meninggal, Bangladesh pada 1990-1992 sebanyak 339 anak meninggal, Argentina pada 1992 yang menyebabkan 29 anak meninggal.
Selain itu, Haiti pada 1995-1996 di mana 109 anak meninggal, Panama pada 2006 menyebabkan 219 anak meninggal dan Nigeria 2008 sebanyak 84 anak meninggal. Ironisnya, meskipun telah ada preseden sejak 30 tahun yang lalu, pemerintah dalam hal ini Kemenkes dan BPOM tampak kaget menghadapi peristiwa ini.
Bahkan dalam sebuah kesempatan, BPOM justru mencoba lari dari tanggung jawab dan menyatakan ketidaksiapan menghadapi kejadian ini dikarenakan tidak ada standar internasional mengenai pembatasan zat EG DEG.
"Sejumlah dokumen yang kami miliki justru menunjukkan fakta sebaliknya. Hal ini merupakan salah satu yang kami utarakan dalam gugatan class action," kata Tegar.
"Kami menilai banyak sekali anak meninggal dunia akibat obat yang justru diedarkan secara resmi, mengindikasikan adanya masalah dan dugaan permainan di balik ini semua. Demi keuntungan bisnis, keselamatan warga terabaikan. Negara dan perusahaan wajib bertanggung jawab atas masalah ini demi terpenuhinya keadilan bagi korban," sambungnya.
Karenanya menurut Tegar, proses yang terjadi sekarang ini juga menandakan kasus gagal ginjal akut ini akan berlalu begitu saja, korban akan dilupakan dan kesalahan pihak-pihak yang tidak terungkap atau tidak diungkap akan disimpan rapat.
"Orang tua korban dan kami sebagai kuasa hukum tidak akan membiarkan hal tersebut terjadi. Upaya hukum sedang bersama-sama kami lakukan dalam bentuk gugatan class action," tutupnya.
Sementara Kepala BPOM Penny K Lukito menegaskan, tak ada ketentuan mengenai batas cemaran EG dan DEG dalam standar farmakope Indonesia maupun internasional.
"Gugatan class action ini didasarkan pada penilaian kami bahwa seharusnya peristiwa kelam ini bisa dicegah andai saja pemerintah dan swasta benar-benar memiliki itikad baik," jelasnya.
Hal ini mengingat peristiwa serupa bukan baru pertama kali ini terjadi di dunia. Tim mencatat setidaknya sejak 1990 telah terjadi peristiwa keracunan zat EG dan DEG yang tersebar di berbagai negara di antaranya Nigeria pada 1990 yang menyebabkan 40 anak meninggal, Bangladesh pada 1990-1992 sebanyak 339 anak meninggal, Argentina pada 1992 yang menyebabkan 29 anak meninggal.
Selain itu, Haiti pada 1995-1996 di mana 109 anak meninggal, Panama pada 2006 menyebabkan 219 anak meninggal dan Nigeria 2008 sebanyak 84 anak meninggal. Ironisnya, meskipun telah ada preseden sejak 30 tahun yang lalu, pemerintah dalam hal ini Kemenkes dan BPOM tampak kaget menghadapi peristiwa ini.
Bahkan dalam sebuah kesempatan, BPOM justru mencoba lari dari tanggung jawab dan menyatakan ketidaksiapan menghadapi kejadian ini dikarenakan tidak ada standar internasional mengenai pembatasan zat EG DEG.
"Sejumlah dokumen yang kami miliki justru menunjukkan fakta sebaliknya. Hal ini merupakan salah satu yang kami utarakan dalam gugatan class action," kata Tegar.
"Kami menilai banyak sekali anak meninggal dunia akibat obat yang justru diedarkan secara resmi, mengindikasikan adanya masalah dan dugaan permainan di balik ini semua. Demi keuntungan bisnis, keselamatan warga terabaikan. Negara dan perusahaan wajib bertanggung jawab atas masalah ini demi terpenuhinya keadilan bagi korban," sambungnya.
Karenanya menurut Tegar, proses yang terjadi sekarang ini juga menandakan kasus gagal ginjal akut ini akan berlalu begitu saja, korban akan dilupakan dan kesalahan pihak-pihak yang tidak terungkap atau tidak diungkap akan disimpan rapat.
"Orang tua korban dan kami sebagai kuasa hukum tidak akan membiarkan hal tersebut terjadi. Upaya hukum sedang bersama-sama kami lakukan dalam bentuk gugatan class action," tutupnya.
Sementara Kepala BPOM Penny K Lukito menegaskan, tak ada ketentuan mengenai batas cemaran EG dan DEG dalam standar farmakope Indonesia maupun internasional.