Kasus Gagal Ginjal Akut, Orang Tua Anak Meninggal Gugat BPOM dan Kemenkes
loading...
A
A
A
JAKARTA - Sejumlah orang tua yang anak-anaknya meninggal akibat penyakit gagal ginjal akut akan menggugat sejumlah pihak seperti Kemenkes , BPOM, dan beberapa perusahaan farmasi. Hal ini terkait obat sirup yang tercemar larutan etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG).
Gugatan dilayangkan oleh sejumlah orang tua korban karena mereka menganggap BPOM, Kemenkes, dan sejumlah perusahaan-perusahaan farmasi dianggap lalai dan lambat mengawasi peredaran obat-obatan yang diduga tercemar larutan berbahaya.
Berdasarkan informasi yang telah beredar, zat EG dan DEG dalam obat sirup diduga kuat menjadi penyebab kasus gagal ginjal akut yang menewaskan ratusan anak di Indonesia. Hingga awal November 2022, tercatat 195 anak meninggal dunia akibat gagal ginjal akut.
Penyakit gagal ginjal akut pada anak-anak sepertinya tidak pernah terbayangkan oleh Safitri. Dirinya terisak menahan tangis saat menceritakan kronologi anaknya yang meninggal akibat gagal ginjal akut, Minggu (20/11/2022).
Safitri tidak menyangka anak tercintanya yang awalnya mengalami batuk pilek dalam beberapa hari memburuk, dan meninggal dengan diagnosa gagal ginjal akut.
"Semua alat di rumah sakit yang mungkin teman-teman tahu, terpasang di badan anak kami. Dari yang paling kecil umur 6 bulan, 9 bulan, sampai anak saya yang 8 tahun," ujar Safitri yang hadir dalam acara Media Briefing Korban Gagal Ginjal Akut Menggugat (Class Action) di Jakarta.
"Yang tidak akan terbayangkan, tidak akan bisa melupakan seumur hidup, itu terpasang di anak-anak kami. Yang hari sebelumnya masih main bola, sebelumnya masih sekolah, masih ujian, masih lari-lari sana-sini," tambahnya.
Safitri pun mengaku kecewa kasus gagal ginjal akut yang sudah terdeteksi sejak Januari 2022, baru mendapat atensi serius dari pemerintah beberapa bulan setelahnya. Pengadaan obat penawar juga lambat setelah jatuh korban ratusan anak.
"Saya menyayangkan kenapa tidak ada awareness. Kenapa dari pihak IDAI, Kemenkes tidak ada awareness. Tracing dari awal, ada kasus baru yang memang belum diketahui penyebabnya, tapi setidaknya anak-anak atau pasien ini punya satu benang merah yang sama. Dengan gejala bermacam-macam yang berbeda, rentang waktu yang berbeda, tapi sama-sama satu, dia demam dan tidak bisa buang air kecil," ungkap Safitri.
Hal ini membawa Safitri dengan yakin bersama sejumlah keluarga korban lain untuk memberi tuntutan class action kepada pihak terkait. Sikap ini diambil untuk menuntut tanggung jawab dari seluruh pihak yang membuat sistem pengawasan tidak berjalan dengan semestinya.
"Yang kita hadapin lembaga-lembaga yang abai, yang merasa sudah mengerjakan tugasnya tapi tidak dikerjakan, dan kemana lagi kami harus minta keadilan," tegasnya.
Dalam kesempatan tersebut, terdapat lembaga dan sejumlah perusahaan farmasi yang akan digugat oleh orang tua yang anaknya meninggal karena didiagnosa gagal ginjal akut akibat mengkonsumsi obat sirup yang tercemar EG dan DEG.
Kesembilan lembaga dan perusahaan tersebut adalah BPOM, Kemenkes, PT Afi Pharma, PT Universal Pharmaceutical Industries (UPI), PT Tirta Buana, PT Logicom Solution, PT Mega Setia Agung, CV Mega Integra, dan CV Budiarta.
Sebelumnya, sejumlah orang tua yang anak-anaknya menjadi korban kasus gagal ginjal akut menunjuk Tim Advokasi untuk Kemanusiaan sebagai pemegang kuasa untuk melakukan class action.
Penunjukan kuasa hukum ini adalah wujud dari keresahan dan kekecewaan para orang tua korban yang anaknya meninggal akibat gagal ginjal akut. Hingga awal November 2022, tercatat 195 anak meninggal dunia akibat gagal ginjal akut.
"Kami Tim Advokasi Hukum Untuk Kemanusiaan mengajukan gugatan class action kepada pemerintah demi terpenuhinya keadilan bagi korban," kata Tim Advokasi Hukum untuk Kemanusiaan Tegar Putuhena, Jumat 18 November 2022.
Kata Tegar Putuhena, pihaknya menilai negara semestinya bertanggung jawab dan memberikan keadilan dan ganti kerugian yang layak bagi para korban. "Namun, negara rupanya gagal menjamin keselamatan warganya. Gugatan ini menjadi penting dilakukan sekaligus menjadi peringatan bagi pemerintah dan perusaahaan obat agar tak main-main dengan nyawa manusia," tuturnya.
Selain Kemenkes dan BPOM, produsen obat dan pemasok bahan juga harus ikut bertanggung jawab. Itulah mengapa ada sembilan pihak yang menjadi tergugat dalam gugatan ini yang terdiri dari unsur pemerintah dan swasta.
Pihak swasta harus turut memikul beban kesalahan ini. Sebagai produsen obat, harusnya ada quality check yang dilakukan sebelum obat diedarkan. Kemudian kata dia, saat sedang beredar, mestinya ada quality control yang juga ketat.
Di saat yang sama, pemasok bahan obat juga harus memastikan keamanan bahan yang disediakan serta memenuhi standar mutu serta standar keselamatan bagi konsumen. Tim kuasa hukum menilai, kejadian hilangnya ratusan nyawa anak tak berdosa ini menunjukkan betapa pemerintah dan perusahaan obat abai atas keselamatan warga.
"Gugatan class action ini didasarkan pada penilaian kami bahwa seharusnya peristiwa kelam ini bisa dicegah andai saja pemerintah dan swasta benar-benar memiliki itikad baik," jelasnya.
Hal ini mengingat peristiwa serupa bukan baru pertama kali ini terjadi di dunia. Tim mencatat setidaknya sejak 1990 telah terjadi peristiwa keracunan zat EG dan DEG yang tersebar di berbagai negara di antaranya Nigeria pada 1990 yang menyebabkan 40 anak meninggal, Bangladesh pada 1990-1992 sebanyak 339 anak meninggal, Argentina pada 1992 yang menyebabkan 29 anak meninggal.
Selain itu, Haiti pada 1995-1996 di mana 109 anak meninggal, Panama pada 2006 menyebabkan 219 anak meninggal dan Nigeria 2008 sebanyak 84 anak meninggal. Ironisnya, meskipun telah ada preseden sejak 30 tahun yang lalu, pemerintah dalam hal ini Kemenkes dan BPOM tampak kaget menghadapi peristiwa ini.
Bahkan dalam sebuah kesempatan, BPOM justru mencoba lari dari tanggung jawab dan menyatakan ketidaksiapan menghadapi kejadian ini dikarenakan tidak ada standar internasional mengenai pembatasan zat EG DEG.
"Sejumlah dokumen yang kami miliki justru menunjukkan fakta sebaliknya. Hal ini merupakan salah satu yang kami utarakan dalam gugatan class action," kata Tegar.
"Kami menilai banyak sekali anak meninggal dunia akibat obat yang justru diedarkan secara resmi, mengindikasikan adanya masalah dan dugaan permainan di balik ini semua. Demi keuntungan bisnis, keselamatan warga terabaikan. Negara dan perusahaan wajib bertanggung jawab atas masalah ini demi terpenuhinya keadilan bagi korban," sambungnya.
Karenanya menurut Tegar, proses yang terjadi sekarang ini juga menandakan kasus gagal ginjal akut ini akan berlalu begitu saja, korban akan dilupakan dan kesalahan pihak-pihak yang tidak terungkap atau tidak diungkap akan disimpan rapat.
"Orang tua korban dan kami sebagai kuasa hukum tidak akan membiarkan hal tersebut terjadi. Upaya hukum sedang bersama-sama kami lakukan dalam bentuk gugatan class action," tutupnya.
Sementara Kepala BPOM Penny K Lukito menegaskan, tak ada ketentuan mengenai batas cemaran EG dan DEG dalam standar farmakope Indonesia maupun internasional.
"Tidak ada ketentuan batas cemaran etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) dalam produk obat jadi pada standar farmakope Indonesia maupun internasional. Sehingga tidak ada payung hukum BPOM untuk melakukan pengawasan," kata Penny K Lukito dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (18/11/2022).
Gugatan dilayangkan oleh sejumlah orang tua korban karena mereka menganggap BPOM, Kemenkes, dan sejumlah perusahaan-perusahaan farmasi dianggap lalai dan lambat mengawasi peredaran obat-obatan yang diduga tercemar larutan berbahaya.
Berdasarkan informasi yang telah beredar, zat EG dan DEG dalam obat sirup diduga kuat menjadi penyebab kasus gagal ginjal akut yang menewaskan ratusan anak di Indonesia. Hingga awal November 2022, tercatat 195 anak meninggal dunia akibat gagal ginjal akut.
Penyakit gagal ginjal akut pada anak-anak sepertinya tidak pernah terbayangkan oleh Safitri. Dirinya terisak menahan tangis saat menceritakan kronologi anaknya yang meninggal akibat gagal ginjal akut, Minggu (20/11/2022).
Safitri tidak menyangka anak tercintanya yang awalnya mengalami batuk pilek dalam beberapa hari memburuk, dan meninggal dengan diagnosa gagal ginjal akut.
"Semua alat di rumah sakit yang mungkin teman-teman tahu, terpasang di badan anak kami. Dari yang paling kecil umur 6 bulan, 9 bulan, sampai anak saya yang 8 tahun," ujar Safitri yang hadir dalam acara Media Briefing Korban Gagal Ginjal Akut Menggugat (Class Action) di Jakarta.
"Yang tidak akan terbayangkan, tidak akan bisa melupakan seumur hidup, itu terpasang di anak-anak kami. Yang hari sebelumnya masih main bola, sebelumnya masih sekolah, masih ujian, masih lari-lari sana-sini," tambahnya.
Safitri pun mengaku kecewa kasus gagal ginjal akut yang sudah terdeteksi sejak Januari 2022, baru mendapat atensi serius dari pemerintah beberapa bulan setelahnya. Pengadaan obat penawar juga lambat setelah jatuh korban ratusan anak.
"Saya menyayangkan kenapa tidak ada awareness. Kenapa dari pihak IDAI, Kemenkes tidak ada awareness. Tracing dari awal, ada kasus baru yang memang belum diketahui penyebabnya, tapi setidaknya anak-anak atau pasien ini punya satu benang merah yang sama. Dengan gejala bermacam-macam yang berbeda, rentang waktu yang berbeda, tapi sama-sama satu, dia demam dan tidak bisa buang air kecil," ungkap Safitri.
Hal ini membawa Safitri dengan yakin bersama sejumlah keluarga korban lain untuk memberi tuntutan class action kepada pihak terkait. Sikap ini diambil untuk menuntut tanggung jawab dari seluruh pihak yang membuat sistem pengawasan tidak berjalan dengan semestinya.
"Yang kita hadapin lembaga-lembaga yang abai, yang merasa sudah mengerjakan tugasnya tapi tidak dikerjakan, dan kemana lagi kami harus minta keadilan," tegasnya.
Dalam kesempatan tersebut, terdapat lembaga dan sejumlah perusahaan farmasi yang akan digugat oleh orang tua yang anaknya meninggal karena didiagnosa gagal ginjal akut akibat mengkonsumsi obat sirup yang tercemar EG dan DEG.
Kesembilan lembaga dan perusahaan tersebut adalah BPOM, Kemenkes, PT Afi Pharma, PT Universal Pharmaceutical Industries (UPI), PT Tirta Buana, PT Logicom Solution, PT Mega Setia Agung, CV Mega Integra, dan CV Budiarta.
Sebelumnya, sejumlah orang tua yang anak-anaknya menjadi korban kasus gagal ginjal akut menunjuk Tim Advokasi untuk Kemanusiaan sebagai pemegang kuasa untuk melakukan class action.
Penunjukan kuasa hukum ini adalah wujud dari keresahan dan kekecewaan para orang tua korban yang anaknya meninggal akibat gagal ginjal akut. Hingga awal November 2022, tercatat 195 anak meninggal dunia akibat gagal ginjal akut.
"Kami Tim Advokasi Hukum Untuk Kemanusiaan mengajukan gugatan class action kepada pemerintah demi terpenuhinya keadilan bagi korban," kata Tim Advokasi Hukum untuk Kemanusiaan Tegar Putuhena, Jumat 18 November 2022.
Kata Tegar Putuhena, pihaknya menilai negara semestinya bertanggung jawab dan memberikan keadilan dan ganti kerugian yang layak bagi para korban. "Namun, negara rupanya gagal menjamin keselamatan warganya. Gugatan ini menjadi penting dilakukan sekaligus menjadi peringatan bagi pemerintah dan perusaahaan obat agar tak main-main dengan nyawa manusia," tuturnya.
Selain Kemenkes dan BPOM, produsen obat dan pemasok bahan juga harus ikut bertanggung jawab. Itulah mengapa ada sembilan pihak yang menjadi tergugat dalam gugatan ini yang terdiri dari unsur pemerintah dan swasta.
Pihak swasta harus turut memikul beban kesalahan ini. Sebagai produsen obat, harusnya ada quality check yang dilakukan sebelum obat diedarkan. Kemudian kata dia, saat sedang beredar, mestinya ada quality control yang juga ketat.
Di saat yang sama, pemasok bahan obat juga harus memastikan keamanan bahan yang disediakan serta memenuhi standar mutu serta standar keselamatan bagi konsumen. Tim kuasa hukum menilai, kejadian hilangnya ratusan nyawa anak tak berdosa ini menunjukkan betapa pemerintah dan perusahaan obat abai atas keselamatan warga.
"Gugatan class action ini didasarkan pada penilaian kami bahwa seharusnya peristiwa kelam ini bisa dicegah andai saja pemerintah dan swasta benar-benar memiliki itikad baik," jelasnya.
Hal ini mengingat peristiwa serupa bukan baru pertama kali ini terjadi di dunia. Tim mencatat setidaknya sejak 1990 telah terjadi peristiwa keracunan zat EG dan DEG yang tersebar di berbagai negara di antaranya Nigeria pada 1990 yang menyebabkan 40 anak meninggal, Bangladesh pada 1990-1992 sebanyak 339 anak meninggal, Argentina pada 1992 yang menyebabkan 29 anak meninggal.
Selain itu, Haiti pada 1995-1996 di mana 109 anak meninggal, Panama pada 2006 menyebabkan 219 anak meninggal dan Nigeria 2008 sebanyak 84 anak meninggal. Ironisnya, meskipun telah ada preseden sejak 30 tahun yang lalu, pemerintah dalam hal ini Kemenkes dan BPOM tampak kaget menghadapi peristiwa ini.
Bahkan dalam sebuah kesempatan, BPOM justru mencoba lari dari tanggung jawab dan menyatakan ketidaksiapan menghadapi kejadian ini dikarenakan tidak ada standar internasional mengenai pembatasan zat EG DEG.
"Sejumlah dokumen yang kami miliki justru menunjukkan fakta sebaliknya. Hal ini merupakan salah satu yang kami utarakan dalam gugatan class action," kata Tegar.
"Kami menilai banyak sekali anak meninggal dunia akibat obat yang justru diedarkan secara resmi, mengindikasikan adanya masalah dan dugaan permainan di balik ini semua. Demi keuntungan bisnis, keselamatan warga terabaikan. Negara dan perusahaan wajib bertanggung jawab atas masalah ini demi terpenuhinya keadilan bagi korban," sambungnya.
Karenanya menurut Tegar, proses yang terjadi sekarang ini juga menandakan kasus gagal ginjal akut ini akan berlalu begitu saja, korban akan dilupakan dan kesalahan pihak-pihak yang tidak terungkap atau tidak diungkap akan disimpan rapat.
"Orang tua korban dan kami sebagai kuasa hukum tidak akan membiarkan hal tersebut terjadi. Upaya hukum sedang bersama-sama kami lakukan dalam bentuk gugatan class action," tutupnya.
Sementara Kepala BPOM Penny K Lukito menegaskan, tak ada ketentuan mengenai batas cemaran EG dan DEG dalam standar farmakope Indonesia maupun internasional.
"Tidak ada ketentuan batas cemaran etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) dalam produk obat jadi pada standar farmakope Indonesia maupun internasional. Sehingga tidak ada payung hukum BPOM untuk melakukan pengawasan," kata Penny K Lukito dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (18/11/2022).
(kri)