Mengenal Jenderal Soengkono, Pangdam Brawijaya Pertama Sosok di Balik Pertempuran Surabaya

Sabtu, 19 November 2022 - 09:20 WIB
loading...
Mengenal Jenderal Soengkono, Pangdam Brawijaya Pertama Sosok di Balik Pertempuran Surabaya
Mayor Jenderal TNI (Purn) Soengkono merupakan Panglima Divisi I Brawijaya pertama (saat ini disebut Panglima Kodam V Brawijaya). FOTO/nationaalarchief.nl
A A A
JAKARTA - Mayor Jenderal TNI (Purn) Soengkono merupakan Panglima Divisi I Brawijaya pertama (saat ini disebut Panglima Kodam V Brawijaya ). Jenderal kelahiran Purbalingga, Jawa Tengah, 1 Januari 1911 itu berperan besar dalam pertempuan Surabaya 10 November 1945 dan peristiwa pemberontakan PKI di Madiun pada 1948.

Sehari sebelum pertempuran Surabaya pecah, Soengkono yang waktu itu masih berpangkat Kolonel terpilih menjadi Panglima Angkatan Pertahanan Surabaya. Di tengah ancaman pasukan Inggris dengan persenjataan lengkap, Soengkono menyampaikan pidato yang menggetarkan di hadapan anak buahnya dan arek-arek Surabaya.

"Saudara-saudara, saya ingin mempertahankan Kota Surabaya… Surabaya tidak bisa kita lepaskan dari bahaya ini. Kalau saudara-saudara mau meninggalkan kota, saya juga tidak menahan; tapi saya akan mempertahankan kota sendiri…?" kata Kolonel Soengkono dikutip dari buku berjudul Surabaya 1945: Sakral Tanahku karya penulis Australia, Francis Palmos, dikutip, Sabtu (19/11/2022).



Berkat pidato ini, semangat para mantan anggota PETA, Heiho, KNIL, dan pemuda pejuang yang bergabung dalam Badan Keamanan Rakyat (BKR) kembali berkobar. Pertempuran Surabaya pun akhirnya berhasil dimenangkan.

Peran yang sama besar juga dilakukan Soengkono dalam peristiwa Madiun 1948. PKI pimpinan Alimin dan Muso melakukan pemberontakan pada 18 September 1948 dan memaksa Presiden Soekarno menyatakan Negara Dalam Keadaan Bahaya (Staats van Oorlog e Beleg/SOB). Untuk mengatasi pemberontakan itu, Bung Karno kemudian mengangkat Soengkono menjadi Gubernur Militer Jawa Timur.

Kolonel Soengkono menjalankan tugas dengan baik dengan menumpas para pemberontak. Hanya butuh waktu kurang dari sebulan, Soengkono berhasil memulih keamanan di wilayah Jawa Timur. Atas keberhasilannya, Soengkono pada 1 November 1948 dilantik menjadi Panglima Divisi 1 Brawijaya Jawa Timur.

Baca juga: Profil Letjen Agus Subiyanto, Jenderal Bintang 3 Wakil Kepala Staf TNI Angkatan Darat

Biografi Singkat Mayjen Soengkono
Mengutip jurnal yang diterbitkan Universitas Negeri Surabaya berjudul Peran Mayjen Sungkono dalam Mempertahankan Kemerdekaan di Jawa Timur karya Septiana Alrianingrum, Soengkono lahir pada 1 Januari 1911 di Purbalingga, Jawa Tengah. Ayahnya bernama Ki Tawireja dan ibunya Rinten.

Soengkono lahir dari keluarga biasa. Ayahnya bekerja sebagai penjahit dan pedagang pakaian. Keahlian ini nantinya diturunkan kepada Soengkono. Ketika masa perang kemerdekaan, Soengkono menjahit pakaiannya sendiri.

Sang ibu meninggal dunia tak lama setelah melahirkan Soengkono. Ayahnya kemudian menikah lagi dengan Kartinem, seorang perancang dan penjualan getuk. Setiap jam 2 pagi Soengkono kecil membantu sang ibu mempersiapkan segala kebutuhan untuk dijualbelikan.

Soengkono mulai belajar di Sekolah Ongko Loro Muhammadiyah Purbalingga. Ia kemudian pindah ke HIS, sekolah dasar di zaman Belanda. Lulus HIS, Soengkono merantau ke Surabaya dan melanjutkan pendidikan ke MULO (Meer Iutgebreid Lager Onderwijs).

Pada 1933, Soengkono melanjutkan pendidikan di Sekolah Teknik Perkapalan atau KIS (Kweeksschool voor Islandsche Scheepelingen) di Makassar. Sekolah ini sengaja didirikan oleh Belanda bagi pribumi untuk ditempatkan di kapal perang yang menjaga perairan Hindia Belanda. Setelah lulus, Soengkono diangkat menjadi mecanicien atau tenaga teknik di Vliegkamp-Morokrembangan Surabaya yang merupakan bagian dari instansi kemiliteran Belanda.

Soengkono mulai terlibat pergerakan dengan bergabung Inlandshe Marine Bond (IMB), pergerakan pelaut Indonesia. Pada 1933, ia dan rekan-rekannya melakukan mogok kerja karena adanya pemotongan gaji 17% bagi para pelaut. Soengkono pun ditangkap dan dibawa ke sebuah kamp di Sukolilo, Madura.

Di masa pendudukan Jepang, tepatnya 3 Oktober 1943, dibentuk tentara Pembela Tanah Air (PETA). Pembentukan pasukan sukarela ini didasarkan maklumat Osamu Seirei No 44 yang diumumkan Panglima Angkatan Darat ke-16, Letnan Jenderal Kumakichi Harada. Pelatihan pasukan PETA dipusatkan di kompleks militer di Bogor.

Soengkono kemudian ikut bergabung dalam pasukan PETA. Di awal 1945, ia diangkat menjadi Chodancho (Komandan Kompi) berpangkat Kapten dan ditempatkan di Daichi Daidan Surabaya. Soengkono sempat diamankan di Renceitai Bogor karena dicurigai terlibat dalam pemberontakan PETA di Blitar.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, Soengkono memimpin perjuangan mengambil alih kekuasaan dengan melucuti senjata Jepang. Ia mengajak para mantan anggota PETA, Heiho, KNIL, dan pemuda pejuang untuk bergabung dalam Badan Keamanan Rakyat (BKR). Soengkono kemudian diangkat menjadi Komanda BKR Surabaya.

Pada 3 Maret 1946, Soengkono diangkat menjadi Panglima Divisi VII TKR yang meliputi Surabaya, Bojonegoro, dan Madura. Namun dua bulan kemudian terjadi perubahan, Soengkono menjabat Panglima Divisi VI TRI yang meliputi Surabaya, Madura, dan Kediri. Setelah berpangkat Kolonel, Soengkono diangkat menjadi Ketua Gabungan Komando Pertahanan Divisi-Divisi V, VI, VII TRI Jawa Timur.

Setelah menyelesaikan sejumlah tugas pertempuran, Soengkono diangkat menjadi Gubernur Militer Jawa Timur (1948), Panglima Divisi I (Brawijaya) Jawa Timur (1948), Inspektur Jenderal Pengawasan Umum Angkatan Darat (1958), dan terakhir Penasihat Menteri/Pangad (1968). Soengkono meninggal dunia pada 12 September 1977 di Jakarta. Usianya saat itu 66 tahun.
(abd)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1564 seconds (0.1#10.140)