Mengenal Jenderal Soengkono, Pangdam Brawijaya Pertama Sosok di Balik Pertempuran Surabaya

Sabtu, 19 November 2022 - 09:20 WIB
loading...
A A A
Sang ibu meninggal dunia tak lama setelah melahirkan Soengkono. Ayahnya kemudian menikah lagi dengan Kartinem, seorang perancang dan penjualan getuk. Setiap jam 2 pagi Soengkono kecil membantu sang ibu mempersiapkan segala kebutuhan untuk dijualbelikan.

Soengkono mulai belajar di Sekolah Ongko Loro Muhammadiyah Purbalingga. Ia kemudian pindah ke HIS, sekolah dasar di zaman Belanda. Lulus HIS, Soengkono merantau ke Surabaya dan melanjutkan pendidikan ke MULO (Meer Iutgebreid Lager Onderwijs).

Pada 1933, Soengkono melanjutkan pendidikan di Sekolah Teknik Perkapalan atau KIS (Kweeksschool voor Islandsche Scheepelingen) di Makassar. Sekolah ini sengaja didirikan oleh Belanda bagi pribumi untuk ditempatkan di kapal perang yang menjaga perairan Hindia Belanda. Setelah lulus, Soengkono diangkat menjadi mecanicien atau tenaga teknik di Vliegkamp-Morokrembangan Surabaya yang merupakan bagian dari instansi kemiliteran Belanda.

Soengkono mulai terlibat pergerakan dengan bergabung Inlandshe Marine Bond (IMB), pergerakan pelaut Indonesia. Pada 1933, ia dan rekan-rekannya melakukan mogok kerja karena adanya pemotongan gaji 17% bagi para pelaut. Soengkono pun ditangkap dan dibawa ke sebuah kamp di Sukolilo, Madura.

Di masa pendudukan Jepang, tepatnya 3 Oktober 1943, dibentuk tentara Pembela Tanah Air (PETA). Pembentukan pasukan sukarela ini didasarkan maklumat Osamu Seirei No 44 yang diumumkan Panglima Angkatan Darat ke-16, Letnan Jenderal Kumakichi Harada. Pelatihan pasukan PETA dipusatkan di kompleks militer di Bogor.

Soengkono kemudian ikut bergabung dalam pasukan PETA. Di awal 1945, ia diangkat menjadi Chodancho (Komandan Kompi) berpangkat Kapten dan ditempatkan di Daichi Daidan Surabaya. Soengkono sempat diamankan di Renceitai Bogor karena dicurigai terlibat dalam pemberontakan PETA di Blitar.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, Soengkono memimpin perjuangan mengambil alih kekuasaan dengan melucuti senjata Jepang. Ia mengajak para mantan anggota PETA, Heiho, KNIL, dan pemuda pejuang untuk bergabung dalam Badan Keamanan Rakyat (BKR). Soengkono kemudian diangkat menjadi Komanda BKR Surabaya.

Pada 3 Maret 1946, Soengkono diangkat menjadi Panglima Divisi VII TKR yang meliputi Surabaya, Bojonegoro, dan Madura. Namun dua bulan kemudian terjadi perubahan, Soengkono menjabat Panglima Divisi VI TRI yang meliputi Surabaya, Madura, dan Kediri. Setelah berpangkat Kolonel, Soengkono diangkat menjadi Ketua Gabungan Komando Pertahanan Divisi-Divisi V, VI, VII TRI Jawa Timur.

Setelah menyelesaikan sejumlah tugas pertempuran, Soengkono diangkat menjadi Gubernur Militer Jawa Timur (1948), Panglima Divisi I (Brawijaya) Jawa Timur (1948), Inspektur Jenderal Pengawasan Umum Angkatan Darat (1958), dan terakhir Penasihat Menteri/Pangad (1968). Soengkono meninggal dunia pada 12 September 1977 di Jakarta. Usianya saat itu 66 tahun.
(abd)
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1377 seconds (0.1#10.140)