Akademisi Beberkan Urgensi Pengesahan RUU KUHP
loading...
A
A
A
Kritik-kritik yang mengatakan RUU KUHP overkriminalisasi atau banyak perbuatan yang diatur menjadi tindak pidana adalah tidak benar. Menurutnya, pasal-pasal yang ada di Buku II RUU KUHP lebih sedikit dari pada Buku II dan Buku III KUHP WvS jika digabungkan.
Benny mengatakan, ada beberapa urgensitas terkait perlunya dilahirkan KUHP Nasional, antara lain telah terjadi pergeseran paradigma dari Keadilan Retributif menjadi paradigma Keadilan Korektif, Restoratif, dan Rehabilitatif. Pergeseran paradigma menuntut KUHP WvS segera diganti karena sudah tidak mampu lagi mengakomodasi kebutuhan hukum pidana saat ini.
Selain itu, hukum tertulis juga selalu tertinggal dari fakta peristiwanya. KUHP WvS sudah berumur 100 tahun lebih, sehingga perkembangan masyarakat dan kebutuhan hukumnya pasti sudah bergeser. KUHP WvS juga belum mencerminkan nilai-nilai budaya bangsa, apalagi terhadap dasar falsafah negara Pancasila. "Ini juga merupakan suatu urgensitas mengapa perlu segera dilahirkan KUHP Nasional," katanya.
Menurut Benny, lahirnya KUHP Nasional juga merupakan perwujudan reformasi sistem Hukum Pidana Nasional secara menyeluruh. Hal ini merupakan kesempatan untuk melahirkan untuk melahirkan sistem Hukum Pidana Nasional yang komprehensif yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila, budaya bangsa, serta Hak Asasi Manusia yang sifatnya universal.
Lektor Kepala Bagian Hukum Acara, Fakultas Hukum Universitas Tadulako, Abdul Wahid menambahkan, asas fundamental di dalam mempelajari hukum pidana adalah asas legalitas. "Asas legalitas artinya tidak ada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali ada aturannya terlebih dahulu, jadi jika tidak ada di dalam KUHP, tidak dapat dipidana. Dengan RKUHP yang baru ini, kita tidak melihat lagi asas legalitas secara kaku," katanya.
Sekarang ini berkembang asas legalitas terbaru yang bersifat materil yang dikenal dengan living law atau hukum yang hidup di dalam masyarakat. Jadi, menurutnya, hukum bukan hanya apa yang kita lihat di dalam perundang-undangan, tetapi ada hukum yang berkembang di dalam kehidupan masyarakat atau hukum adat.
Abdul Wahid mengemukakan bahwa RKUHP tidak menghilangkan atau mengurangi berlakunya hukum adat yang tidak tertulis di dalam Undang-Undang atau hukum yang hidup di dalam masyarakat (living law), sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat 2 RKUHP.
"Hukum yang hidup di dalam masyarakat dalam pasal ini berkaitan dengan hukum yang masih berlaku dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Di beberapa daerah tertentu masih terdapat ketentuan hukum yang tidak tertulis dan berlaku sebagai hukum di daerah tersebut, yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana," katanya.
Pada kesempatan yang sama, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Diponegoro (Undip), Pujiyono mengungkapkan, hingga saat ini, sudah ada lima tindak pidana yang sudah dikeluarkan dari RKUHP, dari 14 isu krusial yang menjadi alasan tertundanya Sidang Paripurna pada 2019 lalu. Menurutnya, RKUHP menganut asas keseimbangan, salah satunya adalah asas keseimbangan penentuan tindak pidana.
"Sangatlah naif ketika kita menentukan suatu perbuatan sebagai tindak pidana hanya yang bersumber dalam KUHP, sedangkan masih banyak perbuatan yang merupakan tindak pidana tetapi tidak tertampung di dalam Undang-Undang," katanya.
Benny mengatakan, ada beberapa urgensitas terkait perlunya dilahirkan KUHP Nasional, antara lain telah terjadi pergeseran paradigma dari Keadilan Retributif menjadi paradigma Keadilan Korektif, Restoratif, dan Rehabilitatif. Pergeseran paradigma menuntut KUHP WvS segera diganti karena sudah tidak mampu lagi mengakomodasi kebutuhan hukum pidana saat ini.
Selain itu, hukum tertulis juga selalu tertinggal dari fakta peristiwanya. KUHP WvS sudah berumur 100 tahun lebih, sehingga perkembangan masyarakat dan kebutuhan hukumnya pasti sudah bergeser. KUHP WvS juga belum mencerminkan nilai-nilai budaya bangsa, apalagi terhadap dasar falsafah negara Pancasila. "Ini juga merupakan suatu urgensitas mengapa perlu segera dilahirkan KUHP Nasional," katanya.
Menurut Benny, lahirnya KUHP Nasional juga merupakan perwujudan reformasi sistem Hukum Pidana Nasional secara menyeluruh. Hal ini merupakan kesempatan untuk melahirkan untuk melahirkan sistem Hukum Pidana Nasional yang komprehensif yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila, budaya bangsa, serta Hak Asasi Manusia yang sifatnya universal.
Lektor Kepala Bagian Hukum Acara, Fakultas Hukum Universitas Tadulako, Abdul Wahid menambahkan, asas fundamental di dalam mempelajari hukum pidana adalah asas legalitas. "Asas legalitas artinya tidak ada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali ada aturannya terlebih dahulu, jadi jika tidak ada di dalam KUHP, tidak dapat dipidana. Dengan RKUHP yang baru ini, kita tidak melihat lagi asas legalitas secara kaku," katanya.
Sekarang ini berkembang asas legalitas terbaru yang bersifat materil yang dikenal dengan living law atau hukum yang hidup di dalam masyarakat. Jadi, menurutnya, hukum bukan hanya apa yang kita lihat di dalam perundang-undangan, tetapi ada hukum yang berkembang di dalam kehidupan masyarakat atau hukum adat.
Abdul Wahid mengemukakan bahwa RKUHP tidak menghilangkan atau mengurangi berlakunya hukum adat yang tidak tertulis di dalam Undang-Undang atau hukum yang hidup di dalam masyarakat (living law), sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat 2 RKUHP.
"Hukum yang hidup di dalam masyarakat dalam pasal ini berkaitan dengan hukum yang masih berlaku dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Di beberapa daerah tertentu masih terdapat ketentuan hukum yang tidak tertulis dan berlaku sebagai hukum di daerah tersebut, yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana," katanya.
Pada kesempatan yang sama, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Diponegoro (Undip), Pujiyono mengungkapkan, hingga saat ini, sudah ada lima tindak pidana yang sudah dikeluarkan dari RKUHP, dari 14 isu krusial yang menjadi alasan tertundanya Sidang Paripurna pada 2019 lalu. Menurutnya, RKUHP menganut asas keseimbangan, salah satunya adalah asas keseimbangan penentuan tindak pidana.
"Sangatlah naif ketika kita menentukan suatu perbuatan sebagai tindak pidana hanya yang bersumber dalam KUHP, sedangkan masih banyak perbuatan yang merupakan tindak pidana tetapi tidak tertampung di dalam Undang-Undang," katanya.