GPM, Stigma 'Jadul' Penjaga Marhaenisme
loading...
A
A
A
Ichwan Arifin
Mantan Ketua GMNI Semarang. Alumnus Pascasarjana UNDIP. Penulis buku “Sketsa Pergolakan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia”
PADA 11 November 2022, Gerakan Pemuda Marhaenis (GPM) akan menggelar rapat kerja nasional (rakernas) di Wisma Perdamaian, Semarang, Jawa Tengah. Di tengah isu perpecahan organisasi, rakernas menjadi momentum penting untuk konsolidasi organisasi, meneguhkan ideologi perjuangan dan merumuskan strategi dalam mewujudkan cita-cita organisasi.
Namun di luar hal itu, ada tantangan berat lainnya. Yaitu mempertautkan eksistensi organisasi dengan realitas kekinian. Serta memperoleh dukungan anak-anak muda sebagai konstituen utama organisasi. Saat ini, bisa jadi, organisasi ini juga tidak banyak dikenal di kalangan anak-anak muda.
Baca Juga: koran-sindo.com
Hal yang dapat dipahami. GPM didirikan pada 31 Mei 1947 dengan nama Pemuda Demokrat. Baru dalam Kongres ke IX Pemuda Demokrat pada 1963 di Solo, organisasi pemuda ini berubah nama menjadi Gerakan Pemuda Marhaenis, disingkat GPM. Perubahan ini dapat dibaca sebagai bagian dari konsolidasi Partai Nasional Indonesia (PNI). GPM mempertegas relasi politik organisasi dengan partai tersebut.
Tragedi berdarah G30S/1965 mendorong perubahan lanskap politik yang berimbas pada banyak aspek, termasuk kepartaian dan organisasi kepemudaan. Konsolidasi politik Rezim Orba berdampak pada banyak organisasi yang dianggap lekat dengan ideologi kiri serta loyalis Bung Karno, PNI pun surut dari panggung politik Indonesia. Demikian pula GPM, eksistensinya menghilang meskipun sempat mengalami perubahan nama menjadi Pemuda Demokrat Indonesia.
Baru pada 1998, GPM coba dihidupkan kembali. Para aktivisnya memasang salah satu trah Bung Karno, Rachmawati Soekarnoputri, sebagai Ketua Umum Caretaker DPP GPM. Namun strategi memasang trah Soekarno juga tidak sepenuhnya berhasil dalam konsolidasi organisasi. Organisasi ini mati suri cukup lama. Bahkan hingga muncul kembali gerakan untuk menghidupkan organisasi ini pada 2018, eksistensi organisasi ini seperti “mati enggan, hidup tak mau”.
Publik juga tidak banyak melihat karya nyata dari organisasi ini, kecuali sebagai tempat berkumpul para “orang tua” untuk menyalurkan romantisme masa silam. Ibarat membuka “album kenangan”. Salah satu cirinya, agenda pertemuan organisasi menjadi ruang untuk mengenang masa lalu dari para aktivisnya.
Jargon “Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah (Jasmerah)” sering digunakan sebagai legitimasi. Namun tentu Bung Karno tidak bermaksud untuk membuka album kenangan, saat melontarkan pidato Jasmerah. Kita harus memaknai jejak langkah masa lalu sebagai pasangan dialog untuk melakukan refleksi, dikaitkan dengan realitas kekinian dan tantangan masa depan.
Situasi itu juga diperparah dengan konflik internal organisasi. Konflik yang biasanya bukan bersifat ideologis tapi lebih disebabkan oleh kepentingan pragmatis. GPM tak luput pula dari terpaan “penyakit organisasi” tersebut. Pusaran konflik itu juga yang menjadi salah satu pendorong diselenggarakan rakernas GPM tahun ini.
Mantan Ketua GMNI Semarang. Alumnus Pascasarjana UNDIP. Penulis buku “Sketsa Pergolakan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia”
PADA 11 November 2022, Gerakan Pemuda Marhaenis (GPM) akan menggelar rapat kerja nasional (rakernas) di Wisma Perdamaian, Semarang, Jawa Tengah. Di tengah isu perpecahan organisasi, rakernas menjadi momentum penting untuk konsolidasi organisasi, meneguhkan ideologi perjuangan dan merumuskan strategi dalam mewujudkan cita-cita organisasi.
Namun di luar hal itu, ada tantangan berat lainnya. Yaitu mempertautkan eksistensi organisasi dengan realitas kekinian. Serta memperoleh dukungan anak-anak muda sebagai konstituen utama organisasi. Saat ini, bisa jadi, organisasi ini juga tidak banyak dikenal di kalangan anak-anak muda.
Baca Juga: koran-sindo.com
Hal yang dapat dipahami. GPM didirikan pada 31 Mei 1947 dengan nama Pemuda Demokrat. Baru dalam Kongres ke IX Pemuda Demokrat pada 1963 di Solo, organisasi pemuda ini berubah nama menjadi Gerakan Pemuda Marhaenis, disingkat GPM. Perubahan ini dapat dibaca sebagai bagian dari konsolidasi Partai Nasional Indonesia (PNI). GPM mempertegas relasi politik organisasi dengan partai tersebut.
Tragedi berdarah G30S/1965 mendorong perubahan lanskap politik yang berimbas pada banyak aspek, termasuk kepartaian dan organisasi kepemudaan. Konsolidasi politik Rezim Orba berdampak pada banyak organisasi yang dianggap lekat dengan ideologi kiri serta loyalis Bung Karno, PNI pun surut dari panggung politik Indonesia. Demikian pula GPM, eksistensinya menghilang meskipun sempat mengalami perubahan nama menjadi Pemuda Demokrat Indonesia.
Baru pada 1998, GPM coba dihidupkan kembali. Para aktivisnya memasang salah satu trah Bung Karno, Rachmawati Soekarnoputri, sebagai Ketua Umum Caretaker DPP GPM. Namun strategi memasang trah Soekarno juga tidak sepenuhnya berhasil dalam konsolidasi organisasi. Organisasi ini mati suri cukup lama. Bahkan hingga muncul kembali gerakan untuk menghidupkan organisasi ini pada 2018, eksistensi organisasi ini seperti “mati enggan, hidup tak mau”.
Publik juga tidak banyak melihat karya nyata dari organisasi ini, kecuali sebagai tempat berkumpul para “orang tua” untuk menyalurkan romantisme masa silam. Ibarat membuka “album kenangan”. Salah satu cirinya, agenda pertemuan organisasi menjadi ruang untuk mengenang masa lalu dari para aktivisnya.
Jargon “Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah (Jasmerah)” sering digunakan sebagai legitimasi. Namun tentu Bung Karno tidak bermaksud untuk membuka album kenangan, saat melontarkan pidato Jasmerah. Kita harus memaknai jejak langkah masa lalu sebagai pasangan dialog untuk melakukan refleksi, dikaitkan dengan realitas kekinian dan tantangan masa depan.
Situasi itu juga diperparah dengan konflik internal organisasi. Konflik yang biasanya bukan bersifat ideologis tapi lebih disebabkan oleh kepentingan pragmatis. GPM tak luput pula dari terpaan “penyakit organisasi” tersebut. Pusaran konflik itu juga yang menjadi salah satu pendorong diselenggarakan rakernas GPM tahun ini.