GPM, Stigma 'Jadul' Penjaga Marhaenisme

Jum'at, 11 November 2022 - 10:08 WIB
loading...
A A A
Tantangan lainnya adalah membuat organisasi ini menjadi menarik bagi anak-anak muda. Jika GPM ingin diterima kalangan muda, maka aktivis organisasi ini harus dapat membaca dan menyelami kehidupan anak-anak muda kekinian.

Pertanyannya, apa menariknya GPM dimata mereka? Khususnya bagi anak-anak muda kategori Z yang tumbuh di dunia yang serba digital dan canggih. Mungkin, mereka juga tidak merasa perlu keberadaan organisasi, apalagi organisasi bernuansa jadul!

Menjawab Tantangan
Jika tantangan ini tidak berhasil dijawab, maka dapat dipahami jika organisasi ini masih akan didominasi oleh orang-orang yang secara usia sudah tidak patut disebut sebagai pemuda. Meskipun kondisi sedemikian itu, tidak hanya dihadapi oleh GPM, tapi juga organisasi kepemudaan lainnya. Namun hal itu, tentu tidak patut dijadikan sebagai legitimasi dan pembenaran.

Problem-problem seperti itu penting untuk diselesaikan, meskipun problem tersebut juga masih berada dalam tahap artifisial organisasi. Belum sampai pada tataran ideologis, yaitu pemahaman terhadap ideologi sebagai nafas pergerakan dan perjuangan.

Karena itu, Rakernas GPM ini, seharusnya dijadikan sebagai momentum refleksi para aktivisnya. Jejak masa lalu harus ditempatkan sebagai pasangan dialog yang berorientasi ke masa depan. Adaptasi terhadap perubahan, sebuah keharusan. Jika tidak, rakernas hanya akan jadi ritual artifisial organisasi belaka. Tidak akan memberi makna nyata bagi para pemuda dan masyarakat secara luas. GPM pun hanya akan dilihat sebagai “fosil” atau artefak masa silam.

Dalam konteks ideologi, GPM tentu tidak dapat dilepaskan dari marhaenisme. Apalagi istilah “marhaenis” dilekatkan sebagai bagian nama organisasi. Bagian ini pun, mungkin juga dianggap “jadul” bagi anak-anak muda kekinian.

Saat ini, tidak banyak anak-anak muda yang mengenal jejak pemikiran dan gagasan besar Bung Karno. Jika ada, mereka lebih fokus pada pemahaman artifisial sosok Soekarno, bukan pada gagasannya. Sekarang ini juga tidak banyak anak muda tertarik bicara ideologi. Mungkin ideologi dianggap sebagai sesuatu yang mengawang-awang. Bisa juga dirasa tidak mampu menjawab secara langsung problem yang mereka hadapi.

Situasi ini merupakan salah satu buah dari kebijakan Orba yang mengutamakan pendekatan ekonomi dan stabilitas politik. Kedua aspek tersebut adalah mantra Orba. Jargon “pembangunanisme” dirumuskan sebagai narasi besar bernegara sekaligus mengabaikan aspek fundamental kehidupan berbangsa dan bernegara seperti ideologi.

Meski demikian, kita tidak dapat sepenuhnya menumpahkan kepada Orba, segala penyebab yang membuat organisasi kepemudaan mati suri serta anak-anak muda yang mengalami tuna ideologi. Selain era Orba sudah lewat, lebih penting dari hal itu, harus ada “kritik oto kritik” internal organisasi.

Pertanyaan besarnya, apakah marhaenisme masih relevan dengan realitas kekinian? Ideologi itu digagas Bung Karno pada akhir abad ke 20, sebagai perlawanan terhadap kapitalisme pada masa itu. Disisi lain, dunia terus berputar dan jaman berubah. Diabad ke 21, kapitalisme tumbuh dalam wajah kapitalisme baru.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.5118 seconds (0.1#10.140)