Santri dan Martabat Kemanusiaan

Sabtu, 22 Oktober 2022 - 10:34 WIB
loading...
A A A
Dalam sikap keberagamaan yang lebih ekstrim, muncul gejala pengafiran, penyesatan, pelabelan, terutama bagi pemikiran-pemikiran yang melawan atau bertentangan dengan mainstream dan pandangan mayoritas.

Realitas ini menjadi problem krusial dalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama menguatnya pemikiran homogen dan sentralistik. Ujung dari semua itu, yang terjadi adalah peminggiran dan penafian terhadap martabat kemanusiaan (human dignity). Padahal, menjaga martabat kemanusiaan itu merupakan dasar ajaran agama.

Panggilan Kemanusiaan
Momentum Hari Santri saat ini relevan untuk menata sekaligus mengatasi krisis kemanusiaan sebagaimana tergambar di atas. Para santri terpanggil untuk meneguhkan etos perjuangan menjaga martabat kemanusiaandi tengah jangkar realitas kemanusiaanyang terus berubah.

Etos perjuangan itu sejatinya telah lama terpatri dalam tradisi dan laku hidup para santri di pesantren. Dalam tradisi akademik pesantren, para santri hidup dalam nalar yang sangat terbuka, toleran, inklusif, moderat dan humanis. Pesantren tidak pernah mengajarkan santrinya dengan kejumudan berfikir, keengganan berdiskusi, dan kekakuan berdialektika.

Pesantren mengajarkan pelbagai tradisi keilmuan yang sangat terbuka, bahkan terbiasa dengan keragaman pendapat dan opini. Dunia pesantren merupakan gudangnya keragaman. Di pesantren, pembelajaran dibentuk mulai dari karakteristik psikologis, perilaku, gaya hidup, status sosial, sistem nilai, dan jati diri kebangsaan.

Pesantren telah lama mengintegrasikan sekaligus menempatkan etos perjuangan menjaga martabat kemanusiaan dalam satu tarikan nafas kajian akademik.

Dialektika keilmuan yang diajarkan dipesantren telah lama mengkombinasikan unsurrabbaniyah(ketuhanan) daninsaniyyah(kemanusiaan), yang dikombinasikan denganmaddiyah(materialisme) danruhiyyah(spiritualisme), juga menggabungkan antara wahyu (revelation) dan akal (reason), antara kemaslahatan umum (maslaha al-jama’iyah) dan kemaslahatan individu (maslaha al-fardiyah).

Pesantren dengan kekayaan tradisi intelektual yang dimiliki, telah lama mengajarkan sikap dan cara pandang yang tidak sekadar mengajarkan pentingnya menghormati keragaman, tetapi juga mendorong upaya memahami yang lain melalui pemahaman konstruktif.

Martabat kemanusiaan diposisikan sebagai perwujudan dari manifestasi pluralismemulai dari keragamansuku-bahasa, agama, politik, budaya, dan hukum, yang kesemuanya menjadi menjadi bagian tidak terpisahkan dalam merumuskan karakter pendidikan di pesantren.

Menjaga martabat kemanusiaan bagi kaum sarungan tidak diposisikan murni bagian dari prinsipta’abbudisemata, melainkan sebagai prinsip keseimbangan menjaga agama agar tidak bernuansa ganas dan brutal. Yang diperjuangkan adalah menempatkan tradisi pesantren dalam altar nilai-nilai toleransi(al-tasamuh) yang penuh dengan kedamaian (al-salm).
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2654 seconds (0.1#10.140)