Santri dan Martabat Kemanusiaan

Sabtu, 22 Oktober 2022 - 10:34 WIB
loading...
Santri dan Martabat Kemanusiaan
Wildani Hefni/FOTO. KORAN SINDO
A A A
Wildani Hefni
Kepala Pusat Penelitian, Dosen Fakultas Syariah dan Pascasarjana UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember

Tanggal 22 Oktober ditetapkan sebagai Hari Santri berdasarkan Keputusan Presiden (Kepres) No 22/2015. Terhitung telah berlangsung tujuh tahun, peringatan hari santri dilaksanakan dan diperingati dengan pelbagai rangkaian kegiatan.

Tahun ini, tema peringatan hari santri relevan dengan realita keberagamaan di republik ini. Tema “Santri Berdaya Menjaga Martabat Kemanusiaan” berada dalam dua kekuatan imajinasi kolektif.

Satu sisi, tema ini meneguhkan sisi historis peran dan keberadaan para santri yang berjuang dalam setiap fase perjalanan republik ini, termasuk dalam meraih kemerdekaan. Sebagaimana disebutkan dalam konsideran Kepres, Ulama dan santri pondok pesanten memiliki peran besar dalam perjuangan merebut kemerdekaan dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Sementara pada sisi yang lain, tema ini menggantungkan cita-cita dan harapan besar atas kontribusi santri untuk mengawal peradaban. Eksistensi kaum santri senantiasa dibutuhkan dalam rangka mengawal pembangunan bangsa yang berkelanjutan dalam mewujudkan kehidupan yang mulia.

Tantangan Kehidupan
Saat ini, tantangan yang dihadapi berada pada alur yang berbeda, namun substansi perjuangannya menuntut kekuatan yang sama. Jika dulu, para santri berjuang untuk meraih kemerdekaan dan membebaskan belenggu dari penjajahan, saat ini para santri dihadapkan pada hambatan serius di tengah meluasnya defisit komitmen kebangsaan.

Riak-riak konflik muncul akibat perbedaan pandangan. Absolutisme berbangsa dan bernegara perlahan menjiwai dan tumbuh dalam karakter yang angkuh, pongah, dan serakah. Pada titik itulah, bangsa ini sedang diuji dengan keperihan moral yang menghujam.

Kita sungguh malu menyaksikan tragedi kemanusiaan yang tergambar dalam pelbagai polemik dan konflik keberagaman, diskriminasi, intoleransi, dan bahkan persekusi. Kelompok intoleran muncul dengan perilaku yang menyimpang dari apa yang diajarkan dalam laku keteladanan para pendiri bangsa, ulama dan santri, yang penuh dengan kepedulian untuk memuliakan manusia.

Kita tidak sadar, bahwa ada jurang yang cukup lebar antara republik yang menjadi impian para pendiri bangsa sekaligus para ulama, dengan realitas republik hari ini. Tantangan hari ini terletak pada ketidakmampuan mentoleransi perbedaan dan pluralitas keberagamaan sehingga berambisi menjadikan segala kebenaran menjadi tunggal dan seragam.

Ketimpangan ini kemudian menjadi basis awal lahirnya pemahaman keagamaan yang bercorak puritan, militan, bahkan ekstrim. Realitas itu muncul akibat pemahaman yang tidak mengakar terhadap kepentingan kemaslahatan dan harmoni kemanusiaan.

Dalam sikap keberagamaan yang lebih ekstrim, muncul gejala pengafiran, penyesatan, pelabelan, terutama bagi pemikiran-pemikiran yang melawan atau bertentangan dengan mainstream dan pandangan mayoritas.

Realitas ini menjadi problem krusial dalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama menguatnya pemikiran homogen dan sentralistik. Ujung dari semua itu, yang terjadi adalah peminggiran dan penafian terhadap martabat kemanusiaan (human dignity). Padahal, menjaga martabat kemanusiaan itu merupakan dasar ajaran agama.

Panggilan Kemanusiaan
Momentum Hari Santri saat ini relevan untuk menata sekaligus mengatasi krisis kemanusiaan sebagaimana tergambar di atas. Para santri terpanggil untuk meneguhkan etos perjuangan menjaga martabat kemanusiaandi tengah jangkar realitas kemanusiaanyang terus berubah.

Etos perjuangan itu sejatinya telah lama terpatri dalam tradisi dan laku hidup para santri di pesantren. Dalam tradisi akademik pesantren, para santri hidup dalam nalar yang sangat terbuka, toleran, inklusif, moderat dan humanis. Pesantren tidak pernah mengajarkan santrinya dengan kejumudan berfikir, keengganan berdiskusi, dan kekakuan berdialektika.

Pesantren mengajarkan pelbagai tradisi keilmuan yang sangat terbuka, bahkan terbiasa dengan keragaman pendapat dan opini. Dunia pesantren merupakan gudangnya keragaman. Di pesantren, pembelajaran dibentuk mulai dari karakteristik psikologis, perilaku, gaya hidup, status sosial, sistem nilai, dan jati diri kebangsaan.

Pesantren telah lama mengintegrasikan sekaligus menempatkan etos perjuangan menjaga martabat kemanusiaan dalam satu tarikan nafas kajian akademik.

Dialektika keilmuan yang diajarkan dipesantren telah lama mengkombinasikan unsurrabbaniyah(ketuhanan) daninsaniyyah(kemanusiaan), yang dikombinasikan denganmaddiyah(materialisme) danruhiyyah(spiritualisme), juga menggabungkan antara wahyu (revelation) dan akal (reason), antara kemaslahatan umum (maslaha al-jama’iyah) dan kemaslahatan individu (maslaha al-fardiyah).

Pesantren dengan kekayaan tradisi intelektual yang dimiliki, telah lama mengajarkan sikap dan cara pandang yang tidak sekadar mengajarkan pentingnya menghormati keragaman, tetapi juga mendorong upaya memahami yang lain melalui pemahaman konstruktif.

Martabat kemanusiaan diposisikan sebagai perwujudan dari manifestasi pluralismemulai dari keragamansuku-bahasa, agama, politik, budaya, dan hukum, yang kesemuanya menjadi menjadi bagian tidak terpisahkan dalam merumuskan karakter pendidikan di pesantren.

Menjaga martabat kemanusiaan bagi kaum sarungan tidak diposisikan murni bagian dari prinsipta’abbudisemata, melainkan sebagai prinsip keseimbangan menjaga agama agar tidak bernuansa ganas dan brutal. Yang diperjuangkan adalah menempatkan tradisi pesantren dalam altar nilai-nilai toleransi(al-tasamuh) yang penuh dengan kedamaian (al-salm).

Penguatan nilai toleransi menjadi basis logikatradisi keilmuan di pesantren yang diterapkan dalam rangka membangun kohesi sosial di tengah-tengah masyarakat multikultural.

Etos perjuangan kaum santri mewujud dalampemikiran yang bertumpu pada aspek moralitas. Hal itu diwujudkan dengan kegigihan para santri mengkaji pelbagai sumber keilmuan sebagai wujud kecintaan terhadap ilmu pengetahuan yang berasal dari spirit jantung Islam.

Para santri dengan gemilangmenempatkanotoritas teks untuk berbicara di atas dasar kemanusiaan yang adil dan humanis. Komitmen berbangsa dan bernegara yang menjadi pegangan para santri berada pada titik moderatisme yang dimulai dari penempatan Islamsebagai agama yang bersifat antroposentris-humanis,berorientasi pada kepentingan kemanusiaan.

Titik pangkal perjuangan para santri adalah humanisme. Sementarahumanisme dalam terminologirenaissancedipahami sebagai terma etis, yang menekankan pada martabat kemanusiaan. Penekanannya pada kesamaan martabat dan tidak ada pembedaan yang diskriminatif. Itulah sejatinya etos perjuangan para santri.

Karena itu, momentum hari santri tahun ini menjadi sangat tepat untuk berkontribusi sebagai kompas perjalanan bangsa ini. Para santri memiliki peran besar mengawal realitas kehidupan keberagamaan dan kebangsaan agar tidak bergeser pada jalan yang menyimpang yaitu memasung martabat kemanusiaan. Peran ini hanya bisa dijalankan jika bangsa ini berada pada ikhtiar kolektif bersama para santri untuk menata realitas kehidupan yang perlahan mengibiriderajat kemanusiaan.Selamat Hari Santri 2022. Santri Berdaya menjaga Martabat Kemanusiaan.
(ynt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.8874 seconds (0.1#10.140)