Santri dan Martabat Kemanusiaan
loading...
A
A
A
Wildani Hefni
Kepala Pusat Penelitian, Dosen Fakultas Syariah dan Pascasarjana UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember
Tanggal 22 Oktober ditetapkan sebagai Hari Santri berdasarkan Keputusan Presiden (Kepres) No 22/2015. Terhitung telah berlangsung tujuh tahun, peringatan hari santri dilaksanakan dan diperingati dengan pelbagai rangkaian kegiatan.
Tahun ini, tema peringatan hari santri relevan dengan realita keberagamaan di republik ini. Tema “Santri Berdaya Menjaga Martabat Kemanusiaan” berada dalam dua kekuatan imajinasi kolektif.
Satu sisi, tema ini meneguhkan sisi historis peran dan keberadaan para santri yang berjuang dalam setiap fase perjalanan republik ini, termasuk dalam meraih kemerdekaan. Sebagaimana disebutkan dalam konsideran Kepres, Ulama dan santri pondok pesanten memiliki peran besar dalam perjuangan merebut kemerdekaan dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sementara pada sisi yang lain, tema ini menggantungkan cita-cita dan harapan besar atas kontribusi santri untuk mengawal peradaban. Eksistensi kaum santri senantiasa dibutuhkan dalam rangka mengawal pembangunan bangsa yang berkelanjutan dalam mewujudkan kehidupan yang mulia.
Tantangan Kehidupan
Saat ini, tantangan yang dihadapi berada pada alur yang berbeda, namun substansi perjuangannya menuntut kekuatan yang sama. Jika dulu, para santri berjuang untuk meraih kemerdekaan dan membebaskan belenggu dari penjajahan, saat ini para santri dihadapkan pada hambatan serius di tengah meluasnya defisit komitmen kebangsaan.
Riak-riak konflik muncul akibat perbedaan pandangan. Absolutisme berbangsa dan bernegara perlahan menjiwai dan tumbuh dalam karakter yang angkuh, pongah, dan serakah. Pada titik itulah, bangsa ini sedang diuji dengan keperihan moral yang menghujam.
Kita sungguh malu menyaksikan tragedi kemanusiaan yang tergambar dalam pelbagai polemik dan konflik keberagaman, diskriminasi, intoleransi, dan bahkan persekusi. Kelompok intoleran muncul dengan perilaku yang menyimpang dari apa yang diajarkan dalam laku keteladanan para pendiri bangsa, ulama dan santri, yang penuh dengan kepedulian untuk memuliakan manusia.
Kita tidak sadar, bahwa ada jurang yang cukup lebar antara republik yang menjadi impian para pendiri bangsa sekaligus para ulama, dengan realitas republik hari ini. Tantangan hari ini terletak pada ketidakmampuan mentoleransi perbedaan dan pluralitas keberagamaan sehingga berambisi menjadikan segala kebenaran menjadi tunggal dan seragam.
Ketimpangan ini kemudian menjadi basis awal lahirnya pemahaman keagamaan yang bercorak puritan, militan, bahkan ekstrim. Realitas itu muncul akibat pemahaman yang tidak mengakar terhadap kepentingan kemaslahatan dan harmoni kemanusiaan.
Kepala Pusat Penelitian, Dosen Fakultas Syariah dan Pascasarjana UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember
Tanggal 22 Oktober ditetapkan sebagai Hari Santri berdasarkan Keputusan Presiden (Kepres) No 22/2015. Terhitung telah berlangsung tujuh tahun, peringatan hari santri dilaksanakan dan diperingati dengan pelbagai rangkaian kegiatan.
Tahun ini, tema peringatan hari santri relevan dengan realita keberagamaan di republik ini. Tema “Santri Berdaya Menjaga Martabat Kemanusiaan” berada dalam dua kekuatan imajinasi kolektif.
Satu sisi, tema ini meneguhkan sisi historis peran dan keberadaan para santri yang berjuang dalam setiap fase perjalanan republik ini, termasuk dalam meraih kemerdekaan. Sebagaimana disebutkan dalam konsideran Kepres, Ulama dan santri pondok pesanten memiliki peran besar dalam perjuangan merebut kemerdekaan dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sementara pada sisi yang lain, tema ini menggantungkan cita-cita dan harapan besar atas kontribusi santri untuk mengawal peradaban. Eksistensi kaum santri senantiasa dibutuhkan dalam rangka mengawal pembangunan bangsa yang berkelanjutan dalam mewujudkan kehidupan yang mulia.
Tantangan Kehidupan
Saat ini, tantangan yang dihadapi berada pada alur yang berbeda, namun substansi perjuangannya menuntut kekuatan yang sama. Jika dulu, para santri berjuang untuk meraih kemerdekaan dan membebaskan belenggu dari penjajahan, saat ini para santri dihadapkan pada hambatan serius di tengah meluasnya defisit komitmen kebangsaan.
Riak-riak konflik muncul akibat perbedaan pandangan. Absolutisme berbangsa dan bernegara perlahan menjiwai dan tumbuh dalam karakter yang angkuh, pongah, dan serakah. Pada titik itulah, bangsa ini sedang diuji dengan keperihan moral yang menghujam.
Kita sungguh malu menyaksikan tragedi kemanusiaan yang tergambar dalam pelbagai polemik dan konflik keberagaman, diskriminasi, intoleransi, dan bahkan persekusi. Kelompok intoleran muncul dengan perilaku yang menyimpang dari apa yang diajarkan dalam laku keteladanan para pendiri bangsa, ulama dan santri, yang penuh dengan kepedulian untuk memuliakan manusia.
Kita tidak sadar, bahwa ada jurang yang cukup lebar antara republik yang menjadi impian para pendiri bangsa sekaligus para ulama, dengan realitas republik hari ini. Tantangan hari ini terletak pada ketidakmampuan mentoleransi perbedaan dan pluralitas keberagamaan sehingga berambisi menjadikan segala kebenaran menjadi tunggal dan seragam.
Ketimpangan ini kemudian menjadi basis awal lahirnya pemahaman keagamaan yang bercorak puritan, militan, bahkan ekstrim. Realitas itu muncul akibat pemahaman yang tidak mengakar terhadap kepentingan kemaslahatan dan harmoni kemanusiaan.