Membumikan Hari Santri
loading...
A
A
A
Arifi Saiman
Konsul Jenderal RI di New York (2019-2022),
Penulis bukuDiplomasi Santri
Hari Santri Nasional (HSN) atau lebih popular disebut ‘Hari Santri’ diperingati setiap tahun pada 22 Oktober. Peringatan HSN menjadi tradisi tahunan yang melibatkan kaum santri sejak diterbitkan Keputusan Presiden No 22/2015 tanggal 15 Oktober 2015 tentang HSN.
Sejak itu, tanggal 22 Oktober menjadi momentum istimewa bagi dunia pesantren. HSN merupakan bentuk pengakuan resmi pemerintah terhadap kiprah, jasa, dan kontribusi kaum santri bagi kemaslahatan umat, bangsa dan negara.
Sewindu usia HSN memiliki makna khusus sebagai momentum kontemplasi diri terkait perjalanan masa lalu, masa kini dan masa depan HSN. Dalam arti, peringatan HSN tidak hanya dilihat dari aspek seremonial semata, namun juga seyogianya dilihat dari aspek sejauh mana HSN dapat dipahami, diterima dan bahkan dimiliki secara utuh oleh masyarakat luas tanpa tersandera oleh ego kelompok/golongan.
Parameter pemahaman dan kepedulian masyarakat terhadap HSN dapat ditakar antara lain dari kadar pemahaman dan kepedulian mereka. Pemahaman dan kepedulian masyarakat di sini bersifat inheren dengan sikap dan perilaku merekadalam menyikapi momentum peringatan HSN.
Dalam konteks ini, terdapat tiga kelompok sikap dan perilaku masyarakat:pertama, sikap perilaku yang benar-benar tidak mengetahui HSN;kedua, sikap perilaku yang mengetahui HSN dan bersikap peduli; danketiga, sikap perilaku yang mengetahui HSN namun bersikap tidak peduli. Yang terakhir tentunya memiliki pertimbangan alasan tersendiri di antaranya pertimbangan alasan ketiadaansense of ownershipterhadap HSN.
Kilas Balik HSN
Sejarah lahirnya HSN sendiri tidak terlepas dari sikap pro dan kontra khususnya di kalangan ormas Islam. Ormas Islam yang tergabung dalam Lembaga Persaudaraan Ormas Islam (LPOI) seperti Nahdlatul Ulama, Syarikat Islam Indonesia, Persatuan Islam (PERSIS), dan Al-Irsyad Al-Islamiyah merupakan elemen-elemen masyarakat yang mendukung HSN.
Sikap kalangan ormas Islam anggota LPOI yang mendukung HSN kiranya dapat dimaklumi mengingat mereka adalah bagian dari kubu penggagas HSN. Namun, ormas Islam yang berada di luar LPOI tidak semuanya sepakat dengan gagasan HSN. Penolakan mereka terhadap HSN didasari pandangan bahwa kehadiran HSN dianggap berpotensi menciptakan dikotomi sosial, yakni masyarakat santri dan masyarakat bukan santri.
Selain alasan kekhawatiran terjadinya dikotomi sosial, perbedaan sikap juga dikaitkan dengan penentuan momentum HSN yang menggunakan momentum penetapan fatwa Resolusi Jihad KH Hasyim Asy’ari yang dianggap lebih mewakili aspirasi ormas Islam tertentu dan tidak mewakili aspirasi universal masyarakat muslim di negara ini.
Residu Perbedaan
Perbedaan sikap terhadap HSN tersebut ternyata meninggalkan residu perbedaan yang biasnya dirasakan hingga kini. Residu perbedaan ini menyiratkan bahwa keberadaan HSN belum sepenuhnya mendapat sambutan utuh khususnya dari kalangan ormas Islam. Hal ini menjadikan HSN terkesan eksklusif karena masih adanya sebagian masyarakat, termasuk masyarakat muslim, yangmerasa tidak terwakili dalam HSN.
Konsul Jenderal RI di New York (2019-2022),
Penulis bukuDiplomasi Santri
Hari Santri Nasional (HSN) atau lebih popular disebut ‘Hari Santri’ diperingati setiap tahun pada 22 Oktober. Peringatan HSN menjadi tradisi tahunan yang melibatkan kaum santri sejak diterbitkan Keputusan Presiden No 22/2015 tanggal 15 Oktober 2015 tentang HSN.
Sejak itu, tanggal 22 Oktober menjadi momentum istimewa bagi dunia pesantren. HSN merupakan bentuk pengakuan resmi pemerintah terhadap kiprah, jasa, dan kontribusi kaum santri bagi kemaslahatan umat, bangsa dan negara.
Sewindu usia HSN memiliki makna khusus sebagai momentum kontemplasi diri terkait perjalanan masa lalu, masa kini dan masa depan HSN. Dalam arti, peringatan HSN tidak hanya dilihat dari aspek seremonial semata, namun juga seyogianya dilihat dari aspek sejauh mana HSN dapat dipahami, diterima dan bahkan dimiliki secara utuh oleh masyarakat luas tanpa tersandera oleh ego kelompok/golongan.
Parameter pemahaman dan kepedulian masyarakat terhadap HSN dapat ditakar antara lain dari kadar pemahaman dan kepedulian mereka. Pemahaman dan kepedulian masyarakat di sini bersifat inheren dengan sikap dan perilaku merekadalam menyikapi momentum peringatan HSN.
Dalam konteks ini, terdapat tiga kelompok sikap dan perilaku masyarakat:pertama, sikap perilaku yang benar-benar tidak mengetahui HSN;kedua, sikap perilaku yang mengetahui HSN dan bersikap peduli; danketiga, sikap perilaku yang mengetahui HSN namun bersikap tidak peduli. Yang terakhir tentunya memiliki pertimbangan alasan tersendiri di antaranya pertimbangan alasan ketiadaansense of ownershipterhadap HSN.
Kilas Balik HSN
Sejarah lahirnya HSN sendiri tidak terlepas dari sikap pro dan kontra khususnya di kalangan ormas Islam. Ormas Islam yang tergabung dalam Lembaga Persaudaraan Ormas Islam (LPOI) seperti Nahdlatul Ulama, Syarikat Islam Indonesia, Persatuan Islam (PERSIS), dan Al-Irsyad Al-Islamiyah merupakan elemen-elemen masyarakat yang mendukung HSN.
Sikap kalangan ormas Islam anggota LPOI yang mendukung HSN kiranya dapat dimaklumi mengingat mereka adalah bagian dari kubu penggagas HSN. Namun, ormas Islam yang berada di luar LPOI tidak semuanya sepakat dengan gagasan HSN. Penolakan mereka terhadap HSN didasari pandangan bahwa kehadiran HSN dianggap berpotensi menciptakan dikotomi sosial, yakni masyarakat santri dan masyarakat bukan santri.
Selain alasan kekhawatiran terjadinya dikotomi sosial, perbedaan sikap juga dikaitkan dengan penentuan momentum HSN yang menggunakan momentum penetapan fatwa Resolusi Jihad KH Hasyim Asy’ari yang dianggap lebih mewakili aspirasi ormas Islam tertentu dan tidak mewakili aspirasi universal masyarakat muslim di negara ini.
Residu Perbedaan
Perbedaan sikap terhadap HSN tersebut ternyata meninggalkan residu perbedaan yang biasnya dirasakan hingga kini. Residu perbedaan ini menyiratkan bahwa keberadaan HSN belum sepenuhnya mendapat sambutan utuh khususnya dari kalangan ormas Islam. Hal ini menjadikan HSN terkesan eksklusif karena masih adanya sebagian masyarakat, termasuk masyarakat muslim, yangmerasa tidak terwakili dalam HSN.