3 Tahun Jokowi-Ma’ruf, PKS: SDM Kalah Saing dengan Infrastruktur
loading...
A
A
A
Mardani pun menyayangkan bahwa di sisa pemerintahan periode keduanya, Jokowi masih berambisi untuk menyelesaikan pembangunan IKN. Padahal, legacy yang baik itu adalah perangkat pengetahuan dan karakter, bukan bangunan fisik.
“Iya, jadi legacynya legacy fisik, padahal yang dibutuhkan legacy sistem karakter, sistem perangkat knowledge, knowledge system, ini yang belum dirapihkan,” tegasnya.
Selain itu, Anggota Komisi II DPR ini juga menyoroti permasalahan demokrasi dan kebebasan berpendapat. Ia melihat bahwa demokrasi jalan di tempat, bahkan indeks demokrasi Indonesia menurun karena kebijakannya terlalu parsial dan reaktif. Misalnya saja, muncul unggahan di media sosial (medsos) kemudian sibuk memproses hukum, sehingga pemerintah sibuk dengan hal-hal kecil-kecil, bukan pada penekanan yang sistematis dan fundamental.
“Contohnya, mestinya kebebasan berpendapat dibiarkan, kalau ada beda pendapat pak Kapolri sudah bilang restorative justice, tapi kalau ujaran kebencian, lalu kemarin ada yang protes ijazah pak Jokowi tiba-tiba langsung ditangkap karena ada laporan penghinaan agama, kan definisi ITE Pasal 27, 45 itu karet sekali, seharusnya jangan main tangkap-tangkap. Gitu loh,” terangnya.
“Itu malah terbalik citranya, orang yang melaporkan (soal ijazah) pak Jokowi kok ditangkap atas kasus lain, itu kan dianggapnya kriminalisasi kan. Dianggapnya,” imbuh Mardani.
Akan tetapi, Mardani mengaku yang paling membuatnya sedih adalah pembiaran yang dilakukan Jokowi. Korupsi terjadi di mana-mana, seharusnya dicari akar permasalahannya apa. Sementara, Ada 4 penyakit demokrasi Indonesia yakni pertama, high cost politic; kedua, oligarki politik karena ongkos yang mahal maka harus punya bandar; ketiga interlocking (saling mengunci), karena bandarnya sama sehingga tidak bisa berbuat apa-apa; dan keempat, involutif (kemunduran pertumbuhan), akhirnya politik hanya untuk elite.
“Yang terjadi ya begitu, makin jauh demokrasi dari rakyat, karena prosedural saja,” ujarnya.
Lebih dari itu, Mardani juga menyoroti masalah otonomi daerah (otda) yang sudah berlangsung sejak reformasi. Masih terjadi disharmoni antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Bahkan, ia mendapat informasi bahwa Gubernur Riau ditolak oleh Bupati Meranti saat ingin melakukan kunjungan. Itu semua terjadi karena gubernur tidak memiliki akar ke bawah maupun cantolah yang kuat di atas, otda berada di bawah para bupati dan wali kota. Juga soal rentang kendali di sebuah provinsi yang mestinya dipersempit.
“Padahal kan harusnya kan orkestrasi yang baik. ini akarnya dimana? saya pernah diskusi di Komisi II, ya ditata ulang otonomi, jangan di tingkat dua, ya di tingkat satu. Jumlah kabupaten/kota di satu provinsi 5-8 saja, biar efektif, jangan 27, 38, 40, 35, kebanyakan, ruang kontrolnya,” usulnya.
“Iya, jadi legacynya legacy fisik, padahal yang dibutuhkan legacy sistem karakter, sistem perangkat knowledge, knowledge system, ini yang belum dirapihkan,” tegasnya.
Selain itu, Anggota Komisi II DPR ini juga menyoroti permasalahan demokrasi dan kebebasan berpendapat. Ia melihat bahwa demokrasi jalan di tempat, bahkan indeks demokrasi Indonesia menurun karena kebijakannya terlalu parsial dan reaktif. Misalnya saja, muncul unggahan di media sosial (medsos) kemudian sibuk memproses hukum, sehingga pemerintah sibuk dengan hal-hal kecil-kecil, bukan pada penekanan yang sistematis dan fundamental.
“Contohnya, mestinya kebebasan berpendapat dibiarkan, kalau ada beda pendapat pak Kapolri sudah bilang restorative justice, tapi kalau ujaran kebencian, lalu kemarin ada yang protes ijazah pak Jokowi tiba-tiba langsung ditangkap karena ada laporan penghinaan agama, kan definisi ITE Pasal 27, 45 itu karet sekali, seharusnya jangan main tangkap-tangkap. Gitu loh,” terangnya.
“Itu malah terbalik citranya, orang yang melaporkan (soal ijazah) pak Jokowi kok ditangkap atas kasus lain, itu kan dianggapnya kriminalisasi kan. Dianggapnya,” imbuh Mardani.
Akan tetapi, Mardani mengaku yang paling membuatnya sedih adalah pembiaran yang dilakukan Jokowi. Korupsi terjadi di mana-mana, seharusnya dicari akar permasalahannya apa. Sementara, Ada 4 penyakit demokrasi Indonesia yakni pertama, high cost politic; kedua, oligarki politik karena ongkos yang mahal maka harus punya bandar; ketiga interlocking (saling mengunci), karena bandarnya sama sehingga tidak bisa berbuat apa-apa; dan keempat, involutif (kemunduran pertumbuhan), akhirnya politik hanya untuk elite.
“Yang terjadi ya begitu, makin jauh demokrasi dari rakyat, karena prosedural saja,” ujarnya.
Lebih dari itu, Mardani juga menyoroti masalah otonomi daerah (otda) yang sudah berlangsung sejak reformasi. Masih terjadi disharmoni antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Bahkan, ia mendapat informasi bahwa Gubernur Riau ditolak oleh Bupati Meranti saat ingin melakukan kunjungan. Itu semua terjadi karena gubernur tidak memiliki akar ke bawah maupun cantolah yang kuat di atas, otda berada di bawah para bupati dan wali kota. Juga soal rentang kendali di sebuah provinsi yang mestinya dipersempit.
“Padahal kan harusnya kan orkestrasi yang baik. ini akarnya dimana? saya pernah diskusi di Komisi II, ya ditata ulang otonomi, jangan di tingkat dua, ya di tingkat satu. Jumlah kabupaten/kota di satu provinsi 5-8 saja, biar efektif, jangan 27, 38, 40, 35, kebanyakan, ruang kontrolnya,” usulnya.