3 Tahun Jokowi-Ma’ruf, PKS: SDM Kalah Saing dengan Infrastruktur
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tepat hari ini Kamis, 20 Oktober 2022, pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden (Wapres) Ma’ruf Amin genap berusia tiga tahun. Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera memberikan sejumlah catatan, khususnya sal pembangunan SDM yang tidak begitu mendapat perhatian.
“Kalau kita ikuti 5 targetnya mereka (Jokowi-Ma’ruf) kan pertama SDM. Saya masih melihat SDM kita, baik kapasitas, kualitas dan sistem pendidikan, atau kesiapan untuk masuk ke bursa kerja global masih sangat punya catatan,” kata Mardani saat dihubungi, Rabu (19/10/2022) malam.
Menurut Mardani, perlu ada gebrakan terkait dengan peningkatan SDM bangsa Indonesia. Program Kartu Prakerja dan Kartu Indonesia Pintar (KIP) baru menyelesaikan urusan dasar tetapi belum bisa menyelesaikan masalah kualitas dan kapasitas SDM.
Untuk itu, Mardani menyarankan agar pembangunan SDM ini perlu menjadi fokus pemerintahan Jokowi di sisa 2 tahun pemerintahannya. Yang terpenting itu adalah bukan membangun Ibu Kota Negara (IKN) baru, tapi membuat pusat-pusat intelektual, pusat-pusat peningkatan SDM, universitas-universitas terbaik, dan Balai Latihan Kerja (BLK) yang baik.
“Dua tahun terakhir pak Jokowi mesti fokus pada SDM, SDM dan SDM. Makannya, catatan lanjutannya catatan besarnya bagaimana, bukan bangun IKN yang utama, tapi bangun pusat-pusat intelektual, center of excellent, pusat pertumbuhan SDM, universitas terbaik, BLK terbaik. Karena kalau mau SDM tapi anggarannya enggak dialokasikan, dialokasikan ke infrastruktur ya enggak pas,” ujarnya.
Padahal, kata Mardani, revolusi mental telah menjadi jargon Jokowi sejak periode pertamanya, tetapi justru ia tidak melihat adanya revolusi tersebut. Terbukti bahwa masalah antrean saja masih belum rapih, bahkan Jokowi sendiri mengkritik pelayanan imigrasi dan perizinan masih berantakan, meski sudah dibantu dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Mardani melanjutkan, masalah aparat penegak hukum yang tersangkut kasus hukum seperti kasus Ferdy Sambo, hakim agung Sudrajat Dimyati, Teddy Minahasa dan sebagainya, bukan merupakan persoalan aparat penegak hukum, tapi masalah kualitas SDM. Itu kesalahan Jokowi sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara.
“Bagaimana bisa menyapu dengan sapu yang kotor. Mestinya kasus-kasus di kepolisian, mulai dari Sambo, hakim agung, itu pukulannya bukan buat penegak hukum, tapi bagi Presiden Jokowi, karena bagaimanapun kepala pemerintahan ya beliau, Presiden Jokowi. Buat saya, beliau betul-betul harus fokus pada SDM,” beber Mardani.
Mardani pun menyayangkan bahwa di sisa pemerintahan periode keduanya, Jokowi masih berambisi untuk menyelesaikan pembangunan IKN. Padahal, legacy yang baik itu adalah perangkat pengetahuan dan karakter, bukan bangunan fisik.
“Iya, jadi legacynya legacy fisik, padahal yang dibutuhkan legacy sistem karakter, sistem perangkat knowledge, knowledge system, ini yang belum dirapihkan,” tegasnya.
Selain itu, Anggota Komisi II DPR ini juga menyoroti permasalahan demokrasi dan kebebasan berpendapat. Ia melihat bahwa demokrasi jalan di tempat, bahkan indeks demokrasi Indonesia menurun karena kebijakannya terlalu parsial dan reaktif. Misalnya saja, muncul unggahan di media sosial (medsos) kemudian sibuk memproses hukum, sehingga pemerintah sibuk dengan hal-hal kecil-kecil, bukan pada penekanan yang sistematis dan fundamental.
“Contohnya, mestinya kebebasan berpendapat dibiarkan, kalau ada beda pendapat pak Kapolri sudah bilang restorative justice, tapi kalau ujaran kebencian, lalu kemarin ada yang protes ijazah pak Jokowi tiba-tiba langsung ditangkap karena ada laporan penghinaan agama, kan definisi ITE Pasal 27, 45 itu karet sekali, seharusnya jangan main tangkap-tangkap. Gitu loh,” terangnya.
“Itu malah terbalik citranya, orang yang melaporkan (soal ijazah) pak Jokowi kok ditangkap atas kasus lain, itu kan dianggapnya kriminalisasi kan. Dianggapnya,” imbuh Mardani.
Akan tetapi, Mardani mengaku yang paling membuatnya sedih adalah pembiaran yang dilakukan Jokowi. Korupsi terjadi di mana-mana, seharusnya dicari akar permasalahannya apa. Sementara, Ada 4 penyakit demokrasi Indonesia yakni pertama, high cost politic; kedua, oligarki politik karena ongkos yang mahal maka harus punya bandar; ketiga interlocking (saling mengunci), karena bandarnya sama sehingga tidak bisa berbuat apa-apa; dan keempat, involutif (kemunduran pertumbuhan), akhirnya politik hanya untuk elite.
“Yang terjadi ya begitu, makin jauh demokrasi dari rakyat, karena prosedural saja,” ujarnya.
Lebih dari itu, Mardani juga menyoroti masalah otonomi daerah (otda) yang sudah berlangsung sejak reformasi. Masih terjadi disharmoni antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Bahkan, ia mendapat informasi bahwa Gubernur Riau ditolak oleh Bupati Meranti saat ingin melakukan kunjungan. Itu semua terjadi karena gubernur tidak memiliki akar ke bawah maupun cantolah yang kuat di atas, otda berada di bawah para bupati dan wali kota. Juga soal rentang kendali di sebuah provinsi yang mestinya dipersempit.
“Padahal kan harusnya kan orkestrasi yang baik. ini akarnya dimana? saya pernah diskusi di Komisi II, ya ditata ulang otonomi, jangan di tingkat dua, ya di tingkat satu. Jumlah kabupaten/kota di satu provinsi 5-8 saja, biar efektif, jangan 27, 38, 40, 35, kebanyakan, ruang kontrolnya,” usulnya.
Oleh karena itu, Mardani menegaskan bahwa hal-hal fundamental inilah yang mesti dipikirkan dan menjadi tugas dari 2 tahun terakhir pemerintahan Jokowi-Ma’ruf. Jangan justru lebih fokus pada pembangunan gedung-gedung, padahal Jokowi sendiri selalu mengatakan industri 4.0 di mana orang bisa bekerja di mana saja, karena yang terpenting adalah delivery atau penyampaian dan hasilnya.
“Ini yang harus dipikirin, jangan malah bikin gedung, gedung mah enggak kepake nanti. kan pak Jokowi sendiri yang teriak 4.0 kita bisa bekerja di mana saja kapan saja yang penting deliverynya ada. Ada gedung tapi deliverynya enggak ada, ngurus KTP tetep susah, ngurus paspor tetap susah, ngurus macem-macem susah ya buat apa,” tugasnya.
“Banyak lah catatan kita, tapi capek enggak berubah-berubah. Tapi kita oposisi terus, PKS oposisi terus,” tandas Mardani.
“Kalau kita ikuti 5 targetnya mereka (Jokowi-Ma’ruf) kan pertama SDM. Saya masih melihat SDM kita, baik kapasitas, kualitas dan sistem pendidikan, atau kesiapan untuk masuk ke bursa kerja global masih sangat punya catatan,” kata Mardani saat dihubungi, Rabu (19/10/2022) malam.
Menurut Mardani, perlu ada gebrakan terkait dengan peningkatan SDM bangsa Indonesia. Program Kartu Prakerja dan Kartu Indonesia Pintar (KIP) baru menyelesaikan urusan dasar tetapi belum bisa menyelesaikan masalah kualitas dan kapasitas SDM.
Untuk itu, Mardani menyarankan agar pembangunan SDM ini perlu menjadi fokus pemerintahan Jokowi di sisa 2 tahun pemerintahannya. Yang terpenting itu adalah bukan membangun Ibu Kota Negara (IKN) baru, tapi membuat pusat-pusat intelektual, pusat-pusat peningkatan SDM, universitas-universitas terbaik, dan Balai Latihan Kerja (BLK) yang baik.
“Dua tahun terakhir pak Jokowi mesti fokus pada SDM, SDM dan SDM. Makannya, catatan lanjutannya catatan besarnya bagaimana, bukan bangun IKN yang utama, tapi bangun pusat-pusat intelektual, center of excellent, pusat pertumbuhan SDM, universitas terbaik, BLK terbaik. Karena kalau mau SDM tapi anggarannya enggak dialokasikan, dialokasikan ke infrastruktur ya enggak pas,” ujarnya.
Padahal, kata Mardani, revolusi mental telah menjadi jargon Jokowi sejak periode pertamanya, tetapi justru ia tidak melihat adanya revolusi tersebut. Terbukti bahwa masalah antrean saja masih belum rapih, bahkan Jokowi sendiri mengkritik pelayanan imigrasi dan perizinan masih berantakan, meski sudah dibantu dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Mardani melanjutkan, masalah aparat penegak hukum yang tersangkut kasus hukum seperti kasus Ferdy Sambo, hakim agung Sudrajat Dimyati, Teddy Minahasa dan sebagainya, bukan merupakan persoalan aparat penegak hukum, tapi masalah kualitas SDM. Itu kesalahan Jokowi sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara.
“Bagaimana bisa menyapu dengan sapu yang kotor. Mestinya kasus-kasus di kepolisian, mulai dari Sambo, hakim agung, itu pukulannya bukan buat penegak hukum, tapi bagi Presiden Jokowi, karena bagaimanapun kepala pemerintahan ya beliau, Presiden Jokowi. Buat saya, beliau betul-betul harus fokus pada SDM,” beber Mardani.
Mardani pun menyayangkan bahwa di sisa pemerintahan periode keduanya, Jokowi masih berambisi untuk menyelesaikan pembangunan IKN. Padahal, legacy yang baik itu adalah perangkat pengetahuan dan karakter, bukan bangunan fisik.
“Iya, jadi legacynya legacy fisik, padahal yang dibutuhkan legacy sistem karakter, sistem perangkat knowledge, knowledge system, ini yang belum dirapihkan,” tegasnya.
Selain itu, Anggota Komisi II DPR ini juga menyoroti permasalahan demokrasi dan kebebasan berpendapat. Ia melihat bahwa demokrasi jalan di tempat, bahkan indeks demokrasi Indonesia menurun karena kebijakannya terlalu parsial dan reaktif. Misalnya saja, muncul unggahan di media sosial (medsos) kemudian sibuk memproses hukum, sehingga pemerintah sibuk dengan hal-hal kecil-kecil, bukan pada penekanan yang sistematis dan fundamental.
“Contohnya, mestinya kebebasan berpendapat dibiarkan, kalau ada beda pendapat pak Kapolri sudah bilang restorative justice, tapi kalau ujaran kebencian, lalu kemarin ada yang protes ijazah pak Jokowi tiba-tiba langsung ditangkap karena ada laporan penghinaan agama, kan definisi ITE Pasal 27, 45 itu karet sekali, seharusnya jangan main tangkap-tangkap. Gitu loh,” terangnya.
“Itu malah terbalik citranya, orang yang melaporkan (soal ijazah) pak Jokowi kok ditangkap atas kasus lain, itu kan dianggapnya kriminalisasi kan. Dianggapnya,” imbuh Mardani.
Akan tetapi, Mardani mengaku yang paling membuatnya sedih adalah pembiaran yang dilakukan Jokowi. Korupsi terjadi di mana-mana, seharusnya dicari akar permasalahannya apa. Sementara, Ada 4 penyakit demokrasi Indonesia yakni pertama, high cost politic; kedua, oligarki politik karena ongkos yang mahal maka harus punya bandar; ketiga interlocking (saling mengunci), karena bandarnya sama sehingga tidak bisa berbuat apa-apa; dan keempat, involutif (kemunduran pertumbuhan), akhirnya politik hanya untuk elite.
“Yang terjadi ya begitu, makin jauh demokrasi dari rakyat, karena prosedural saja,” ujarnya.
Lebih dari itu, Mardani juga menyoroti masalah otonomi daerah (otda) yang sudah berlangsung sejak reformasi. Masih terjadi disharmoni antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Bahkan, ia mendapat informasi bahwa Gubernur Riau ditolak oleh Bupati Meranti saat ingin melakukan kunjungan. Itu semua terjadi karena gubernur tidak memiliki akar ke bawah maupun cantolah yang kuat di atas, otda berada di bawah para bupati dan wali kota. Juga soal rentang kendali di sebuah provinsi yang mestinya dipersempit.
“Padahal kan harusnya kan orkestrasi yang baik. ini akarnya dimana? saya pernah diskusi di Komisi II, ya ditata ulang otonomi, jangan di tingkat dua, ya di tingkat satu. Jumlah kabupaten/kota di satu provinsi 5-8 saja, biar efektif, jangan 27, 38, 40, 35, kebanyakan, ruang kontrolnya,” usulnya.
Oleh karena itu, Mardani menegaskan bahwa hal-hal fundamental inilah yang mesti dipikirkan dan menjadi tugas dari 2 tahun terakhir pemerintahan Jokowi-Ma’ruf. Jangan justru lebih fokus pada pembangunan gedung-gedung, padahal Jokowi sendiri selalu mengatakan industri 4.0 di mana orang bisa bekerja di mana saja, karena yang terpenting adalah delivery atau penyampaian dan hasilnya.
“Ini yang harus dipikirin, jangan malah bikin gedung, gedung mah enggak kepake nanti. kan pak Jokowi sendiri yang teriak 4.0 kita bisa bekerja di mana saja kapan saja yang penting deliverynya ada. Ada gedung tapi deliverynya enggak ada, ngurus KTP tetep susah, ngurus paspor tetap susah, ngurus macem-macem susah ya buat apa,” tugasnya.
“Banyak lah catatan kita, tapi capek enggak berubah-berubah. Tapi kita oposisi terus, PKS oposisi terus,” tandas Mardani.
(muh)