Hikmahanto Nilai Revisi PP No 109/2012 Cederai Kedaulatan Negara
loading...
A
A
A
JAKARTA - Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani ( Unjani ) Hikmahanto Juwana menilai, wacana revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan sarat akan intervensi kepentingan asing. Hal ini akan mencederai kedaulatan negara Indonesia dalam menyusun kebijakan yang sesuai dengan identitas dan kepentingan bangsa.
Pakar Hukum Internasional ini juga mengatakan lembaga-lembaga asing, khususnya dari negara barat seringkali mencampuri urusan dalam negeri negara-negara berkembang. Menuru Hikmahanto, negara barat kerap kali memaksakan negara berkembang mengadopsi kebijakan sesuai kehendak mereka. Padahal, setiap negara memiliki kepentingan dan pertimbangannya masing-masing.
“Tembakau menjadi salah satu komoditas lokal yang sering menjadi target intervensi asing. Berkenaan dengan revisi PP 109/2012, terdapat dorongan dari lembaga asing yang masuk atas nama LSM. Jika dibiarkan, maka hal ini akan mencederai kedaulatan negara dalam menyusun regulasi pertembakauan yang seharusnya mengedepankan kepentingan nasional,” ujarnya, Rabu (12/10/2022).
Hikmahanto menjelaskan, Indonesia yang saat ini tengah memimpin G20 telah berkontribusi mendobrak stigma negara berkembang dan menunjukkan kepiawaian menjadi pemimpin di arena global sebagai sarana untuk mencari solusi bersama atas berbagai isu yang dihadapi negara-negara berkembang lainnya di dunia. Pemerintah juga diharapkan mampu memanfaatkan ajang pertemuan global ini untuk memajukan berbagai kepentingan nasional.
“Sebagai tuan rumah, Indonesia memiliki kewenangan untuk menentukan agenda pembahasan G20. Kesempatan emas ini dapat digunakan untuk menyeimbangkan isu dan kepentingan negara Barat dan berkembang agar tidak ada lagi ketimpangan, monopoli, dan intervensi secara sepihak. Sebaliknya, nilai-nilai keadilan, inklusivitas, dan keberlanjutan menjadi perspektif segar yang hendak dipromosikan,” tegas Hikmahanto.
Senada, Pakar Kebijakan Publik Unjani Riant Nugroho menilai, momentum G20 menjadi peluang baik dalam menunjukan kedaulatan Indonesia di hadapan negara-negara lain. Termasuk berdaulat dalam mengembangkan kebijakan-kebijakannya tanpa ada intervensi-intervensi dari pihak luar. Oleh karenanya penyusunan regulasi-regulasi nasional perlu menjadi representasi dari kedaulatan Indonesia itu sendiri.
“Yang saya sampaikan Negara Republik Indonesia berdaulat penuh untuk mengembangkan kebijakannya. Kedua, PP yang sudah ada, sudah baik untuk kepentingan Indonesia, jadi dijalankan saja dulu, tidak perlu diubah. Jika perlu itu pun berupa evaluasi dan dievaluasi oleh tim independen profesional lintas bidang, tidak kemudian hanya karena ada isu internasional yang dikait-kaitkan dengan lokal oleh sejumlah lembaga, kemudian diusulkan diubah. Apalagi, evaluasi kebijakan bersimpulan dua, ada perubahan ataupun tidak perlu ada perubahan,” jelasnya.
Kepala Seksi Penyiapan Konsepsi Rancangan Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham Hendra Kurnia Putra menyepakati hal tersebut. Sebagai negara yang memiliki kedaulatan, dalam penyusunan regulasi nasional, intervensi asing apalagi dari negara lain tidak boleh menjadi pertimbangan. Sama halnya dengan ketentuan-ketentuan internasional.
Indonesia tidak perlu meratifikasi ketentuan-ketentuan internasional yang bertentangan dengan kepentingan-kepentingan nasional, apalagi menjadikannya dasar untuk merevisi sebuah peraturan yang sudah sesuai dengan konteks Indonesia. Jika memang PP 109/2012 ingin direvisi, seyogyanya terdapat suatu kajian yang menelaah dan mengevaluasi implementasinya selama ini yang dapat menjawab dengan jelas perlu tidaknya revisi tersebut.
Hendra menambahkan pentingnya pelibatan masyarakat dalam proses penyusunan regulasi, dengan berpegangan pada beberapa parameter. Pertama, perlunya mendengar masukan-masukan masyarakat, kedua, masukan-masukan tersebut perlu dipertimbangkan, dan terakhir adalah ihwal penjelasan mengapa masukan-masukan masyarakat ditolak atau diterima. Partisipasi disebut Hendra menjadi salah satu unsur penting dalam penyusunan perundang-undangan agar bisa mencerminkan realitas kebutuhan masyarakat.
“Hal ini mutlak perlu dipenuhi sebab setiap proses perumusan kebijakan, termasuk revisi PP 109/2012 harus memenuhi asas-asas penyusunan perundang-undangan, terutama asas keterbukaan dan partisipasi publik. Pemerintah harus memberikan ruang meaningful participation bagi masyarakat sesuai dengan amanah Mahkamah Konstitusi,” ucapnya.
Ketua Bidang Advokasi dan Pendidikan Konsumen Pakta Konsumen Ary Fatanen mengatakan, pemerintah telah sepatutnya memberikan hak partisipatif dalam penyusunan-penyusunan kebijakan industri hasil tembakau (IHT). Sebab menurutnya, selama ini penyusunan kebijakan IHT memang sangat minim melibatkan konsumen.
“Kami berharap pemerintah memenuhi hak partisipatif kami terkait kebijakan IHT yang nantinya tentu berhubungan dengan kami selaku konsumen. Harapan kami besar agar pemerintah bisa mendengar apa yang diinginkan oleh konsumen,” jelasnya.
Ia juga berharap bahwa kebijakan-kebijakan IHT lebih mengutamakan kepentingan nasional alih-alih mengakomodasi intervensi-intervensi asing. Selain dapat mengeliminasi hak-hak konsumen, intervensi-intervensi tersebut tersebut juga sangat berpotensi menganggu kestabilan ekonomi nasional hingga mencederai kedaulatan negara.
Pakar Hukum Internasional ini juga mengatakan lembaga-lembaga asing, khususnya dari negara barat seringkali mencampuri urusan dalam negeri negara-negara berkembang. Menuru Hikmahanto, negara barat kerap kali memaksakan negara berkembang mengadopsi kebijakan sesuai kehendak mereka. Padahal, setiap negara memiliki kepentingan dan pertimbangannya masing-masing.
“Tembakau menjadi salah satu komoditas lokal yang sering menjadi target intervensi asing. Berkenaan dengan revisi PP 109/2012, terdapat dorongan dari lembaga asing yang masuk atas nama LSM. Jika dibiarkan, maka hal ini akan mencederai kedaulatan negara dalam menyusun regulasi pertembakauan yang seharusnya mengedepankan kepentingan nasional,” ujarnya, Rabu (12/10/2022).
Hikmahanto menjelaskan, Indonesia yang saat ini tengah memimpin G20 telah berkontribusi mendobrak stigma negara berkembang dan menunjukkan kepiawaian menjadi pemimpin di arena global sebagai sarana untuk mencari solusi bersama atas berbagai isu yang dihadapi negara-negara berkembang lainnya di dunia. Pemerintah juga diharapkan mampu memanfaatkan ajang pertemuan global ini untuk memajukan berbagai kepentingan nasional.
“Sebagai tuan rumah, Indonesia memiliki kewenangan untuk menentukan agenda pembahasan G20. Kesempatan emas ini dapat digunakan untuk menyeimbangkan isu dan kepentingan negara Barat dan berkembang agar tidak ada lagi ketimpangan, monopoli, dan intervensi secara sepihak. Sebaliknya, nilai-nilai keadilan, inklusivitas, dan keberlanjutan menjadi perspektif segar yang hendak dipromosikan,” tegas Hikmahanto.
Senada, Pakar Kebijakan Publik Unjani Riant Nugroho menilai, momentum G20 menjadi peluang baik dalam menunjukan kedaulatan Indonesia di hadapan negara-negara lain. Termasuk berdaulat dalam mengembangkan kebijakan-kebijakannya tanpa ada intervensi-intervensi dari pihak luar. Oleh karenanya penyusunan regulasi-regulasi nasional perlu menjadi representasi dari kedaulatan Indonesia itu sendiri.
“Yang saya sampaikan Negara Republik Indonesia berdaulat penuh untuk mengembangkan kebijakannya. Kedua, PP yang sudah ada, sudah baik untuk kepentingan Indonesia, jadi dijalankan saja dulu, tidak perlu diubah. Jika perlu itu pun berupa evaluasi dan dievaluasi oleh tim independen profesional lintas bidang, tidak kemudian hanya karena ada isu internasional yang dikait-kaitkan dengan lokal oleh sejumlah lembaga, kemudian diusulkan diubah. Apalagi, evaluasi kebijakan bersimpulan dua, ada perubahan ataupun tidak perlu ada perubahan,” jelasnya.
Kepala Seksi Penyiapan Konsepsi Rancangan Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham Hendra Kurnia Putra menyepakati hal tersebut. Sebagai negara yang memiliki kedaulatan, dalam penyusunan regulasi nasional, intervensi asing apalagi dari negara lain tidak boleh menjadi pertimbangan. Sama halnya dengan ketentuan-ketentuan internasional.
Indonesia tidak perlu meratifikasi ketentuan-ketentuan internasional yang bertentangan dengan kepentingan-kepentingan nasional, apalagi menjadikannya dasar untuk merevisi sebuah peraturan yang sudah sesuai dengan konteks Indonesia. Jika memang PP 109/2012 ingin direvisi, seyogyanya terdapat suatu kajian yang menelaah dan mengevaluasi implementasinya selama ini yang dapat menjawab dengan jelas perlu tidaknya revisi tersebut.
Hendra menambahkan pentingnya pelibatan masyarakat dalam proses penyusunan regulasi, dengan berpegangan pada beberapa parameter. Pertama, perlunya mendengar masukan-masukan masyarakat, kedua, masukan-masukan tersebut perlu dipertimbangkan, dan terakhir adalah ihwal penjelasan mengapa masukan-masukan masyarakat ditolak atau diterima. Partisipasi disebut Hendra menjadi salah satu unsur penting dalam penyusunan perundang-undangan agar bisa mencerminkan realitas kebutuhan masyarakat.
“Hal ini mutlak perlu dipenuhi sebab setiap proses perumusan kebijakan, termasuk revisi PP 109/2012 harus memenuhi asas-asas penyusunan perundang-undangan, terutama asas keterbukaan dan partisipasi publik. Pemerintah harus memberikan ruang meaningful participation bagi masyarakat sesuai dengan amanah Mahkamah Konstitusi,” ucapnya.
Ketua Bidang Advokasi dan Pendidikan Konsumen Pakta Konsumen Ary Fatanen mengatakan, pemerintah telah sepatutnya memberikan hak partisipatif dalam penyusunan-penyusunan kebijakan industri hasil tembakau (IHT). Sebab menurutnya, selama ini penyusunan kebijakan IHT memang sangat minim melibatkan konsumen.
“Kami berharap pemerintah memenuhi hak partisipatif kami terkait kebijakan IHT yang nantinya tentu berhubungan dengan kami selaku konsumen. Harapan kami besar agar pemerintah bisa mendengar apa yang diinginkan oleh konsumen,” jelasnya.
Ia juga berharap bahwa kebijakan-kebijakan IHT lebih mengutamakan kepentingan nasional alih-alih mengakomodasi intervensi-intervensi asing. Selain dapat mengeliminasi hak-hak konsumen, intervensi-intervensi tersebut tersebut juga sangat berpotensi menganggu kestabilan ekonomi nasional hingga mencederai kedaulatan negara.
(cip)