Bebaskan Anak Perempuan dari Ancaman Predator Seksual
loading...
A
A
A
Diah Ayu Candraningrum
Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara; Mahasiswa Program Doktor Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia
TANGGGAL 11 Oktober 2022, kemarin, diperingati Hari Anak Perempuan Dunia (International Day of the Girls). The United Nations Children’s Fund atau UNICEF telah mencanangkan tema Hari Anak Perempuan Sedunia 2022 yakni “Our time is now-our rights, our future” yang berarti “Waktu kita adalah sekarang-hak kita, masa depan kita”.
Berdasarkan informasi dari situs Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Hari Anak Perempuan Sedunia berawal dari Konferensi Dunia tentang Perempuan di Beijing, China pada 1995. Perwakilan negara yang hadir secara bulat mengangkat Deklarasi Beijing untuk memajukan hak-hak perempuan, termasuk anak-anak perempuan. Pada 19 Desember 2011, Majelis Umum PBB mengadopsi Resolusi 66/170 dan menetapkan 11 Oktober sebagai Hari Anak Perempuan Sedunia.
Baca Juga: koran-sindo.com
Kini tepat 1 dekade peringatan Hari Anak Perempuan Sedunia. Sepanjang masa itu, telah terjadi perkembangan pada isu-isu yang penting bagi anak perempuan. Sayang, pemenuhan terhadap hak-hak anak perempuan tetap terbatas dan mereka terus menghadapi berbagai tantangan untuk mengembangkan potensinya, mulai dari krisis perubahan iklim, Covid-19, hingga konflik kemanusiaan. Anak perempuan di seluruh dunia terus menghadapi tantangan, untuk pendidikan, kesehatan fisik dan mental, dan perlindungan hidup tanpa kekerasan.
Di Indonesia sendiri, kondisi anak perempuan masih serbaterbatas. Menurut World Health Organization atau WHO, definisi anak dihitung sejak seseorang di dalam kandungan sampai dengan usia 19 tahun. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 1 ayat 1 tentang Perlindungan Anak, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk juga yang masih di dalam kandungan.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2021 menyebut bahwa jumlah anak usia dini di Indonesia mencapai 30,83 juta jiwa pada 2021. Rinciannya: jumlah anak usia 1-4 tahun mencapai 17,62 juta jiwa (sekitar 57,16% dari total anak usia dini di Indonesia). Selanjutnya, jumlah anak usia 5-6 tahun mencapai 9,02 juta jiwa (sekitar 29,28% dari total jumlah anak usia dini).
Kemudian, jumlah anak usia di bawah 1 tahun sebanyak 4,18 juta jiwa (sekitar 13,56% dari total anak usia dini). Jumlah total anak usia dini tadi setara dengan 11,35% dari jumlah total penduduk Indonesia di tahun yang sama. Jika dibandingkan pada 2020, jumlah anak usia dini mengalami penurunan sebesar 6,46% dari 32,96 juta jiwa.
Kekerasan Seksual pada Anak Perempuan
Dari jumlah tersebut, masih banyak masalah yang dialami anak-anak Indonesia, di antaranya menghadapi predator aksi kekerasan seksual. Menurut WHO, definisi kekerasan seksual sebagai segala perilaku yang dilakukan dengan menyasar seksualitas atau organ seksual seseorang tanpa persetujuan, dengan unsur paksaan atau ancaman, termasuk perdagangan perempuan dengan tujuan seksual, dan pemaksaan prostitusi.
Komnas Perempuan membagi bentuk kekerasan seksual ke dalam 15 macam, di antaranya bentuk tindakan seksual maupun tindakan untuk mendapatkan seksual secara memaksa, pelecehan seksual baik secara fisik maupun verbal, mengeksploitasi seksual, pemaksaan perkawinan, pemaksaan kehamilan dan aborsi, pemaksaan kontrasepsi, penyiksaan seksual, serta kontrol seksual yang mendiskriminasikan perempuan.
Aksi kekerasan seksual ini juga dapat dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan kepada siapa pun termasuk istri atau suami, pacar, orang tua, saudara kandung, teman, kerabat dekat, hingga orang yang tak dikenal. Kekerasan seksual ini dapat terjadi di mana saja, termasuk rumah, tempat kerja, atau lingkungan pendidikan (sekolah, tempat kursus, pesantren, atau kampus).
Merujuk pada data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang dipublkikasi media, sepanjang Januari-Desember 2021, telah terjadi kekerasan seksual di lingkungan pendidikan sebanyak 18 kasus, yang tersebar di 17 kabupaten/kota di 9 provinsi. Meski “hanya” 18 kasus, namun jumlah korbannya mencapai 126 anak perempuan dan 71 anak laki-laki.
Ironisnya, 55,5% pelakunya adalah guru. Kekhawatiran masih terus membayang pada 2022. KPAI mencatat, sepanjang Januari - Juli 2022 telah terjadi 12 kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pendidikan. Jumlah total korbannya berjumlah 52 anak, terdiri atas 16 orang anak laki-laki dan 36 orang anak perempuan.
Fenomena ini hanya menggambarkan aksi kekerasan seksual di lingkungan sekolah yang terjadi pada anak perempuan. Bagaimana dengan aksi serupa di luar lingkungan sekolah? Melalui laman real-time Simfoni Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) tercatat sejak 1 Januari 2022 hingga saat ini, terdapat 17.426 perempuan dari berbagai usia yang menjadi korban kekerasan seksual.
Dari jumlah tersebut, sebanyak 5,8% perempuan korban kekerasan seksual di usia 0-5 tahun; 14,6% korban perempuan di usia 6-12 tahun; dan 29,7% korban perempuan di usia 13-17 tahun. Bandingkan dengan korban laki-laki yang berjumlah 3.075 orang dari berbagai range usia.
Ringkihnya Posisi Anak Perempuan
Dari fenomena ini jelas terlihat, betapa ringkihnya posisi anak perempuan. Kekerasan seksual terhadap anak--baik laki-laki maupun perempuan--adalah kenyataan yang menakutkan dan tidak menyenangkan karena dampaknya bisa menghancurkan psikososial, serta tumbuh dan kembangnya di masa depan.
Bagi anak perempuan, banyak fakta yang tak bisa dihindari sebagai akibat dari tindakan kekerasan seksual yang menimpanya. Dari Modul Intervensi Pencegahan Kekerasan Seksual Pada Anak yang diterbitkan oleh Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas tahun 2017, disebutkan fakta (1) 1 dari 4 anak perempuan mengalami kekerasan seksual sebelum mereka berusia 18 tahun. Artinya di setiap kelas, ada anak-anak yang memendam rahasia bahwa mereka adalah korban kekerasan seksual dan tidak berani melaporkan kejadian tersebut.
Fakta (2) 1 dari 5 anak mengalami kekerasan seksual yang berawal dari internet sehingga di era digital saat ini, penting bagi orang tua untuk mengingatkan supaya anak tidak memberikan data pribadi kepada orang yang dikenalnya lewat internet. Fakta (3) anak perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual cenderung mengembangkan kelainan pola makan saat dewasa.
Fakta (4) hampir 80% penyintas kekerasan seksual tumbuh menjadi remaja bermasalah yang terlibat penggunaan narkoba dan alkohol, terjerumus prostitusi dan juga memiliki kecenderungan bunuh diri.
Menyambut Hari Anak Perempuan Sedunia tahun 2022 ini, lalu apa saja yang dapat kita lakukan untuk melindungi hak-hak anak perempuan? Kita bisa berfokus pada upaya mengatasi tantangan yang dihadapi oleh anak-anak perempuan di seluruh dunia, sekaligus meningkatkan pemberdayaan anak perempuan dan pemenuhan hak-hak hidup mereka.
Salah satu bentuknya, lewat kegiatan edukasi tentang kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, yang sebaiknya ditanamkan sejak anak memasuki masa golden age (di bawah 6 tahun). Hal ini dilakukan supaya sejak usia dini, anak memahami adanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai hal, misalnya bidang pendidikan. Untuk itu, adalah tugas orang tua dan keluarga di rumah untuk mengembangkan perilaku, sikap dan komitmen sebagai atribut perempuan dan laki-laki yang dapat diterima.
Selain itu, pentingnya membangun komunikasi antara orang tua dan anak di rumah. Studi menemukan, anak-anak dengan ibu yang selalu menjelaskan kepada mereka mengenai perasaan, keyakinan, dan keinginannya, akan mengalami perkembangan pemahaman sosial yang lebih baik dibandingkan anak-anak dengan ibu yang tidak menjelaskan hal-hal tersebut.
Namun hal ini bukan berarti keberadaan ayah tidak penting. Hubungan ayah dan anak perempuan amat krusial karena menjadi dasar bagi hubungan dengan lawan jenis. Hubungan yang tidak baik antara ayah dan anak perempuan, biasanya berimbas pada emosi anak dan caranya membangun hubungan dengan pria lain dalam hidupnya.
Karena itu, penting menjaga dan memberikan pemahaman kepada setiap anak perempuan supaya terhindar dari aksi kekerasan seksual. Sejatinya, semua orang memiliki hak dan cita-cita untuk hidup lebih baik. Apabila didukung, anak-anak perempuan dapat berpotensi mengubah dunia, baik sebagai wanita karier, seorang ibu, bahkan sebagai sosok pemimpin.
Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara; Mahasiswa Program Doktor Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia
TANGGGAL 11 Oktober 2022, kemarin, diperingati Hari Anak Perempuan Dunia (International Day of the Girls). The United Nations Children’s Fund atau UNICEF telah mencanangkan tema Hari Anak Perempuan Sedunia 2022 yakni “Our time is now-our rights, our future” yang berarti “Waktu kita adalah sekarang-hak kita, masa depan kita”.
Berdasarkan informasi dari situs Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Hari Anak Perempuan Sedunia berawal dari Konferensi Dunia tentang Perempuan di Beijing, China pada 1995. Perwakilan negara yang hadir secara bulat mengangkat Deklarasi Beijing untuk memajukan hak-hak perempuan, termasuk anak-anak perempuan. Pada 19 Desember 2011, Majelis Umum PBB mengadopsi Resolusi 66/170 dan menetapkan 11 Oktober sebagai Hari Anak Perempuan Sedunia.
Baca Juga: koran-sindo.com
Kini tepat 1 dekade peringatan Hari Anak Perempuan Sedunia. Sepanjang masa itu, telah terjadi perkembangan pada isu-isu yang penting bagi anak perempuan. Sayang, pemenuhan terhadap hak-hak anak perempuan tetap terbatas dan mereka terus menghadapi berbagai tantangan untuk mengembangkan potensinya, mulai dari krisis perubahan iklim, Covid-19, hingga konflik kemanusiaan. Anak perempuan di seluruh dunia terus menghadapi tantangan, untuk pendidikan, kesehatan fisik dan mental, dan perlindungan hidup tanpa kekerasan.
Di Indonesia sendiri, kondisi anak perempuan masih serbaterbatas. Menurut World Health Organization atau WHO, definisi anak dihitung sejak seseorang di dalam kandungan sampai dengan usia 19 tahun. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 1 ayat 1 tentang Perlindungan Anak, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk juga yang masih di dalam kandungan.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2021 menyebut bahwa jumlah anak usia dini di Indonesia mencapai 30,83 juta jiwa pada 2021. Rinciannya: jumlah anak usia 1-4 tahun mencapai 17,62 juta jiwa (sekitar 57,16% dari total anak usia dini di Indonesia). Selanjutnya, jumlah anak usia 5-6 tahun mencapai 9,02 juta jiwa (sekitar 29,28% dari total jumlah anak usia dini).
Kemudian, jumlah anak usia di bawah 1 tahun sebanyak 4,18 juta jiwa (sekitar 13,56% dari total anak usia dini). Jumlah total anak usia dini tadi setara dengan 11,35% dari jumlah total penduduk Indonesia di tahun yang sama. Jika dibandingkan pada 2020, jumlah anak usia dini mengalami penurunan sebesar 6,46% dari 32,96 juta jiwa.
Kekerasan Seksual pada Anak Perempuan
Dari jumlah tersebut, masih banyak masalah yang dialami anak-anak Indonesia, di antaranya menghadapi predator aksi kekerasan seksual. Menurut WHO, definisi kekerasan seksual sebagai segala perilaku yang dilakukan dengan menyasar seksualitas atau organ seksual seseorang tanpa persetujuan, dengan unsur paksaan atau ancaman, termasuk perdagangan perempuan dengan tujuan seksual, dan pemaksaan prostitusi.
Komnas Perempuan membagi bentuk kekerasan seksual ke dalam 15 macam, di antaranya bentuk tindakan seksual maupun tindakan untuk mendapatkan seksual secara memaksa, pelecehan seksual baik secara fisik maupun verbal, mengeksploitasi seksual, pemaksaan perkawinan, pemaksaan kehamilan dan aborsi, pemaksaan kontrasepsi, penyiksaan seksual, serta kontrol seksual yang mendiskriminasikan perempuan.
Aksi kekerasan seksual ini juga dapat dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan kepada siapa pun termasuk istri atau suami, pacar, orang tua, saudara kandung, teman, kerabat dekat, hingga orang yang tak dikenal. Kekerasan seksual ini dapat terjadi di mana saja, termasuk rumah, tempat kerja, atau lingkungan pendidikan (sekolah, tempat kursus, pesantren, atau kampus).
Merujuk pada data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang dipublkikasi media, sepanjang Januari-Desember 2021, telah terjadi kekerasan seksual di lingkungan pendidikan sebanyak 18 kasus, yang tersebar di 17 kabupaten/kota di 9 provinsi. Meski “hanya” 18 kasus, namun jumlah korbannya mencapai 126 anak perempuan dan 71 anak laki-laki.
Ironisnya, 55,5% pelakunya adalah guru. Kekhawatiran masih terus membayang pada 2022. KPAI mencatat, sepanjang Januari - Juli 2022 telah terjadi 12 kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pendidikan. Jumlah total korbannya berjumlah 52 anak, terdiri atas 16 orang anak laki-laki dan 36 orang anak perempuan.
Fenomena ini hanya menggambarkan aksi kekerasan seksual di lingkungan sekolah yang terjadi pada anak perempuan. Bagaimana dengan aksi serupa di luar lingkungan sekolah? Melalui laman real-time Simfoni Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) tercatat sejak 1 Januari 2022 hingga saat ini, terdapat 17.426 perempuan dari berbagai usia yang menjadi korban kekerasan seksual.
Dari jumlah tersebut, sebanyak 5,8% perempuan korban kekerasan seksual di usia 0-5 tahun; 14,6% korban perempuan di usia 6-12 tahun; dan 29,7% korban perempuan di usia 13-17 tahun. Bandingkan dengan korban laki-laki yang berjumlah 3.075 orang dari berbagai range usia.
Ringkihnya Posisi Anak Perempuan
Dari fenomena ini jelas terlihat, betapa ringkihnya posisi anak perempuan. Kekerasan seksual terhadap anak--baik laki-laki maupun perempuan--adalah kenyataan yang menakutkan dan tidak menyenangkan karena dampaknya bisa menghancurkan psikososial, serta tumbuh dan kembangnya di masa depan.
Bagi anak perempuan, banyak fakta yang tak bisa dihindari sebagai akibat dari tindakan kekerasan seksual yang menimpanya. Dari Modul Intervensi Pencegahan Kekerasan Seksual Pada Anak yang diterbitkan oleh Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas tahun 2017, disebutkan fakta (1) 1 dari 4 anak perempuan mengalami kekerasan seksual sebelum mereka berusia 18 tahun. Artinya di setiap kelas, ada anak-anak yang memendam rahasia bahwa mereka adalah korban kekerasan seksual dan tidak berani melaporkan kejadian tersebut.
Fakta (2) 1 dari 5 anak mengalami kekerasan seksual yang berawal dari internet sehingga di era digital saat ini, penting bagi orang tua untuk mengingatkan supaya anak tidak memberikan data pribadi kepada orang yang dikenalnya lewat internet. Fakta (3) anak perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual cenderung mengembangkan kelainan pola makan saat dewasa.
Fakta (4) hampir 80% penyintas kekerasan seksual tumbuh menjadi remaja bermasalah yang terlibat penggunaan narkoba dan alkohol, terjerumus prostitusi dan juga memiliki kecenderungan bunuh diri.
Menyambut Hari Anak Perempuan Sedunia tahun 2022 ini, lalu apa saja yang dapat kita lakukan untuk melindungi hak-hak anak perempuan? Kita bisa berfokus pada upaya mengatasi tantangan yang dihadapi oleh anak-anak perempuan di seluruh dunia, sekaligus meningkatkan pemberdayaan anak perempuan dan pemenuhan hak-hak hidup mereka.
Salah satu bentuknya, lewat kegiatan edukasi tentang kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, yang sebaiknya ditanamkan sejak anak memasuki masa golden age (di bawah 6 tahun). Hal ini dilakukan supaya sejak usia dini, anak memahami adanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai hal, misalnya bidang pendidikan. Untuk itu, adalah tugas orang tua dan keluarga di rumah untuk mengembangkan perilaku, sikap dan komitmen sebagai atribut perempuan dan laki-laki yang dapat diterima.
Selain itu, pentingnya membangun komunikasi antara orang tua dan anak di rumah. Studi menemukan, anak-anak dengan ibu yang selalu menjelaskan kepada mereka mengenai perasaan, keyakinan, dan keinginannya, akan mengalami perkembangan pemahaman sosial yang lebih baik dibandingkan anak-anak dengan ibu yang tidak menjelaskan hal-hal tersebut.
Namun hal ini bukan berarti keberadaan ayah tidak penting. Hubungan ayah dan anak perempuan amat krusial karena menjadi dasar bagi hubungan dengan lawan jenis. Hubungan yang tidak baik antara ayah dan anak perempuan, biasanya berimbas pada emosi anak dan caranya membangun hubungan dengan pria lain dalam hidupnya.
Karena itu, penting menjaga dan memberikan pemahaman kepada setiap anak perempuan supaya terhindar dari aksi kekerasan seksual. Sejatinya, semua orang memiliki hak dan cita-cita untuk hidup lebih baik. Apabila didukung, anak-anak perempuan dapat berpotensi mengubah dunia, baik sebagai wanita karier, seorang ibu, bahkan sebagai sosok pemimpin.
(bmm)