Polri, Sambo, dan Kanjuruhan
loading...
A
A
A
Muradi
Guru Besar Politik dan Keamanan Universitas Padjadjaran, Bandung
DALAM tiga bulan terakhir, Polri terus mendapatkan ujian sebagai institusi profesional. Drama pembunuhan Brigadir J yang dilakukan oleh mantan Kadiv Propam Ferdy Sambo telah mengharubirukan internal Polri karena melibatkan puluhan personel Polri.
Kasus yang menyita perhatian publik Tanah Air tersebut telah P21 (berkas lengkap) dan kasusnya telah dilimpahkan ke kejaksaan. Sebagian personel telah diputus melanggar dalam Sidang Komisi Etik, hukumannya antara lain kurungan penempatan khusus, demosi, hingga Pemecatan Tidak Dengan Hormat (PTDH).
Baca Juga: koran-sindo.com
Bahkan, ada tersangka pelaku yang dilanjutkan dengan penahanan karena diduga ikut aktif dalam proses pembunuhan hingga perusakan barang bukti.
Belum selesai proses etik maupun hukuman terkait pembunuhan Brigadir J, Polri kembali disorot publik karena dianggap menjadi pemicu atas tewasnya ratusan suporter Arema FC, salah satunya karena menggunakan gas air mata di dalam stadion yang dilarang oleh FIFA. Penggunaan gas air mata dalam upaya mengendalikan suporter yang masuk lapangan karena tim yang didukungnya kalah
Ada perdebatan mengapa Polri menggunakan gas air mata di dalam stadion, meski aturan FIFA melarangnya, serta dalam Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 1/2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, khususnya pasal 5 ayat 1, menjelaskan tentang tahapan penggunaan kekuatan kepolisian.
Pada pasal tersebut disebutkan bahwa penggunaan gas air mata dapat dilakukan pada tahap 5, setelah upaya persuasif dan penggunaan tangan kosong dilakukan untuk menghalau massa. Terlepas dari perdebatan tentang penggunaan gas air mata, namun persepsi publik telah terbangun bahwa tembakan gas air mata oleh anggota Polri saat pertandingan usai menjadi pemicu dari terjadinya tragedi tersebut.
Liam O’Shea (2022) mengungkapkan bahwa kesalahan-kesalahan bersifat elementer baik teknis operasional maupun upaya penegakan hukum dari personel dalam tugas pemolisiannya akan berakibat pada kemungkinan hilangnya dukungan publik pada institusi kepolisian tersebut.
Sejumlah temuan dari riset O’Shea di negara-negara bekas Uni Soviet menggambarkan bagaimana sentimen negatif publik atas kinerja kepolisian berakibat pada gagalnya institusi kepolisian menjadi lebih demokratik dan profesional.
Penelitian dari O’Shea sesungguhnya menggambarkan bahwa sebagai institusi penegak hukum, posisi kepolisian harus bisa membangun hubungan baik dengan publik.
Bahkan, O’Shea menarik kesimpulan bahwa kunci utama dari profesionalisme institusi kepolisian adalah dapat meyakinkan publik dengan kinerja dan pelayanan prima, dengan catatan mengurangi kesalahan elementer seolah publik tidak paham berkaitan dengan pelayanan kepolisian dan penegakan hukum.
Dibutuhkan Komitmen Perbaikan
Langkah yang dilakukan oleh Kapolri dalam penanganan kasus pembunuhan Brigadir J sesungguhnya sudah sangat baik, tapi belum cukup untuk benar-benar membuat persepsi publik pulih kembali.
Pada kasus Brigadir J, misalnya, memproses hukum eks Kadiv Propam dan sejumlah tersangka lainnya serta memproses secara etik sejumlah personel yang dianggap terlibat harus juga dilanjutkan dengan melakukan bersih-bersih internal Polri. Terutama berkaitan dengan dugaan adanya kasus lainnya, mulai dari "Konsorsium 303 Judi Online" serta praktik penyimpangan kepolisian lainnya.
Momentum tersebut terbuka lebar karena publik masih menunggu langkah pimpinan Polri agar dapat bersikap tegas atas praktik penyimpangan dan memalukan institusi tersebut.
Upaya untuk memproses secara terbuka para pelaku kasus pembunuhan Brigadir J menjadi momentum baik bagi kembalinya dukungan publik kepada Polri. Satu di antaranya memastikan agar proses persidangan dari pelaku pembunuhan Brigadir J dapat dilakukan dengan baik dan di sisi lain penyegeraan proses hukuman bagi personel yang terlibat juga menjadi bagian penting untuk dilakukan.
Sejauh ini, publik masih menunggu komitmen bersih-bersih dan perbaikan yang berkaitan dengan kasus pembunuhan Brigadir J.
Di sisi lain, dugaan kesalahan mendasar pada penanganan kerumunan massa di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, menegaskan bahwa masih terdapat ketimpangan pemahaman atas integrasi pengamanan yang seharusnya dilakukan. Penggunaan gas air mata adalah satu situasi yang seharusnya dilakukan dengan proses penahapan yang terukur. Hal ini makin membuat Polri menjadi tidak cukup baik di mata publik.
Kesan tidak ingin disalahkan sebagai pemicu tewasnya ratusan suporter di Stadion Kanjuruhan berulang kali disampaikan dalam sejumlah kesempatan oleh pimpinan Polri di tingkat lokal maupun di nasional.
Langkah hukum dan proses penyelidikan dan kemudian penyidikan seharusnya dapat menguatkan Polri bahwa ada penanganan keamanan yang menjadi pemicu tewasnya ratusan suporter tersebut. Dengan kata lain, permohonan maaf yang telah dilakukan oleh pimpinan Polri di tingkat lokal bisa jadi penegas bahwa pimpinan Polri di level nasional juga perlu menguatkan itu dengan melakukan hal yang sama dan berkomitmen memperbaiki diri.
Pencopotan sejumlah perwira yang terlibat langsung dalam penanganan keamanan di Stadion Kanjuruhan tidak cukup tanpa komitmen perbaikan. Perbaikan tata kelola pengamanan kerumunan massa satu di antaranya adalah dengan melakukan edukasi bagi personel terkait manajemen penanganan kerumunan dengan karakter yang berbeda satu dengan yang lainnya. Apalagi, perlu menyesuaikan dengan aturan dan regulasi dari setiap kegiatan sehingga kesan tidak ingin disalahkan dalam tragedi tersebut tidak kembali menguat.
Dengan komitmen perbaikan yang kuat, upaya menjaga agar Polri tetap mendapatkan atensi publik yang baik dapat menjadi stimulasi bagi kinerja baik Polri sehingga Reformasi Polri yang dimulai sejak 1999 dan sukses dituntaskan pada 2015 tidak terinterupsi oleh prilaku menyimpang dan kesalahan-kesalahan mendasar kepolisian.
Sebab, menjaga agar persepsi publik yang baik ke Polri akan menguatkan profesionalisme Polri dalam tata kelola demokratik. Karena persepsi publik yang baik akan menstimulasi kinerja baik kepolisian secara terintegrasi dan dalam skema pemolisian demokratik.
Lihat Juga: Bharada E Nikahi Kekasihnya di Manado, Netizen: Puji Tuhan, Langgeng Ichat dan Ling Ling
Guru Besar Politik dan Keamanan Universitas Padjadjaran, Bandung
DALAM tiga bulan terakhir, Polri terus mendapatkan ujian sebagai institusi profesional. Drama pembunuhan Brigadir J yang dilakukan oleh mantan Kadiv Propam Ferdy Sambo telah mengharubirukan internal Polri karena melibatkan puluhan personel Polri.
Kasus yang menyita perhatian publik Tanah Air tersebut telah P21 (berkas lengkap) dan kasusnya telah dilimpahkan ke kejaksaan. Sebagian personel telah diputus melanggar dalam Sidang Komisi Etik, hukumannya antara lain kurungan penempatan khusus, demosi, hingga Pemecatan Tidak Dengan Hormat (PTDH).
Baca Juga: koran-sindo.com
Bahkan, ada tersangka pelaku yang dilanjutkan dengan penahanan karena diduga ikut aktif dalam proses pembunuhan hingga perusakan barang bukti.
Belum selesai proses etik maupun hukuman terkait pembunuhan Brigadir J, Polri kembali disorot publik karena dianggap menjadi pemicu atas tewasnya ratusan suporter Arema FC, salah satunya karena menggunakan gas air mata di dalam stadion yang dilarang oleh FIFA. Penggunaan gas air mata dalam upaya mengendalikan suporter yang masuk lapangan karena tim yang didukungnya kalah
Ada perdebatan mengapa Polri menggunakan gas air mata di dalam stadion, meski aturan FIFA melarangnya, serta dalam Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 1/2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, khususnya pasal 5 ayat 1, menjelaskan tentang tahapan penggunaan kekuatan kepolisian.
Pada pasal tersebut disebutkan bahwa penggunaan gas air mata dapat dilakukan pada tahap 5, setelah upaya persuasif dan penggunaan tangan kosong dilakukan untuk menghalau massa. Terlepas dari perdebatan tentang penggunaan gas air mata, namun persepsi publik telah terbangun bahwa tembakan gas air mata oleh anggota Polri saat pertandingan usai menjadi pemicu dari terjadinya tragedi tersebut.
Liam O’Shea (2022) mengungkapkan bahwa kesalahan-kesalahan bersifat elementer baik teknis operasional maupun upaya penegakan hukum dari personel dalam tugas pemolisiannya akan berakibat pada kemungkinan hilangnya dukungan publik pada institusi kepolisian tersebut.
Sejumlah temuan dari riset O’Shea di negara-negara bekas Uni Soviet menggambarkan bagaimana sentimen negatif publik atas kinerja kepolisian berakibat pada gagalnya institusi kepolisian menjadi lebih demokratik dan profesional.
Penelitian dari O’Shea sesungguhnya menggambarkan bahwa sebagai institusi penegak hukum, posisi kepolisian harus bisa membangun hubungan baik dengan publik.
Bahkan, O’Shea menarik kesimpulan bahwa kunci utama dari profesionalisme institusi kepolisian adalah dapat meyakinkan publik dengan kinerja dan pelayanan prima, dengan catatan mengurangi kesalahan elementer seolah publik tidak paham berkaitan dengan pelayanan kepolisian dan penegakan hukum.
Dibutuhkan Komitmen Perbaikan
Langkah yang dilakukan oleh Kapolri dalam penanganan kasus pembunuhan Brigadir J sesungguhnya sudah sangat baik, tapi belum cukup untuk benar-benar membuat persepsi publik pulih kembali.
Pada kasus Brigadir J, misalnya, memproses hukum eks Kadiv Propam dan sejumlah tersangka lainnya serta memproses secara etik sejumlah personel yang dianggap terlibat harus juga dilanjutkan dengan melakukan bersih-bersih internal Polri. Terutama berkaitan dengan dugaan adanya kasus lainnya, mulai dari "Konsorsium 303 Judi Online" serta praktik penyimpangan kepolisian lainnya.
Momentum tersebut terbuka lebar karena publik masih menunggu langkah pimpinan Polri agar dapat bersikap tegas atas praktik penyimpangan dan memalukan institusi tersebut.
Upaya untuk memproses secara terbuka para pelaku kasus pembunuhan Brigadir J menjadi momentum baik bagi kembalinya dukungan publik kepada Polri. Satu di antaranya memastikan agar proses persidangan dari pelaku pembunuhan Brigadir J dapat dilakukan dengan baik dan di sisi lain penyegeraan proses hukuman bagi personel yang terlibat juga menjadi bagian penting untuk dilakukan.
Sejauh ini, publik masih menunggu komitmen bersih-bersih dan perbaikan yang berkaitan dengan kasus pembunuhan Brigadir J.
Di sisi lain, dugaan kesalahan mendasar pada penanganan kerumunan massa di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, menegaskan bahwa masih terdapat ketimpangan pemahaman atas integrasi pengamanan yang seharusnya dilakukan. Penggunaan gas air mata adalah satu situasi yang seharusnya dilakukan dengan proses penahapan yang terukur. Hal ini makin membuat Polri menjadi tidak cukup baik di mata publik.
Kesan tidak ingin disalahkan sebagai pemicu tewasnya ratusan suporter di Stadion Kanjuruhan berulang kali disampaikan dalam sejumlah kesempatan oleh pimpinan Polri di tingkat lokal maupun di nasional.
Langkah hukum dan proses penyelidikan dan kemudian penyidikan seharusnya dapat menguatkan Polri bahwa ada penanganan keamanan yang menjadi pemicu tewasnya ratusan suporter tersebut. Dengan kata lain, permohonan maaf yang telah dilakukan oleh pimpinan Polri di tingkat lokal bisa jadi penegas bahwa pimpinan Polri di level nasional juga perlu menguatkan itu dengan melakukan hal yang sama dan berkomitmen memperbaiki diri.
Pencopotan sejumlah perwira yang terlibat langsung dalam penanganan keamanan di Stadion Kanjuruhan tidak cukup tanpa komitmen perbaikan. Perbaikan tata kelola pengamanan kerumunan massa satu di antaranya adalah dengan melakukan edukasi bagi personel terkait manajemen penanganan kerumunan dengan karakter yang berbeda satu dengan yang lainnya. Apalagi, perlu menyesuaikan dengan aturan dan regulasi dari setiap kegiatan sehingga kesan tidak ingin disalahkan dalam tragedi tersebut tidak kembali menguat.
Dengan komitmen perbaikan yang kuat, upaya menjaga agar Polri tetap mendapatkan atensi publik yang baik dapat menjadi stimulasi bagi kinerja baik Polri sehingga Reformasi Polri yang dimulai sejak 1999 dan sukses dituntaskan pada 2015 tidak terinterupsi oleh prilaku menyimpang dan kesalahan-kesalahan mendasar kepolisian.
Sebab, menjaga agar persepsi publik yang baik ke Polri akan menguatkan profesionalisme Polri dalam tata kelola demokratik. Karena persepsi publik yang baik akan menstimulasi kinerja baik kepolisian secara terintegrasi dan dalam skema pemolisian demokratik.
Lihat Juga: Bharada E Nikahi Kekasihnya di Manado, Netizen: Puji Tuhan, Langgeng Ichat dan Ling Ling
(bmm)