Ikhtiar Kolektif Tumbuhkan Minat Baca
loading...
A
A
A
Sejak dulu kita memang terbiasa mendengar dan belajar dari dongeng atau cerita yang disampaikan oleh orang tua kita. Sedihnya, kecenderungan masyarakat saat ini adalah lebih suka menonton daripada membaca. Lebih betah berlama-lama di depan layar gawai daripada membaca buku atau surat kabar.
Kategori Melek Huruf
Menurut Gol A Gong dan Agus M Irkham (2012) dalam bukunya Gempa Literasi,melek huruf dibagai menjadi tiga kategori. Pertama, melek huruf teknis, di mana orang yang secara teknis dapat membaca namun belum menjadikan kegiatan membaca sebagai kebutuhan maupun budaya. Kedua, melek huruf fungsional, orang yang menjadikan kegiatan membaca dan menulis sebagai fungsi yang harus dijalankan untuk kebutuhan pekerjaan.
Lalu ketiga, melek huruf budaya, yaitu orang yang tidak hanya melek huruf secara teknis dan fungsional namun sudah menjadikan kegiatan membaca sebagai budaya. Orang dengan melek huruf budaya menganggap membaca sebagai sesuatu yang digemari, mengakar dan dilakukan secara terus-menerus dalam kehidupan dan menjadi kebiasaan.
Dari kategori tersebut penulis berpendapat, tingginya tingkat literasi di Indonesia masih sebatas pada melek huruf teknis dan fungsional. Namun untuk melek huruf budaya, mayoritas masyarakat Indonesia masih dianggap buta, karena kebiasaan membacanya masih kategori rendah.
Hal itu sedikit banyak bisa jadi jawaban atas pertanyaan mengapa masyarakat kita sangat mudah percaya dan terhasut oleh beredarnya berita palsu, berita bohong (hoaks) dan disinformasi. Sebab, masyarakat yang gemar membaca (pembaca terampil) seyogianya mampu membaca, memahami, mengevaluasi, berpikir kritis, dan menyaring segala informasi dengan baik.
Menumbuhkan Minat Baca
Pada era post-truth saat ini, pelbagai informasi yang disuguhkan di dunia maya (internet) sebagian “tidak bertuan” dan tidak jelas sumbernya. Informasi tidak jelas dan sering kali sangat subjektif tersebar begitu cepat, masif, dan dipercaya oleh masyarakat.
Kondisi tersebut tentu sangat mengerikan, di mana Indonesia merupakan salah satu negara dengan populasi pengguna internet terbesar di dunia, tetapi budaya bacanya masih memprihatinkan. Menurut laporan We Are Social, jumlah pengguna internet di Indonesia saat ini mencapai 204,7 juta jiwa per Januari 2022.
Menumbuhkan minat baca memang butuh proses dalam membentuk dan mengubah paradigma masyarakat Indonesia bahwa membaca itu sangat penting. Namun kita yakin, upaya tersebut akan lebih ringan dan dapat berjalan dengan baik jika ada kesadaran, ikhtiar, dan kerja sama kolektif semua pihak.
Minat hakikatnya itu dapat diubah. Begitu juga minat baca buku dapat dibentuk, menguat, melemah, atau bahkan hilang. Minat baca akan tumbuh dengan baik apabila didukung oleh lingkungan yang ramah buku. Budaya baca haruslah ditumbuhkan sejak usia dini dan faktor keluarga memang memiliki peran vital. Dibutuhkan kesadaran dan dorongan orang tua yang sejak dini untuk selalu menyisihkan waktu aktivitas membaca bersama dengan anak.
Adapun di lembaga pendidikan, tenaga pendidik dan pustakawan berperan penting meningkatkan minat baca peserta didik dan masyarakat. Pendidik dan pustakawan tentu harus lebih dulu memiliki minat baca yang tinggi dan menjadi teladan di lingkungannya. Lembaga pendidikan sebaiknya juga konsisten menentukan alokasi waktu untuk kegiatan-kegiatan literasi.
Kategori Melek Huruf
Menurut Gol A Gong dan Agus M Irkham (2012) dalam bukunya Gempa Literasi,melek huruf dibagai menjadi tiga kategori. Pertama, melek huruf teknis, di mana orang yang secara teknis dapat membaca namun belum menjadikan kegiatan membaca sebagai kebutuhan maupun budaya. Kedua, melek huruf fungsional, orang yang menjadikan kegiatan membaca dan menulis sebagai fungsi yang harus dijalankan untuk kebutuhan pekerjaan.
Lalu ketiga, melek huruf budaya, yaitu orang yang tidak hanya melek huruf secara teknis dan fungsional namun sudah menjadikan kegiatan membaca sebagai budaya. Orang dengan melek huruf budaya menganggap membaca sebagai sesuatu yang digemari, mengakar dan dilakukan secara terus-menerus dalam kehidupan dan menjadi kebiasaan.
Dari kategori tersebut penulis berpendapat, tingginya tingkat literasi di Indonesia masih sebatas pada melek huruf teknis dan fungsional. Namun untuk melek huruf budaya, mayoritas masyarakat Indonesia masih dianggap buta, karena kebiasaan membacanya masih kategori rendah.
Hal itu sedikit banyak bisa jadi jawaban atas pertanyaan mengapa masyarakat kita sangat mudah percaya dan terhasut oleh beredarnya berita palsu, berita bohong (hoaks) dan disinformasi. Sebab, masyarakat yang gemar membaca (pembaca terampil) seyogianya mampu membaca, memahami, mengevaluasi, berpikir kritis, dan menyaring segala informasi dengan baik.
Menumbuhkan Minat Baca
Pada era post-truth saat ini, pelbagai informasi yang disuguhkan di dunia maya (internet) sebagian “tidak bertuan” dan tidak jelas sumbernya. Informasi tidak jelas dan sering kali sangat subjektif tersebar begitu cepat, masif, dan dipercaya oleh masyarakat.
Kondisi tersebut tentu sangat mengerikan, di mana Indonesia merupakan salah satu negara dengan populasi pengguna internet terbesar di dunia, tetapi budaya bacanya masih memprihatinkan. Menurut laporan We Are Social, jumlah pengguna internet di Indonesia saat ini mencapai 204,7 juta jiwa per Januari 2022.
Menumbuhkan minat baca memang butuh proses dalam membentuk dan mengubah paradigma masyarakat Indonesia bahwa membaca itu sangat penting. Namun kita yakin, upaya tersebut akan lebih ringan dan dapat berjalan dengan baik jika ada kesadaran, ikhtiar, dan kerja sama kolektif semua pihak.
Minat hakikatnya itu dapat diubah. Begitu juga minat baca buku dapat dibentuk, menguat, melemah, atau bahkan hilang. Minat baca akan tumbuh dengan baik apabila didukung oleh lingkungan yang ramah buku. Budaya baca haruslah ditumbuhkan sejak usia dini dan faktor keluarga memang memiliki peran vital. Dibutuhkan kesadaran dan dorongan orang tua yang sejak dini untuk selalu menyisihkan waktu aktivitas membaca bersama dengan anak.
Adapun di lembaga pendidikan, tenaga pendidik dan pustakawan berperan penting meningkatkan minat baca peserta didik dan masyarakat. Pendidik dan pustakawan tentu harus lebih dulu memiliki minat baca yang tinggi dan menjadi teladan di lingkungannya. Lembaga pendidikan sebaiknya juga konsisten menentukan alokasi waktu untuk kegiatan-kegiatan literasi.