Ikhtiar Kolektif Tumbuhkan Minat Baca

Sabtu, 01 Oktober 2022 - 07:06 WIB
loading...
Ikhtiar Kolektif Tumbuhkan...
Ahmad Ali Imron (Foto: Ist)
A A A
Ahmad Ali Imron
Pranata Humas Ahli Muda dan Alumnus Magister Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Jakarta

SEPTEMBER merupakan bulan yang istimewa bagi masyarakat, khususnya pemustaka. September adalah bulan gemar membaca nasional, Hari Literasi Internasional (8 September), dan hari kunjung perpustakaan (14 September). September menjadi lonceng pengingat akan pentingnya literasi (melek huruf) dan kebiasaan membaca.

Sejatinya di tengah belantara informasi, melek huruf bukan hanya persoalan seseorang mampu membaca dan menulis. Lebih dari itu harus tercipta budaya gemar membaca. Sebab minat baca yang tinggi sangat bermanfaat dalam meningkatkan pemahaman dan daya nalar. Dengan kemampuan menalar yang tinggi, informasi bisa diolah secara analitis, kritis, dan reflektif.

Baca Juga: koran-sindo.com

Secara teoretis ada korelasi antara minat baca (reading interest) dengan kebiasaan membaca (reading habit) dan kemampuan membaca (reading ability). Rendahnya minat baca masyarakat menjadikan kebiasaan membaca yang rendah, dan kebiasaan membaca yang rendah berdampak terhadap kemampuan membaca juga rendah (Sudarsana, 2014).

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, secara umum tingkat kegemaran membaca (TGM) masyarakat Indonesia pada 2021 sebesar 59,52 atau masuk kategori sedang. Berbeda dengan data hasil survei UNESCO tentang minat baca masyarakat Indonesia 2012 yang menunjukkan angka 0,001, yang berarti dari 1.000 orang hanya 1 orang yang memiliki minat baca tinggi.

Padahal, dari segi infrastruktur untuk mendukung kebiasaan membaca, Indonesia juga tidak kalah dengan negara-negara di Eropa. Terlepas dari data-data tersebut, kenyataan di masyarakat kita menunjukkan minat baca memang masih menjadi persoalan serius yang harus dibenahi.

Ada beberapa faktor yang memengaruhi rendahnya minat baca masyarakat, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal, berasal dari dalam diri personal seperti kemauan dan kebiasaan. Adapun faktor eksternal adalah faktor dari luar diri personal seperti lingkungan, baik keluarga, masyarakat maupun lembaga pendidikan.

Ditambah lagi kehadiran internet bisa memudahkan seseorang dalam membaca karena begitu luas dan lengkapnya jagat internet. Atau sebaliknya, keberadaan internet yang memudahkan segala hal dan aksesnya begitu mudah nan cepat bisa menuntun seseorang semakin berjarak dari dunia literatur.

Selain faktor-faktor tersebut, tidak dapat dimungkiri kegemaran membaca juga bukan budaya nenek moyang kita. Karena itu orang Indonesia, khususnya generasi muda tidak menjadikan kebiasaan membaca buku sebagai hal yang penting.

Sejak dulu kita memang terbiasa mendengar dan belajar dari dongeng atau cerita yang disampaikan oleh orang tua kita. Sedihnya, kecenderungan masyarakat saat ini adalah lebih suka menonton daripada membaca. Lebih betah berlama-lama di depan layar gawai daripada membaca buku atau surat kabar.

Kategori Melek Huruf
Menurut Gol A Gong dan Agus M Irkham (2012) dalam bukunya Gempa Literasi,melek huruf dibagai menjadi tiga kategori. Pertama, melek huruf teknis, di mana orang yang secara teknis dapat membaca namun belum menjadikan kegiatan membaca sebagai kebutuhan maupun budaya. Kedua, melek huruf fungsional, orang yang menjadikan kegiatan membaca dan menulis sebagai fungsi yang harus dijalankan untuk kebutuhan pekerjaan.

Lalu ketiga, melek huruf budaya, yaitu orang yang tidak hanya melek huruf secara teknis dan fungsional namun sudah menjadikan kegiatan membaca sebagai budaya. Orang dengan melek huruf budaya menganggap membaca sebagai sesuatu yang digemari, mengakar dan dilakukan secara terus-menerus dalam kehidupan dan menjadi kebiasaan.

Dari kategori tersebut penulis berpendapat, tingginya tingkat literasi di Indonesia masih sebatas pada melek huruf teknis dan fungsional. Namun untuk melek huruf budaya, mayoritas masyarakat Indonesia masih dianggap buta, karena kebiasaan membacanya masih kategori rendah.

Hal itu sedikit banyak bisa jadi jawaban atas pertanyaan mengapa masyarakat kita sangat mudah percaya dan terhasut oleh beredarnya berita palsu, berita bohong (hoaks) dan disinformasi. Sebab, masyarakat yang gemar membaca (pembaca terampil) seyogianya mampu membaca, memahami, mengevaluasi, berpikir kritis, dan menyaring segala informasi dengan baik.

Menumbuhkan Minat Baca
Pada era post-truth saat ini, pelbagai informasi yang disuguhkan di dunia maya (internet) sebagian “tidak bertuan” dan tidak jelas sumbernya. Informasi tidak jelas dan sering kali sangat subjektif tersebar begitu cepat, masif, dan dipercaya oleh masyarakat.

Kondisi tersebut tentu sangat mengerikan, di mana Indonesia merupakan salah satu negara dengan populasi pengguna internet terbesar di dunia, tetapi budaya bacanya masih memprihatinkan. Menurut laporan We Are Social, jumlah pengguna internet di Indonesia saat ini mencapai 204,7 juta jiwa per Januari 2022.

Menumbuhkan minat baca memang butuh proses dalam membentuk dan mengubah paradigma masyarakat Indonesia bahwa membaca itu sangat penting. Namun kita yakin, upaya tersebut akan lebih ringan dan dapat berjalan dengan baik jika ada kesadaran, ikhtiar, dan kerja sama kolektif semua pihak.

Minat hakikatnya itu dapat diubah. Begitu juga minat baca buku dapat dibentuk, menguat, melemah, atau bahkan hilang. Minat baca akan tumbuh dengan baik apabila didukung oleh lingkungan yang ramah buku. Budaya baca haruslah ditumbuhkan sejak usia dini dan faktor keluarga memang memiliki peran vital. Dibutuhkan kesadaran dan dorongan orang tua yang sejak dini untuk selalu menyisihkan waktu aktivitas membaca bersama dengan anak.

Adapun di lembaga pendidikan, tenaga pendidik dan pustakawan berperan penting meningkatkan minat baca peserta didik dan masyarakat. Pendidik dan pustakawan tentu harus lebih dulu memiliki minat baca yang tinggi dan menjadi teladan di lingkungannya. Lembaga pendidikan sebaiknya juga konsisten menentukan alokasi waktu untuk kegiatan-kegiatan literasi.

Di samping itu, keberadaan perpustakaan harus dijadikan sebagai sumber informasi utama dan wahana belajar yang nyaman, menarik, dan rekreatif. Karenanya, pelayanan dan suasana perpustakaan haruslah mendukung. Jumlah koleksi buku berkualitas sesuai kebutuhan pemustaka juga harus ditingkatkan.

Dan, pemanfaatan perpustakaan di lembaga pendidikan akan lebih efektif jika diintegrasikan dengan aktivitas-aktivitas pembelajaran. Tentunya semua pihak juga harus bersinergi menggalakkan kampanye atau program kesadaran literasi yang inovatif dan kreatif, dijalankan berkelanjutan dan komprehensif.

Sudah saatnya pemerintah pusat dan daerah mendorong kebijakan anggaran yang baik terhadap eksistensi perpustakaan sehingga kualitasnya dapat ditingkatkan dan adaptif terhadap kebutuhan masyarakat di era digital. Guna memberikan stimulus minat baca dan daya beli, tiada salahnya juga pemerintah bersama penerbit buku membuat kebijakan dan kerja sama tentang buku berkualitas yang harganya terjangkau oleh masyarakat.H

Hanya bangsa dengan literasi tinggi menjadi prasyarat menuju masyarakat informasi yang merupakan ciri dari masyarakat maju dan modern. Bangsa ini sedang berjalan menyongsong Indonesia Emas tahun 2045, pastinya sumber daya manusia yang literat, unggul dan mumpuni sangat diperlukan pada masa kini dan mendatang.















(bmm)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2117 seconds (0.1#10.140)