Urgensi Mobil Dinas Listrik Pejabat Negara
loading...
A
A
A
PRESIDEN Joko Widodo bergerak cepat mewujudkan penggunaan kendaraan listrik secara lebih luas dengan mewajibkan semua pejabat pemerintah pusat dan daerah. Kewajiban penggunaan kendaraan dinas listrik ini tertuang dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia (Inpres) Nomor 7/2022 tentang Penggunaan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai sebagai Kendaraan Dinas Operasional dan/atau Kendaraan Perorangan Dinas Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Dalam beleid inpres ini dijelaskan bahwa penggunaan kendaraan listrik untuk operasional dinas dan perorangan pejabat pemerintah pusat dan daerah harus dipercepat. Percepatan itu diterapkan secara bertahap sesuai dengan kesiapan ekosistem pendukung industri mobil listrik di Tanah Air.
Baca Juga: koran-sindo.com
Kementerian Perhubungan memastikan hingga 2030 dibutuhkan sekitar 132.000 unit kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB). Sedangkan pejabat publik yang mendapatkan fasilitas kendaraan listrik ini adalah sebagai berikut: seluruh menteri kabinet Indonesia Maju, sekretaris kabinet dan kepala staf kepresidenan, Jaksa Agung, Panglima TNI dan Kapolri, kepala-kepala lembaga pemerintah non-kementerian, pimpinan kesekretariatan lembaga negara, gubernur, walikota dan bupati seluruh Indonesia.
Percepatan penggunaan kendaraan listrik yang dimaksud Presiden tujuannya baik, yakni mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar minyak (BBM) fosil yang harganya semakin mahal sehingga menyedot subsidi APBN yang besar. Maksud lainnya yakni mewujudkan komitmen bahwa pemerintah Indonesia serius menerapkan energi bersih.
Hal yang kedua ini berkaitan erat dengan posisi Indonesia yang memegang presidensi pertemuan G-20 yang puncaknya akan digelar tak lama lagi di Bali dan Jakarta. Sebagai tuan rumah, Indonesia akan menggunakan kendaraan listrik sebagai sarana transportasi para delegasi selama berlangsungnya pertemuan puncak nanti.
Saat ini di masyarakat beredar sejumlah merek kendaraan listrik baik roda dua maupun roda empat. Namun rata-rata untuk yang roda empat belum diproduksi di Indonesia. Saat ini baru 3 perusahaan perakitan mobil listrik di Indonesia. Ini berarti pengadaan kendaraan listrik roda empat akan menyedot anggaran pusat dan daerah yang lumayan besar.
Hitungan awam misalnya, jika diperlukan 132.000 kendaraan listrik hingga 2030 (asumsi kendaraan roda empatnya 100.000 unit) dengan harga rata rata Rp 300.000.000 berarti harus dianggarkan Rp30 triliun di APBN dan APBD.
Ini jumlah yang tidak sedikit jika dibandingkan dengan urgensi kebutuhan masyarakat yang lebih memerlukan perhatian. Terutama untuk menjaga daya beli yang terpukul akibat kenaikan BBM bersubsidi, aktivitas ekonomi yang belum pulih benar setelah dua tahun dihantam badai Covid-19, ancaman kelangkaan pangan dan energi akibat perang Rusia-Ukraina dan terakhir kekhawatiran akan datangnya resesi ekonomi dunia pada 2023.
Percepatan tranformasi dari ketergantungan energi fosil ke energi listrik adalah sebuah keniscayaan yang nyaris tidak bisa dielakkan. Namun, prosesnya tidak bisa dilakukan serta-merta seperti halnya membangun jembatan atau jalan tol. Apalah artinya pindah ke energi listrik dengan maksud mengurangi ketergantungan dengan energi fosil tapi malah kita terjebak dengan ketergantungan baru yang tak kalah peliknya.
Kendaraan listrik akan efisien jika didukung oleh ekosistem yang cocok, yakni produksi baterai yang masih bergantung pada perusahaan asing, jumlah stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) yang masih terbatas, jumlahnya total 332 unit di 279 lokasi publik. Dari sini terlihat ekosistem penunjang kendaraan listrik masih belum memadai.
Bukankah akan dilaksanakan bertahap? Meski dilaksanakan bertahap, pengadaan kendaraan listrik untuk pejabat negara ini akan menimbulkan kesan pemborosan karena dilakukan saat keuangan negara sedang ngos-ngosan. Di samping itu, bagi-bagi kendaraan listrik ini juga tidak pantas dilakukan ketika seluruh masyarakat sedang prihatin berjibaku mempertahankan hidup di tengah tekanan ekonomi dan sosial politik yang bertubi tubi.
Akan sangat bijak jika penggunaan kendaraan umum dulu yang digenjot menggunakan tenaga listrik baik di pusat dan daerah. Jika transformasi peralihan ke energi listrik di kendaraan umum ini berhasil, maka penggunaannya untuk para pejabat negara di wilayah yang ekosistemnya sudah mendukung sangat tepat.
Tapi apa pun plus minusnya, transformasi ke energi listrik harus dimulai dan dilakukan. Tapi tidak perlu ada pemaksaan kecepatan yang justru akan mendatangkan problem baru.
Lihat Juga: Viral Pengemudi Arogan Berpelat TNI, Kapuspen TNI: Pengecekan Puspom Pemiliknya Purnawirawan
Dalam beleid inpres ini dijelaskan bahwa penggunaan kendaraan listrik untuk operasional dinas dan perorangan pejabat pemerintah pusat dan daerah harus dipercepat. Percepatan itu diterapkan secara bertahap sesuai dengan kesiapan ekosistem pendukung industri mobil listrik di Tanah Air.
Baca Juga: koran-sindo.com
Kementerian Perhubungan memastikan hingga 2030 dibutuhkan sekitar 132.000 unit kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB). Sedangkan pejabat publik yang mendapatkan fasilitas kendaraan listrik ini adalah sebagai berikut: seluruh menteri kabinet Indonesia Maju, sekretaris kabinet dan kepala staf kepresidenan, Jaksa Agung, Panglima TNI dan Kapolri, kepala-kepala lembaga pemerintah non-kementerian, pimpinan kesekretariatan lembaga negara, gubernur, walikota dan bupati seluruh Indonesia.
Percepatan penggunaan kendaraan listrik yang dimaksud Presiden tujuannya baik, yakni mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar minyak (BBM) fosil yang harganya semakin mahal sehingga menyedot subsidi APBN yang besar. Maksud lainnya yakni mewujudkan komitmen bahwa pemerintah Indonesia serius menerapkan energi bersih.
Hal yang kedua ini berkaitan erat dengan posisi Indonesia yang memegang presidensi pertemuan G-20 yang puncaknya akan digelar tak lama lagi di Bali dan Jakarta. Sebagai tuan rumah, Indonesia akan menggunakan kendaraan listrik sebagai sarana transportasi para delegasi selama berlangsungnya pertemuan puncak nanti.
Saat ini di masyarakat beredar sejumlah merek kendaraan listrik baik roda dua maupun roda empat. Namun rata-rata untuk yang roda empat belum diproduksi di Indonesia. Saat ini baru 3 perusahaan perakitan mobil listrik di Indonesia. Ini berarti pengadaan kendaraan listrik roda empat akan menyedot anggaran pusat dan daerah yang lumayan besar.
Hitungan awam misalnya, jika diperlukan 132.000 kendaraan listrik hingga 2030 (asumsi kendaraan roda empatnya 100.000 unit) dengan harga rata rata Rp 300.000.000 berarti harus dianggarkan Rp30 triliun di APBN dan APBD.
Ini jumlah yang tidak sedikit jika dibandingkan dengan urgensi kebutuhan masyarakat yang lebih memerlukan perhatian. Terutama untuk menjaga daya beli yang terpukul akibat kenaikan BBM bersubsidi, aktivitas ekonomi yang belum pulih benar setelah dua tahun dihantam badai Covid-19, ancaman kelangkaan pangan dan energi akibat perang Rusia-Ukraina dan terakhir kekhawatiran akan datangnya resesi ekonomi dunia pada 2023.
Percepatan tranformasi dari ketergantungan energi fosil ke energi listrik adalah sebuah keniscayaan yang nyaris tidak bisa dielakkan. Namun, prosesnya tidak bisa dilakukan serta-merta seperti halnya membangun jembatan atau jalan tol. Apalah artinya pindah ke energi listrik dengan maksud mengurangi ketergantungan dengan energi fosil tapi malah kita terjebak dengan ketergantungan baru yang tak kalah peliknya.
Kendaraan listrik akan efisien jika didukung oleh ekosistem yang cocok, yakni produksi baterai yang masih bergantung pada perusahaan asing, jumlah stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) yang masih terbatas, jumlahnya total 332 unit di 279 lokasi publik. Dari sini terlihat ekosistem penunjang kendaraan listrik masih belum memadai.
Bukankah akan dilaksanakan bertahap? Meski dilaksanakan bertahap, pengadaan kendaraan listrik untuk pejabat negara ini akan menimbulkan kesan pemborosan karena dilakukan saat keuangan negara sedang ngos-ngosan. Di samping itu, bagi-bagi kendaraan listrik ini juga tidak pantas dilakukan ketika seluruh masyarakat sedang prihatin berjibaku mempertahankan hidup di tengah tekanan ekonomi dan sosial politik yang bertubi tubi.
Akan sangat bijak jika penggunaan kendaraan umum dulu yang digenjot menggunakan tenaga listrik baik di pusat dan daerah. Jika transformasi peralihan ke energi listrik di kendaraan umum ini berhasil, maka penggunaannya untuk para pejabat negara di wilayah yang ekosistemnya sudah mendukung sangat tepat.
Tapi apa pun plus minusnya, transformasi ke energi listrik harus dimulai dan dilakukan. Tapi tidak perlu ada pemaksaan kecepatan yang justru akan mendatangkan problem baru.
Lihat Juga: Viral Pengemudi Arogan Berpelat TNI, Kapuspen TNI: Pengecekan Puspom Pemiliknya Purnawirawan
(bmm)