Riset Operasional Tuberkulosis
loading...
A
A
A
Tjandra Yoga Aditama
Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI / Guru Besar FKUI, Mantan Direktur WHO Asia Tenggara dan Mantan Dirjen P2P & Ka Balitbangkes
NEGARA kita masih menghadapi masalah besar tuberkulosis. Ada ratusan ribu kasus baru setahunnya dan puluhan ribu kasus TB kita meninggal setiap tahunnya. Diperlukan upaya keras dan peran banyak pihak untuk Indonesia dapat lebih baik dalam menangani tuberkulosis bagi kesehatan bangsa.
Pada 8-10 September 2022 di Bali diselenggarakan pertemuan internasional "the 4th Indonesia Tuberculosis International Meeting (INA-TIME)". Tema besar yang dipilih adalah “Readiness to Collaborate for TB Elimination“. Kita sudah ketahui bersama bahwa di tingkat dunia ada “Sustainable Development Goal (SDG)” yang juga sudah menyatakan target dunia untuk menghentikan epidemi tuberkulosis (bersama beberapa penyakit lain) pada 2030.
Di tingkat nasional, Presiden Jokowi dalam Peraturan Presiden No 67/2021 sudah mencanangkan untuk Indonesia eliminasi tuberkulosis (TB) pada 2030, delapan tahun dari sekarang, dengan target insiden (kasus baru) TB turun 90%. Dalam proses mencapai eliminasi TB di negara kita itu maka sudah ditetapkan juga target antara yang harusnya dapat di capai pada 2022, yaitu antara lain adalah penurunan insiden 20%, cakupan pengobatan 90%, angka kesembuhan 90% serta cakupan terapi pencegahan kontak serumah 48%.
Dalam pertemuan INA-TIME di Bali kali ini dibahas bahwa target antara 2022 itu tidak akan dapat tercapai pada akhir tahun ini, dan kenyataan ini tentunya menunjukkan perlunya upaya amat keras di tahun ini dan tahun-tahun mendatang agar eliminasi TB 2030 dapat tercapai. Untuk diketahui bahwa target antara yang harusnya di capai pada 2025 adalah insidensi TB turun 50%, cakupan pengobatan 90%, angka keberhasilan pengobatan 90% serta cakupan terapi pencegahan kontak serumah 70%.
Pengertian
Salah satu upaya yang baik dan perlu dilakukan untuk eliminasi tuberkulosis adalah dengan melakukan riset operasional yang baik. Riset operasional punya pengertian khusus, tidak hanya sebagai penelitian yang punya nilai ilmiah tinggi. Menurut dokumen tiga organisasi internasional yaitu Badan Kesehatan Dunia (WHO), “Stop TB Partnership” serta Global Fund AIDS, TB & Malaria dalam buku “Priorities in Operational Research to Improve Tuberculosis Care and Control” disebutkan bahwa riset operasional TB bertujuan untuk menghasilkan intervensi untuk memperbaiki kebijakan program pengendalian TB, desain dan implementasi sistem kesehatan yang lebih baik serta pemberian pelayanan kesehatan TB yang lebih efisien.
Artikel ilmiah di “Journal Tuberculosis and Lung Diseases” yang berjudul “Operational research to improve tuberculosis control:The scope, the need and way forward” menyebutkan tiga area riset operasional tuberkulosis. Pertama, memperbaiki kinerja program, kedua adalah menilai kelayakan, efektivitas dan dampak dari strategi baru program pengendalian TB, serta ketiga mengumpulkan bukti ilmiah untuk acuan rekomendasi kebijakan suatu intervensi spesifik yang baru.
Sementara itu, artikel lain berjudul “What is operational research and how can national tuberculosis programmes in low and middle income countries use it to end TB” yang dipublikasi di “Indian Journal of Tuberculosis” menyampaikan empat hal tentang riset operasional tuberkulosis. Pertama, mengakhiri TB di suatu negara memang memerlukan respons multisektoral dan juga intervensi tepat, tetapi riset operasional juga amat penting dilakukan.
Kedua, riset operasional punya peran penting untuk identifikasi masalah implementasi yang akan mungkin timbul, bagaimana latar belakangnya dan upaya mengatasinya. Ketiga, riset operasional akan dapat mengoptimasi implementasi program, memperbaiki kinerja program dan pada gilirannya akan berperan penting dalam eliminasi tuberkulosis. Keempat, penanggung jawab program penanggulangan TB di suatu negara perlu mengambil peran untuk mengintegrasikan dan membentuk budaya riset operasional dalam konteks penentu kebijakan publik secara keseluruhan dan juga masyarakat pada umumnya.
Area
Sedikitnya ada delapan area yang dapat dilakukan dalam riset operasional tuberkulosis. Ini meliputi aspek epidemiologi, klinik, ilmu dasar, sistem kesehatan, dampak pada program, intervensi kesehatan masyarakat, dampak sosio ekonomik dan juga hubungannya dengan kesiapan menghadapi pandemi (pandemic preparedness). Tentang metodologi bagaimana memulai suatu riset operasional tuberkulosis, maka baiknya dimulai dari proses persiapan yang meliputi cakupan dan proses yang akan dilakukan serta sensitisasi pada pemangku kepentingan yang terkait.
Lalu, dirumuskan ide riset operasional yang lebih jelas dan kemudian dilakukan penilaian / skoring untuk menilai prioritas ide yang ada. Kemudian dilakukan kompilasi, finalisasi dan juga prioritasi agenda riset oparasional yang akan dipilih. Untuk melakukan penilaian atau skoring dapat dipertimbangkan sedikitnya enam hal, yaitu relevansi di tingkat nasional / daerah, dampak kesehatan masyarakat, apakah memang perlu segera dilakukan (urgency), faktor ekuitas untuk berbagai pihak yang akan terkena dampak program, ketersediaan sumber daya serta analisa jenis kapasitas apa yang diperlukan.
Dalam perkembangannya, pada 2022 ini memang ada beberapa kebijakan global baru dalam hal tuberkulosis. Ini tentu dibuat berdasar riset operasional dan penerapannya di negara kita akan memerlukan kajian ilmiah lapangan pula. Kebijakan baru ini antara lain dalam bentuk pengobatan TB selama empat bulan dari tadinya enam bulan atau bahkan lebih, pentingnya memperluas skrining di masyarakat untuk meningkatkan penemuan kasus untuk dapat diobati dan memutus rantai penularan, upaya mendapatkan vaksin baru serta alat diagnosis baru dalam bentuk tuberculosis antigen-based skin test – ABST.
Selain itu juga banyak kajian tentang terapi pencegahan TB, penemuan kasus secara aktif, TB dan HIV, TB dan Diabetes Mellitus, TB pada anak, hubungan TB dan kebiasaan merokok serta integrasi kedua program ini agar pasien TB didukung untuk dapat berhenti merokok, dan lain-lain.
Dalam waktu dekat, mungkin akhir September atau di Oktober ini, akan dikeluarkan buku “Global TB Report 2022” dan akan kita lihat bagaimana data dan angka epidemiologi serta kinerja program pengendalian TB di negara kita, bersama dengan data negara-negara lain di dunia.
Dari draf awal buku ini nampaknya masih akan sangat banyak tantangan kita di waktu ke depan. Juga perlu disampaikan bahwa walaupun sekarang kita dalam pandemi Covid-19 tetapi TB tetap harus mendapat perhatian penting. Semoga kita semua dapat berupaya keras dan memberi peran masing-masing untuk Indonesia dapat lebih baik menangani tuberkulosis bagi kesehatan bangsa.
Baca Juga: koran-sindo.com
Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI / Guru Besar FKUI, Mantan Direktur WHO Asia Tenggara dan Mantan Dirjen P2P & Ka Balitbangkes
NEGARA kita masih menghadapi masalah besar tuberkulosis. Ada ratusan ribu kasus baru setahunnya dan puluhan ribu kasus TB kita meninggal setiap tahunnya. Diperlukan upaya keras dan peran banyak pihak untuk Indonesia dapat lebih baik dalam menangani tuberkulosis bagi kesehatan bangsa.
Pada 8-10 September 2022 di Bali diselenggarakan pertemuan internasional "the 4th Indonesia Tuberculosis International Meeting (INA-TIME)". Tema besar yang dipilih adalah “Readiness to Collaborate for TB Elimination“. Kita sudah ketahui bersama bahwa di tingkat dunia ada “Sustainable Development Goal (SDG)” yang juga sudah menyatakan target dunia untuk menghentikan epidemi tuberkulosis (bersama beberapa penyakit lain) pada 2030.
Di tingkat nasional, Presiden Jokowi dalam Peraturan Presiden No 67/2021 sudah mencanangkan untuk Indonesia eliminasi tuberkulosis (TB) pada 2030, delapan tahun dari sekarang, dengan target insiden (kasus baru) TB turun 90%. Dalam proses mencapai eliminasi TB di negara kita itu maka sudah ditetapkan juga target antara yang harusnya dapat di capai pada 2022, yaitu antara lain adalah penurunan insiden 20%, cakupan pengobatan 90%, angka kesembuhan 90% serta cakupan terapi pencegahan kontak serumah 48%.
Dalam pertemuan INA-TIME di Bali kali ini dibahas bahwa target antara 2022 itu tidak akan dapat tercapai pada akhir tahun ini, dan kenyataan ini tentunya menunjukkan perlunya upaya amat keras di tahun ini dan tahun-tahun mendatang agar eliminasi TB 2030 dapat tercapai. Untuk diketahui bahwa target antara yang harusnya di capai pada 2025 adalah insidensi TB turun 50%, cakupan pengobatan 90%, angka keberhasilan pengobatan 90% serta cakupan terapi pencegahan kontak serumah 70%.
Pengertian
Salah satu upaya yang baik dan perlu dilakukan untuk eliminasi tuberkulosis adalah dengan melakukan riset operasional yang baik. Riset operasional punya pengertian khusus, tidak hanya sebagai penelitian yang punya nilai ilmiah tinggi. Menurut dokumen tiga organisasi internasional yaitu Badan Kesehatan Dunia (WHO), “Stop TB Partnership” serta Global Fund AIDS, TB & Malaria dalam buku “Priorities in Operational Research to Improve Tuberculosis Care and Control” disebutkan bahwa riset operasional TB bertujuan untuk menghasilkan intervensi untuk memperbaiki kebijakan program pengendalian TB, desain dan implementasi sistem kesehatan yang lebih baik serta pemberian pelayanan kesehatan TB yang lebih efisien.
Artikel ilmiah di “Journal Tuberculosis and Lung Diseases” yang berjudul “Operational research to improve tuberculosis control:The scope, the need and way forward” menyebutkan tiga area riset operasional tuberkulosis. Pertama, memperbaiki kinerja program, kedua adalah menilai kelayakan, efektivitas dan dampak dari strategi baru program pengendalian TB, serta ketiga mengumpulkan bukti ilmiah untuk acuan rekomendasi kebijakan suatu intervensi spesifik yang baru.
Sementara itu, artikel lain berjudul “What is operational research and how can national tuberculosis programmes in low and middle income countries use it to end TB” yang dipublikasi di “Indian Journal of Tuberculosis” menyampaikan empat hal tentang riset operasional tuberkulosis. Pertama, mengakhiri TB di suatu negara memang memerlukan respons multisektoral dan juga intervensi tepat, tetapi riset operasional juga amat penting dilakukan.
Kedua, riset operasional punya peran penting untuk identifikasi masalah implementasi yang akan mungkin timbul, bagaimana latar belakangnya dan upaya mengatasinya. Ketiga, riset operasional akan dapat mengoptimasi implementasi program, memperbaiki kinerja program dan pada gilirannya akan berperan penting dalam eliminasi tuberkulosis. Keempat, penanggung jawab program penanggulangan TB di suatu negara perlu mengambil peran untuk mengintegrasikan dan membentuk budaya riset operasional dalam konteks penentu kebijakan publik secara keseluruhan dan juga masyarakat pada umumnya.
Area
Sedikitnya ada delapan area yang dapat dilakukan dalam riset operasional tuberkulosis. Ini meliputi aspek epidemiologi, klinik, ilmu dasar, sistem kesehatan, dampak pada program, intervensi kesehatan masyarakat, dampak sosio ekonomik dan juga hubungannya dengan kesiapan menghadapi pandemi (pandemic preparedness). Tentang metodologi bagaimana memulai suatu riset operasional tuberkulosis, maka baiknya dimulai dari proses persiapan yang meliputi cakupan dan proses yang akan dilakukan serta sensitisasi pada pemangku kepentingan yang terkait.
Lalu, dirumuskan ide riset operasional yang lebih jelas dan kemudian dilakukan penilaian / skoring untuk menilai prioritas ide yang ada. Kemudian dilakukan kompilasi, finalisasi dan juga prioritasi agenda riset oparasional yang akan dipilih. Untuk melakukan penilaian atau skoring dapat dipertimbangkan sedikitnya enam hal, yaitu relevansi di tingkat nasional / daerah, dampak kesehatan masyarakat, apakah memang perlu segera dilakukan (urgency), faktor ekuitas untuk berbagai pihak yang akan terkena dampak program, ketersediaan sumber daya serta analisa jenis kapasitas apa yang diperlukan.
Dalam perkembangannya, pada 2022 ini memang ada beberapa kebijakan global baru dalam hal tuberkulosis. Ini tentu dibuat berdasar riset operasional dan penerapannya di negara kita akan memerlukan kajian ilmiah lapangan pula. Kebijakan baru ini antara lain dalam bentuk pengobatan TB selama empat bulan dari tadinya enam bulan atau bahkan lebih, pentingnya memperluas skrining di masyarakat untuk meningkatkan penemuan kasus untuk dapat diobati dan memutus rantai penularan, upaya mendapatkan vaksin baru serta alat diagnosis baru dalam bentuk tuberculosis antigen-based skin test – ABST.
Selain itu juga banyak kajian tentang terapi pencegahan TB, penemuan kasus secara aktif, TB dan HIV, TB dan Diabetes Mellitus, TB pada anak, hubungan TB dan kebiasaan merokok serta integrasi kedua program ini agar pasien TB didukung untuk dapat berhenti merokok, dan lain-lain.
Dalam waktu dekat, mungkin akhir September atau di Oktober ini, akan dikeluarkan buku “Global TB Report 2022” dan akan kita lihat bagaimana data dan angka epidemiologi serta kinerja program pengendalian TB di negara kita, bersama dengan data negara-negara lain di dunia.
Dari draf awal buku ini nampaknya masih akan sangat banyak tantangan kita di waktu ke depan. Juga perlu disampaikan bahwa walaupun sekarang kita dalam pandemi Covid-19 tetapi TB tetap harus mendapat perhatian penting. Semoga kita semua dapat berupaya keras dan memberi peran masing-masing untuk Indonesia dapat lebih baik menangani tuberkulosis bagi kesehatan bangsa.
Baca Juga: koran-sindo.com
(bmm)