Hak Sipil Kaum Beragama

Selasa, 13 September 2022 - 11:54 WIB
loading...
Hak Sipil Kaum Beragama
Akh. Muzakki (Foito: Ist)
A A A
Akh. Muzakki
Rektor dan Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya

PENDIRIAN tempat ibadah kini ramai kembali. Kasus rencana pendirian tempat ibadah kaum nasrani di Cilegon di awal September 2022 ini memunculkan perdebatan di ruang publik. Perdebatan itu bahkan belakangan menjadi sengkarut publik yang berkepanjangan. Wali Kota dan MUI Cilegon, sebagai contoh, diberitakan media di antara pihak yang menolak pendirian tempat ibadah tersebut. Beberapa yang lain justru menyayangkan sikap penolakan dimaksud. Kementerian Agama, sebagai instansi negara yang dibentuk pemerintah untuk meregulasi dan mengadministasi birokrasi agama tentu tidak ketinggalan untuk menyelesaikan kasus tersebut.

Hanya, saya melihat, perdebatan yang berujung kegaduhan di atas bisa dikerangkai ke dalam dua madzhab sosial besar. Mazhab sosial pertama menarik persoalan kebijakan pengaturan pendirian tempat ibadah tersebut ke dalam urusan hak peribadatan individu warga. Penganut mazhab ini menolak pengaturan pendirian tempat ibadah, karena menganggap bahwa tempat ibadah itu bagian dari peribadatan, dan karena itu menjadi hak privat dan mengaturnya sama dengan membatasi hak privat-peribadatan warga. Atas dasar itu pula, para penganut mazhab ini cenderung menolak kebijakan Kementerian Agama dalam soal di atas.

Mazhab sosial kedua menarik isu pengaturan pendirian tempat ibadah di atas ke dalam urusan hak sipil, dan bukan hak privat-peribadatan. Berbeda dengan hak privat-peribadatan yang mengatur kebebasan setiap warga negara untuk menjalankan agama dan kepercayaannya sesuai dengan keyakinan yang dianutnya, hak sipil justru dibangun di atas kesamaan hak semua individu dalam mengakses dan mendapatkan layanan dari negara dalam kapasitasnya sebagai warga negara. Hak peribadatan diselenggarakan sebagai penunaian hak dasar individu, hak sipil berkaitan dengan tata hubungan bersama di ruang publik.

Hak sipil ini ada tanpa dibatasi oleh perbedaan dan atau kesamaan agama dan keyakinan yang dianut, atau latar belakang etnis dan ras yang dimiliki, atau bahkan kelas sosial ekonomi yang ditempati. Kesamaan hak sebagai warga negara ini baik berkaitan dengan hak untuk mendapatkan layanan pemerintah, hak mendapatkan pendidikan dan penghidupan yang layak, serta hak menggunakan fasilitas publik.

Para penganut mazhab sosial kedua di atas cenderung mengapresiasi pengaturan pendirian tempat ibadah untuk menjamin penunaian hak sipil secara setara pada setiap individu dari warga negara yang sangat beragam agama dan aliran keyakinannya, latar belakang sosiokulturalnya, serta bahkan pekerjaan dan usaha penghidupannya. Meski begitu, ekspresi apresiasinya terhadap pengaturan pendirian tempat ibadah tersebut tidak tunggal. Sebagian tampak ekspresif di ruang publik melalui berbagi saluran, termasuk kanal media sosial, dan sebagian sisanya cenderung “diam” nan tidak meluap.

Hanya saja, dalam pandangan para penganut mazhab sosial kedua di atas, pengaturan pendirian tempat ibadah oleh Kementerian Agama tidak dianggap mengurangi hak privat-peribadatan mereka sama sekali. Alih-alih, bahkan regulasi itu dimaknai positif untuk menjamin hak orang-orang yang tidak beribadah, beragama dan berkeyakinan yang sama agar bisa hidup dalam kenyamanan dan harmoni yang semestinya.

Memang jika ditelaah secara jernih, pengaturan pendirian tempat ibadah tidak dalam kapasitas dan pretensi untuk melakukan pembatasan hak privat-peribadatan, melainkan hanya meregulasi agar kepentingan setiap penganut agama bisa terjamin pemenuhannya. Kepentingannya agar semua warga negara sama-sama bisa mendapatkan kenyamanan dalam penunaian ibadah privat maupun ibadah sosial serta hak sipilnya.

Namun, semangat kebijakan publik di atas ditawar oleh kondisi literasi media publik yang masih tertatih-tatih (struggle). Lemahnya literasi media memicu cepatnya pemahaman publik untuk mengambil pemahaman dan kesimpulan sendiri terhadap substansi kebijakan tanpa pernah merasa perlu untuk melakukan pembacaan, apalagi telaah mendalam, terhadap subtansi kebijakan tersebut. Semakin menguatnya media sosial memperparah kecenderungan publik semacam ini.

Publik penting untuk memahami bahwa lepas dari insentif yang dimiliki sebagai salah satu pilar kontrol sosial, media sosial tidak pernah bisa lepas dari energi dan kerja manipulatif yang melekat pada dirinya. Fisik buruk bisa dimanipulasi menjadi kesan cantik. Kulit berwarna bisa dimanipulasi menjadi kulit putih. Tubuh tidak ideal bisa diatur untuk tampil seakan sebagai penganut mazhab body goals yang mengangungkan bentuk dan ukuran tubuh ideal.

Di era keterbukaan informasi, perdebatan mengenai pengaturan tempat ibadah sebagai hak privat-peribadatan dan hak sipil tidak selalu bisa segera diselesaikan dengan menempatkan substansi regulasi itu ke dalam ranah yang sesungguhnya, yakni kebijakan pubik. Itulah yang menjadi tantangan para pejabat publik yang berurusan dengan kewenangan untuk mengatur keseimbangan antara hak privat-peribadatan dan hak sipil di era menyeruaknya realitas virtual (virtual realities) oleh kemajuan teknologi informasi berbasis masyarakat.

Bagi para pemangku kewenangan publik, menghadapi kontroversi hebat yang dapat berujung pada kegaduhan adalah bagian dari konsekuensi logis dari pemangkuan jabatan publik di era keterbukaan informasi yang pada titik tertentu tidak bisa dikontrol oleh siapa pun karena mekanisme pasar berlaku secara kuat. Tapi, bagi kita semua para warga bangsa, penting untuk memahami bahwa perbedaan apapun yang muncul karena faktor primordialisme dan atau sektarianisme harus dicarikan titik keseimbangannya melalui kebijakan publik.

Tidak perlu muncul kecenderungan yang disinyalir oleh seorang ilmuwan bernama Wertheim, majority with minority mentality (mayoritas dari sisi jumlah tapi minoritas dalam hal mental sosialnya). Kecenderungan ini muncul akibat kuatnya cengkeraman perasaan berada di bawah incaran dan ancaman kelompok sosial selainnya (under-siege mentality). Sebaliknya pula, tidak seharusnya muncul kecenderungan bahwa hak sipil kelompok tertentu tertawan oleh kelompok selainnya akibat perasaan tertekan (under-pressure mentality) sebagai kelompok minoritas.

Di sinilah negara penting hadir untuk melakukan penjaminan hak semua warga negara secara sama di hadapan hukum, baik terkait dengan hak privat-peribadatan maupun hak sipil. Sebagai turunan dari kewenangan publik, kebijakan pemerintah harus bisa menjamin keseimbangan hidup bersama seluruh warga negara. Pada titik inilah, hak sipil kaum beragama penting diregulasi disertai dengan penjaminan yang setara dan seimbang oleh negara.

Baca Juga: koran-sindo.com
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1322 seconds (0.1#10.140)