Dilema Penghapusan Tenaga Honorer
loading...
A
A
A
Ferio Pristiawan Ekananda
ASN Pemprov Gorontalo
Belakangan ini Pemerintah Pusat melalui Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) mewanti-wanti seluruh Instansi Pusat maupun Pemerintah Daerah (Pemda) untuk segera menghapus jenis kepegawaian, selain pegawai negeri sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) di lingkungan instansi masing-masing. Kementerian PANRB juga melarang perekrutan pegawai non-ASN.
Hal ini merujuk pada ketentuan Pasal 99 ayat (1) Peraturan Pemerintah No 49/2018 tentang Manajemen PPPK yang diundangkan pada 28 November 2018, bahwa pada 28 November 2023 atau 5 (lima) tahun sejak diundangkan, tidak ada lagi pegawai non-ASN selain PNS dan PPPK. Sehingga, tenaga honorer/kontrak dan sejenisnya tidak boleh lagi ada di instansi pemerintah.
Dampak lahirnya UU No 5/2014 tentang ASN mengakibatkan beberapa perubahan fundamental dalam birokrasi di Indonesia. Dalam UU tersebut sudah tidak dikenal lagi istilah honorer atau tenaga kontrak atau pegawai tidak tetap. Disebutkan dalam Pasal 6 UU ASN, hanya ada dua jenis ASN PNS dan PPPK.
Kedua jenis ASN tersebut berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang memiliki peran masing–masing di dalam birokrasi. PPPK dapat mengisi jabatan pimpinan tinggi dan jabatan fungsional, sedangkan PNS dapat mengisi seluruh jabatan di birokrasi.
Oleh sebab itu, diperlukan penataan ASN yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan agar tidak terjadi menjadi masalah di kemudian hari.
Mantan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Freddy Numberi pernah mengatakan (2016), selama ini kecenderungan pengangkatan tenaga honorer dilakukan oleh Pemda. Namun kemudian masalah tenaga honorer dibebankan ke Pemerintah Pusat. Berdasarkan pengamatannya, banyak kepala daerah mengangkat tenaga honorer yang merupakan anggota keluarga atau anggota tim suksesnya pada saat kampanye pilkada.
Hal senada juga diungkapkan Azwar Abubakar (2016), yang semasa menjabat sebagai Menteri PANRB banyak berhubungan dengan urusan tenaga honorer, baik kategori 1 maupun kategori 2. Dia juga menilai keberadaan honorer Kategori 2 (pegawai yang penghasilannya tidak dibiayai APBN/APBD) sudah selesai setelah dilakukannya tes pada 2013 silam.
Karena itu, Azwar mengingatkan, Pemerintah Pusat tidak harus menerima tindakan yang dilakukan oleh pejabat daerah, yang telah melakukan rekrutmen terhadap tenaga honorer.“Honorer ini kan dosa dari pejabat daerah, tetapi dosanya dilimpahkan ke pusat”(Humas Menpan RB, 2016).
Lantas bagaimana nasib tenaga honorer selanjutnya? Apakah masih bisa diangkat menjadi ASN? Jawabannya bisa. Namun dengan mempertimbangkan kebutuhan dan kemampuan keuangan negara. Selain itu, honorer juga harus melalui serangkaian proses rekrutmen CASN, yaitu melalui seleksi administrasi dan ujian tulis.
ASN Pemprov Gorontalo
Belakangan ini Pemerintah Pusat melalui Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) mewanti-wanti seluruh Instansi Pusat maupun Pemerintah Daerah (Pemda) untuk segera menghapus jenis kepegawaian, selain pegawai negeri sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) di lingkungan instansi masing-masing. Kementerian PANRB juga melarang perekrutan pegawai non-ASN.
Hal ini merujuk pada ketentuan Pasal 99 ayat (1) Peraturan Pemerintah No 49/2018 tentang Manajemen PPPK yang diundangkan pada 28 November 2018, bahwa pada 28 November 2023 atau 5 (lima) tahun sejak diundangkan, tidak ada lagi pegawai non-ASN selain PNS dan PPPK. Sehingga, tenaga honorer/kontrak dan sejenisnya tidak boleh lagi ada di instansi pemerintah.
Dampak lahirnya UU No 5/2014 tentang ASN mengakibatkan beberapa perubahan fundamental dalam birokrasi di Indonesia. Dalam UU tersebut sudah tidak dikenal lagi istilah honorer atau tenaga kontrak atau pegawai tidak tetap. Disebutkan dalam Pasal 6 UU ASN, hanya ada dua jenis ASN PNS dan PPPK.
Kedua jenis ASN tersebut berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang memiliki peran masing–masing di dalam birokrasi. PPPK dapat mengisi jabatan pimpinan tinggi dan jabatan fungsional, sedangkan PNS dapat mengisi seluruh jabatan di birokrasi.
Oleh sebab itu, diperlukan penataan ASN yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan agar tidak terjadi menjadi masalah di kemudian hari.
Mantan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Freddy Numberi pernah mengatakan (2016), selama ini kecenderungan pengangkatan tenaga honorer dilakukan oleh Pemda. Namun kemudian masalah tenaga honorer dibebankan ke Pemerintah Pusat. Berdasarkan pengamatannya, banyak kepala daerah mengangkat tenaga honorer yang merupakan anggota keluarga atau anggota tim suksesnya pada saat kampanye pilkada.
Hal senada juga diungkapkan Azwar Abubakar (2016), yang semasa menjabat sebagai Menteri PANRB banyak berhubungan dengan urusan tenaga honorer, baik kategori 1 maupun kategori 2. Dia juga menilai keberadaan honorer Kategori 2 (pegawai yang penghasilannya tidak dibiayai APBN/APBD) sudah selesai setelah dilakukannya tes pada 2013 silam.
Karena itu, Azwar mengingatkan, Pemerintah Pusat tidak harus menerima tindakan yang dilakukan oleh pejabat daerah, yang telah melakukan rekrutmen terhadap tenaga honorer.“Honorer ini kan dosa dari pejabat daerah, tetapi dosanya dilimpahkan ke pusat”(Humas Menpan RB, 2016).
Lantas bagaimana nasib tenaga honorer selanjutnya? Apakah masih bisa diangkat menjadi ASN? Jawabannya bisa. Namun dengan mempertimbangkan kebutuhan dan kemampuan keuangan negara. Selain itu, honorer juga harus melalui serangkaian proses rekrutmen CASN, yaitu melalui seleksi administrasi dan ujian tulis.