Komaruddin Hidayat dan Burung Terbang

Rabu, 01 Juli 2020 - 20:54 WIB
loading...
Komaruddin Hidayat dan...
Media Zainul Bahri
A A A
Media Zainul Bahri
Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta, Alumni Alexander von Humboldt Stiftung Jerman

ERA1990-an adalah masa masa “hijau” intelektual Muslim Indonesia naik panggung. Dari sisi publisitas dan popularitas, semua mata memang tertuju kepada Abdurrahman Wahid, Nurcholish Madjid, Harun Nasution, atau Amin Rais. Tetapi, tokoh-tokoh “intelektual Ciputat” yang lain seperti Fachry Ali, Din Syamsudin, Azyumardi Azra, Bachtiar Efendi, Kautsar Azhari Noer, dan tentu saja Komaruddin Hidayat (saya singkat KH) juga aktif tampil mewarnai nuansa Islam Indonesia. Pada sekitar 1996, KH, yang sudah cukup dikenal saat itu, menerbitkan buku terbarunya “Memahami Bahasa Agama” hasil riset di Kanada. Buku tentang Hermeneutik dan relevansinya dengan Islam Indonesia. Saat itu, kajian Hermeneutik belum ramai. Dalam konteks ini, KH bisa disebut sebagai salah seorang pelopor yang orisinal (dalam arti membuat buku sendiri, bukan menerjemahkan) dalam mengkampanyekan Hermeneutik pada studi Islam. Kami, anak-anak mahasiswa Muslim menikmati buku itu. Artikel-artikel KH terus bermunculan di media massa dan jurnal-jurnal ilmiah. Ia konsen mengulas tema-tema keislaman, kebangsaan, dan kemanusiaan di bawah terang filsafat agama, yang menjadi keahliannya.

Pada tahun 2000 saya memulai kuliah di Pascasarjana IAIN Jakarta. Beruntung bertemu kembali dengan KH. Ia mengajar kami dua semester: Filsafat Barat dan Filsafat Agama. Cara mengajarnya “khas”. Ia tidak mau terlalu mengikuti silabus. Silabus yang bagus menurutnya adalah tema-tema aktual yang saat itu sedang hangat dibicarakan, baik di dunia akademik mauipun di masyarakat, kemudian bagaimana teori-teori Filsafat Agama atau Barat dipakai sebagai “pisau bedah” mengulas tema-tema itu. Lalu model kedua adalah, setiap masuk kelas KH selalu membawa buku-buku baru tebal tentang Filsafat Agama dan Barat. Buku-buku itu didiskusikan. Dengan dua model itu, kuliah jadi “hidup, bergairah dan mutakhir”. Filsafat tidak jadi beban bagi kami, dan tidak jadi kajian rumit, dengan kening berkerut karena istilah-istilah yang njlimet. Filsafat jadi menyenangkan. Filsafat adalah memandang realitas konkret dengan cara yang lain. Kelihatannya KH tidak terlalu menyukai diskusi “too historical” atau “too philosophical” yang tidak terkait dengan realitas kita atau yang tidak merefleksikan kehidupan kita. Filsafat harus “down to earth”, begitu kira-kira.

Kemudian, KH mengajari kami cara menulis. Saya masih ingat, ketika teman kami presentasi paper, KH mengkritik: “menulis itu jangan seperti pidato pejabat! Normatif, kering, tidak hidup”. Menurutnya, tulisan yang bagus harus mengandung dua hal. Pertama, harus ada ruh. “Tulisan itu harus punya ruh, sehingga hidup, berdenyut, bergerak, bukan kering dan mati”, begitu KH menegaskan. Kedua, “tulisan itu harus punya sayap seperti burung, bisa terbang”, KH menggoyang-goyang tangannya meniru seperti burung terbang. “Tulisan itu harus terbang, berkelana, mengembara. Si penulis harus punya imajinasi yang luas dan horison yang terbuka, terbang tapi mata tajam seperti burung”, KH terlihat serius mendiskusikan ini. Kami langsung teringat kepada semua tulisan KH. Memang ciri khasnya adalah reflektif dan imajinatif. Tulisan-tulisannya serasa hidup, bergerak, terbang, seringkali memakai cerita-cerita dan metafor untuk menyampaikan pesan pokoknya. KH tidak terikat pakem. Apa yang ada di pikiran dan imajinasinya, itu yang ia tulis.

Setelah menggondol “Doktor” dari satu universitas swasta ternama di Ankara, Turki pada 1990, segera saja KH tampil sebagai intelektual Muslim yang mengisi kolom-kolom media massa, majalah, seminar dan tampil di TV menyuarakan “Islam intelektual” ala kaum modernis. Hanya butuh 10 tahun setelah kepulangannya dari Turki, media massa dan TV nasional menjulukinya sebagai “cendekiawan Muslim” dan sudah siap menggantikan peran Nurcholish Madjid “sang cendekiawan Muslim sejati” yang sudah mulai udzur karena penyakit fisik. Sepanjang karir kecendekiawanannya dan menjadi Rektor UIN Jakarta dua periode (2006-2010, 2010-2015) saya mengamati KH sebagai intelektual Muslim Indonesia yang konsisten dengan isu-isu Islam progresif, pluralisme Indonesia dan pembelaannya terhadap kelompok-kelompok keagamaan minoritas. KH tidak takut jabatannya “didongkel” sebagai Rektor ketika ia membela Ahmadiyah dan Syiah di media massa nasional. Ia bergeming dan tetap pada komitmennya yang tunduk pada kebenaran ilmiah, kenyataan kemajemukan Indonesia dan kemahamutlakkan Allah: hanya Allah yang maha mutlak benar.

Islam dalam Asuhan Tradisi Indonesia
Di ujung Ramadhan 2018 saya diundang ke rumahnya untuk buka puasa bersama, yang kemudian dilanjutkan dengan “Pengajian Ramadhan Komunitas Lingkar Semanggi”. Dalam kesempatan itu, KH menyatakan kepada saya bahwa “kita semua adalah anak kandung tradisi”. Anak bayi terlahir dijemput tradisi dan tumbuh dalam asuhan tradisi. Yang paling sederhana adalah bahasa dan makanan sehari-hari pasti mengikuti tradisi dan kultur tempat kita tinggal dan tumbuh berkembang. Menurut KH, ia dibentuk oleh tradisi: ia adalah produk tradisi, termasuk tradisi keagamaan. KH lahir di Magelang pada 1953, dan karenanya kental dengan budaya Jawa. Menurut KH, Jika ada yang mengkampenyekan kembali kepada al-Quran dan Sunnah, kita semua berusaha melakukan itu. Tetapi bagi KH, betapa pun memori dan rekaman seseorang, pasti ia dibentuk oleh tradisi. KH mengatakan “Tradisi religius saya malah dekat dengan budaya Jawa, semacam Islam akomodatif, tetapi bukan abangan. Islam yang menghargai ekspresi budaya lokal. Tentu saja soal akidah dan tawhid tetap murni. Tetapi ada ekspresi-ekspresi budaya, misalnya selametan, nah saya tumbuh dalam budaya itu. Slametan 3, 7 atau 40 hari dan Yasinan bagi orang meninggal adalah tradisi keluarga dan budaya saya.”

Terkait hubungan agama dan tradisi itu, KH mengembangkan apa yang disebut “universalitas” dan “partikularitas”. Islam misalnya, sebagaimana Yahudi dan Kristen, diyakini “turun” dari Allah. Ajarannya bersifat universal. Tetapi wahyu Allah dalam Islam misalnya, ketika turun memasuki pelataran sejarah, maka pasti akan terkena kaidah-kaidah sejarah yang bersifat kultural-empiris. Bahasa Al-Quran bersifat partikular, harus berbahasa Arab karena “turun” dalam komunitas Arab, tetapi pesannya bersifat universal karena ditujukan kepada seluruh manusia. Agama akan bergerak dan tumbuh melalui wadah kultural, sehingga pada gilirannya akan muncul “kultur” dan “simbol” dengan ciri dan nilai agama. Meski demikian, menurut KH, apa yang disebut kultur dan tradisi tidak statis, tetapi berkembang, seolah punya kaki dan sayap untuk memperluas horizon dan batasnya, sehingga akan sampai pada kondisi “perjumpaan antara simpul-simpul tradisi yang berbeda”. Islam yang sama dengan Al-Quran yang sama, tetapi dalam konteks tradisi dan kultur yang beragam akan menghasilkan tafsir yang beragam. KH menyebut istilah yang dibuat Gadamer “the fusion of horizons”: tak ada rumah tradisi yang statis. Selalu ada perkembangan, perubahan, pengayaan dan juga krisis. Orang yang Bahasa ibunya adalah Bahasa Arab dan Bahasa Indonesia, pasti berbeda penghayatannya ketika membaca Al-Quran yang sama. Hubungan trialektika antara agama, tradisi dan filsafat adalah diskursus yang paling digemari KH. Pidato pengukuhan Gurubesarnya ia beri judul “Ketika Agama Menyejarah”. Lalu terbit bukunya pada 2003 diberi judul dengan semangat yang sama: “Wahyu di langit, wahyu di bumi”. Pada 2018 kembali muncul karyanya juga dengan judul “Iman yang menyejarah”.

Iman (yang) Emansipatoris dan Iman (yang) Tak Kreatif
Menurut KH, saat ini kaum Muslim terutama di Indonesia kesulitan beradaptasi dengan perkembangan zaman yang sangat cepat. Mereka tidak berdaya karena secara ekonomi lemah, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi payah, pendidikan terbelakang, sementara kekuasaan negara dan lembaga-lembaga dunia seolah-olah tidak berpihak kepada mereka. Alhasil, sebagian mereka menunjukkan sikap reaktif reaksioner yang terkadang tampak berlebihan sebagai wujud kegagapan dalam merespons. Sebagai mayoritas, umat Islam Indonesia tampaknya mengalami inferioritas dalam pergulatan bersama orang lain. Dalam istilah psikologi, nuansa batin ini disebut sebagai inferiority complex. Di Indonesia, karena kondisi kejiwaan tersebut dialami oleh mayoritas, kita bisa menyebutnya sebagai inferiority complex of majority.

Umat Islam Indonesia sebagai mayoritas di negeri ini mengalami kondisi psikologis merasa inperior, lemah, lebih rendah, subordinat atau kalah dibanding pihak lain. Karena itu, tampak sekali umat Islam sangat reaksioner dalam menanggapi banyak persoalan dan diskursus di ruang publik. Sebagai konpensasinya, mereka membangun rasa percaya diri dengan cara berkerumun, bergerombol, dan mengandalkan massa untuk menunjukkan jargon mayoritas. Paguyuban atau gerombolan umat Islam semakin menjamur terutama saat memasuki musim politik. Seolah-olah muslim Indonesia membutuhkan kolektivitas untuk berhadapan dengan kekuatan dominan. Umat Islam tampak cepat tersinggung, marah, dan takut, misalnya ketika agamanya tersindir atau dikritik. Padahal, umat Islam percaya bahwa agamanya yang paling otentik dan paling sempurna. Kondisi semacam ini sebenarnya sangat mengherankan, karena dengan kepercayaan seperti itu, mereka seharusnya tak perlu merasa terancam. Keadaan merasa terancam, cepat marah, atau sebaliknya, memuji berlebihan seorang tokoh atau budaya lain sebenarnya menunjukkan kondisi iman dan batinnya yang rapuh dan tidak percaya diri.

Kondisi kejiwaan inferior ini pada gilirannya melahirkan paham keagamaan yang konservatif dan radikal. Karena gagap menghadapi modernitas, umat Islam berupaya mencari selimut ketenangan dengan memuja kegemilangan masa lampau pada masa Nabi Muhammad, dan masa khilafah. Ideologi politik khilafah kemudian terus dikampanyekan. Masa-masa kejayaan Islam itu diulang-ulang hanya sebagai penenang batin. Pasalnya, umat Islam belum siap terlibat dalam pengayaan peradaban dunia, terutama di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemunduran di berbagai bidang ini membuat umat Islam mengalami demoralisasi dahsyat. Inilah iman yang tak berdaya, yakni ketika iman tak berhasil memberi efek pada pengayaan peradaban dan kehidupan pemeluknya. Inferioritas dan paham keagamaan yang rapuh, jumud, dan penuh teror adalah implikasi dari iman yang tak berdaya itu. Pada masa lampau, ketika unggul dalam peradabannnya, sikap umat Islam adalah sikap umat yang unggul. Umat Islam tidak pernah kehilangan jati dirinya, punya kepercayaan diri, bebas dari rasa takut dan terancam, serta tidak pernah khawatir dari golongan lain. Tapi, konteks dan tantangan masa lampau tidak sama dengan masa kini. Saat ini kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak bisa dihadapi hanya dengan konsep khilafah atau jargon-jargon kegemilangan masa lalu umat Islam. Saat ini konteksnya sudah jauh berbeda dengan masa lalu.

Menurut KH, untuk keluar dari sikap mental inferiority complex, kaum muslim Indonesia harus mengembangkan iman yang emansipatoris, iman yang kreatif, iman yang rasional. Model iman ini terdiri atas dua hal pokok. Pertama, keyakinan bahwa Islam adalah agama yang sangat maju dan progresif. Tesis Robert N. Bellah masih relevan untuk diingat. Tesis itu menjelaskan bahwa ajaran Islam sangat maju, bahkan terlalu maju untuk ukuran zamannya. Sehingga di bawah Nabi Muhammad, masyarakat Arab berhasil membuat lompatan jauh. Tetapi menurut Bellah, aspek ini tidak didukung oleh prasarana yang memadai pada masanya, sehingga setelah Nabi Muhammad wafat, masyarakat Arab kembali kepada organisasi sosial pra-Islam. Dari sisi pemikiran sosial, Nabi Muhammad sudah menciptakan piagam Madinah yang mengandung pokok-pokok pikiran yang sangat mengagumkan. Gagasan-gagasan modern tentang penghormatan terhadap pluralisme, hak asasi manusia, kebebasan beragama, kemerdekaan hubungan ekonomi antar golongan, serta kaidah-kaidah bernegara justru sudah termuat dalam dokumen tersebut yang tak pernah dikenal sebelumnya. Semangat dokumen ini, sekali lagi spiritnya--- kini harus direkonstruksi dalam konteks dunia modern yang sangat kompleks. Kedua, seperti analisis Bellah di atas, umat Islam sekarang harus kreatif menciptakan pranata-pranata sosial baru seperti lembaga pendidikan, penelitian, keuangan, hukum, birokrasi pemerintahan, hingga kekuatan militer, tapi dalam konteks dunia modern, bukan dalam bentuk khilafah seperti masa lalu. Jadi, menggunakan daya nalar, mengambil spirit ajaran Nabi Muhammad yang sangat modern, dan membuat pranata-pranata sosial yang kreatif itulah tawaran umat Islam modern sebagai wujud dari iman yang emansipatoris.

Harus Terlibat dalam Dunia Global
KH menyadari betul bahwa kaum Muslim harus terlibat ikut mengembangkan peradaban pada tingkat global. Umat Islam harus mendunia, begitu kira-kira. Ketika menjadi Rektor, langkah pertama yang harus dibuat adalah mengubah logo UIN, dari model lama ke model baru yang melambangkan dunia (globe). Ini harus dibaca sebagai “upaya simbolik” bahwa Lembaga Pendidikan tinggi Islam Indonesia memang harus “mendunia”. Upaya mengubah logo itu awalnya mengundang polemik dan pro-kontra. KH dituduh, oleh sebagian pengkritiknya, telah menghilangkan kata “Al-Quran al-Karim” dari logo yang lama. Upaya KH dianggap artifisial. Tetapi dengan kesabaran dan ketekunan menjelaskan, akhirnya KH berhasil meyakinkan para Gurubesar dan sivitas akademika UIN Jakarta bahwa tak ada yang hilang dari “Islam” UIN Jakarta. Justru Islam adalah ruhnya. Langkah berikutnya, KH dengan bersemangat mendorong dosen-dosen untuk kuliah di luar negeri, mengikuti workshop, short course, seminar dan konferensi-konferensi tingkat dunia agar UIN Jakarta dikenal. Saya merasa beruntung dengan program-program itu, dan bisa berkeliling ke banyak negara di Eropa dan Asia untuk kegiatan akademik.

Kini KH dan timnya, sedari awal, menggagas pendirian Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII). Malaysia dan Pakistan saja sudah lama memiliki universitas Islam internasional, mengapa Indonesia, dengan penduduk Muslim terbesar dunia, tidak mampu membuat hal yang sama? “Ini juga menyangkut harga diri bangsa”, begitu kira-kira KH menyampaikan kegundahannya di tengah banyak kritik tertuju atas proyek ambisius UIII itu. Sarana dan pra-sarana sudah siap. Sebentar lagi Universitas Islam Internasional Indonesia itu segera beroperasi. Dan KH, cendekiawan Muslim Indonesia, yang selalu tampil segar, perlente dan seorang “mubaligh” dengan intonasi suaranya yang khas, sudah meletakkan “ruh” dan “sayap”nya agar Islam Indonesia terbang mendunia.
(ras)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2569 seconds (0.1#10.140)