Antara Floyd, Sambo, dan Pasien Rumah Sakit
loading...
A
A
A
Iqbal Mochtar
Pengurus PB IDI dan PP IAKMI, Ketua Perhimpunan Dokter Indonesia Timur Tengah
DUA tahun lalu, pemuda berkulit hitam George Floyd dibantai di tengah jalan di Minneapolis, Amerika Serikat. Pembunuhnya seorang polisi. Dengan tangan terborgol dan tertelungkup di jalan, leher Floyd ditindih keras dengan lutut. Dia ditindih selama bermenit-menit, padahal Floyd sudah memohon dan mengiba, “Saya tidak bisa bernapas, saya tidak bisa bernapas!”. Tapi sang polisi tetap saja menindih lehernya dengan lutut tanpa rasa kemanusiaan. Hingga akhirnya Floyd kehabisan napas, benar-benar tewas di jalanan, tepat di tempatnya bermohon dan mengiba.
Satu nyawa melayang. Kontan Amerika Serikat membara. Terjadi demonstrasi besar-besaran di seantero negeri. Banyak pembakaran dan perusakan fasilitas. Bukan hanya di Minneapolis tetapi seluruh state Amerika Serikat. Bahkan, aksi protes dan demo berlangsung hingga berbulan-bulan lamanya. Polisi dihujat habis-habisan; kantornya di Minneapolis sempat ditutup lama. Ini kisah bagaimana satu nyawa hilang memicu kerusuhan luas dan hebat.
Kisah senada Floyd sedang terjadi di Indonesia. Seorang anggota kepolisian bernama Brigadir J dibantai di dalam rumah polisi. Pembantainya juga seorang anggota polisi. Informasi yang beredar, Brigadir J dibantai dalam keadaan berlutut sambil rambutnya dijambak. Dia juga sempat mengiba, memohon maaf dan meminta agar tidak ditembak. Tapi pembunuhnya sudah kalap. Pistol ditembakkan dari jarak dekat ke tengkoraknya.
Pelurunya menembus hingga ke otak dan wajah korban yang tidak berdaya. Darah berceceran. Satu nyawa melayang. Sesudah itu pembunuhnya menciptakan skenario seolah-olah Brigadir J bersalah dan tewas dalam kejadian tembak menembak dengan salah seorang rekannya sesama ajudan. Sejumlah oknum polisi ikut mem-back up skenario palsu itu.
Kontan Indonesia ribut. Kasus ini di-blow up habis-habisan oleh media massa. Kegaduhan juga terjadi di media sosial yang menyorot kejadian yang dinilai banyak kejanggalan. Sudah lebih sebulan kasus ini menjadi headline surat kabar, media sosial, radio dan televisi. Kasus ini membuat rating media sangat meroket. Tiada hari, tiada jam tanpa memberitakan kejadian ini. Saat digelar rekonstruksi di tempat kejadian perkara, sejumlah stasiun televisi swasta menyiarkan prosesnya secara langsung.
Atas peristiwa ini, image instituisi Polri langsung nyungsep. Satu nyawa melayang, satu Indonesia heboh. Bahkan hingga kini.
Flashback ke kejadian tahun lalu. Di Rumah Sakit (RS) Sardjito Yogyakarta, dalam satu hari saja ada 63 pasien yang dirawat meninggal dunia. Penyebabnya adalah keterlambatan pasokan oksigen. Padahal pasien lagi membutuhkannya. Beritanya sempat dibahas media 1-2 hari saja; setelah itu menghilang. Padahal ini kisah 63 nyawa hilang bersamaan; mestinya menjadi sebuah berita sangat serius.
Beberapa hari lalu, RS Jiwa Solo kebakaran. Dua orang tewas dan dua lainnnya menderita luka bakar berat. Dua nyawa melayang dalam insiden tersebut. Ini juga seharusnya berita penting. Tapi tidak ada kehebohan di media. Berita kebakaran tidak terekspose luas. Tengggelam oleh berita polisi membunuh polisi.
Selain kematian akibat insiden, rumah sakit memang menjadi tempat “lumrah” lepasnya nyawa manusia. Setiap hari, ratusan orang mati dirumah sakit. Tapi tidak ada kehebohan. Tidak ada berita bombastis. Paling yang menemani dan menjadi saksi peregangan nyawa pasien adalah keluarga, dokter dan perawat. Tidak ada liputan televisi. Setelah mati, what next? Case closed. Nobody care. Dunia kembali berjalan sebagaimana mestinya.
Mengapa satu nyawa yang melayang pada kasus Floyd dan Brigadir J bisa memantik kehebohan luar biasa, sementara kematian demi kematian yang terjadi di rumah sakit tidak banyak dilirik, terutama oleh media massa?
Semua sepakat bahwa nyawa adalah ultimate possesion of human. Milik manusia yang sangat berharga. Nyawa membedakan seorang bergerak atau tidak, hidup atau tidak, bermanfaat atau tidak. Makanya, nyawa menjadi indikator amat krusial dalam setiap aspek kehidupan. Kalau prinsip ini yang dipegang, kehilangan banyak nyawa tentu lebih devastating dari kehilangan satu nyawa.
Namun fakta di kehidupan riil berbeda. Nyawa memang tetap penting bagi masyarakat. Tapi yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana kisah nyawa itu melayang. Apakah mengandung kausa luar biasa atau biasa-biasa saja. Kalau kausa dan proses melayangnya nyawa tidak lukratif alias biasa-biasa saja, masyarakat tidak menganggapnya berita penting. Makanya, ratusan nyawa melayang di rumah sakit tidak menjadi headline. Apalagi masyarakat tahu kalau rumah sakit memang tempatnya orang sakit dan salah satu ending sakit adalah kematian. Jadi nyawa melayang dianggap elemen natural progression of diseases. Sebuah elemen perjalanan natural penyakit. Bila ini sesuatu yang natural, mengapa mesti heboh-heboh?
Lain kalau proses melayangnya nyawa mengandung kisah luar biasa. Mengandung plot-plot cerita yang bisa mengobok-obok sisi psikologis manusia. Memiliki alur cerita yang menimbulkan misteri, mengandung motif yang mengutak-atik ranah berpikir manusia, atau mengandung deviasi signifikan dari kewajaran. Semakin lebar sisi misteri, motif dan deviasinya, semakin menggungah ranah psikologis manusia untuk terus ingin tahu. Mereka merasa terikut dalam kisah dan membangun self-opinion dan self-imagination terkait kasus. Aspek kognitifnya tertantang. Ada keterlibatan psikologis yang hebat. Seolah menonton sinetron berseri yang belum bisa ditebak endingnya.
Mereka tersihir; selaksa berhadapan dengan kisah-kisah Sherlock Holmes. Makanya jangan heran ada yang tidak beranjak dari televisi berjam-jam setiap hari saat kisah Floyd dan Brigadir J merebak. Masyarakat tidak terlalu galau oleh berapa jumlah nyawa yang melayang, tetapi tersihir oleh motif, proses dan alur cerita melayangnya nyawa. Lebih antusias mengikuti plot demi plot dalam kasus daripada ending kasus.
Masyarakat tampaknya mempraktikkan sebuah prinsip indah : travel is about the journey, not the destination. Dalam perjalanan, yang krusial bukanlah tujuan tetapi proses perjalanan itu sendiri.
Baca Juga: koran-sindo.com
Pengurus PB IDI dan PP IAKMI, Ketua Perhimpunan Dokter Indonesia Timur Tengah
DUA tahun lalu, pemuda berkulit hitam George Floyd dibantai di tengah jalan di Minneapolis, Amerika Serikat. Pembunuhnya seorang polisi. Dengan tangan terborgol dan tertelungkup di jalan, leher Floyd ditindih keras dengan lutut. Dia ditindih selama bermenit-menit, padahal Floyd sudah memohon dan mengiba, “Saya tidak bisa bernapas, saya tidak bisa bernapas!”. Tapi sang polisi tetap saja menindih lehernya dengan lutut tanpa rasa kemanusiaan. Hingga akhirnya Floyd kehabisan napas, benar-benar tewas di jalanan, tepat di tempatnya bermohon dan mengiba.
Satu nyawa melayang. Kontan Amerika Serikat membara. Terjadi demonstrasi besar-besaran di seantero negeri. Banyak pembakaran dan perusakan fasilitas. Bukan hanya di Minneapolis tetapi seluruh state Amerika Serikat. Bahkan, aksi protes dan demo berlangsung hingga berbulan-bulan lamanya. Polisi dihujat habis-habisan; kantornya di Minneapolis sempat ditutup lama. Ini kisah bagaimana satu nyawa hilang memicu kerusuhan luas dan hebat.
Kisah senada Floyd sedang terjadi di Indonesia. Seorang anggota kepolisian bernama Brigadir J dibantai di dalam rumah polisi. Pembantainya juga seorang anggota polisi. Informasi yang beredar, Brigadir J dibantai dalam keadaan berlutut sambil rambutnya dijambak. Dia juga sempat mengiba, memohon maaf dan meminta agar tidak ditembak. Tapi pembunuhnya sudah kalap. Pistol ditembakkan dari jarak dekat ke tengkoraknya.
Pelurunya menembus hingga ke otak dan wajah korban yang tidak berdaya. Darah berceceran. Satu nyawa melayang. Sesudah itu pembunuhnya menciptakan skenario seolah-olah Brigadir J bersalah dan tewas dalam kejadian tembak menembak dengan salah seorang rekannya sesama ajudan. Sejumlah oknum polisi ikut mem-back up skenario palsu itu.
Kontan Indonesia ribut. Kasus ini di-blow up habis-habisan oleh media massa. Kegaduhan juga terjadi di media sosial yang menyorot kejadian yang dinilai banyak kejanggalan. Sudah lebih sebulan kasus ini menjadi headline surat kabar, media sosial, radio dan televisi. Kasus ini membuat rating media sangat meroket. Tiada hari, tiada jam tanpa memberitakan kejadian ini. Saat digelar rekonstruksi di tempat kejadian perkara, sejumlah stasiun televisi swasta menyiarkan prosesnya secara langsung.
Atas peristiwa ini, image instituisi Polri langsung nyungsep. Satu nyawa melayang, satu Indonesia heboh. Bahkan hingga kini.
Flashback ke kejadian tahun lalu. Di Rumah Sakit (RS) Sardjito Yogyakarta, dalam satu hari saja ada 63 pasien yang dirawat meninggal dunia. Penyebabnya adalah keterlambatan pasokan oksigen. Padahal pasien lagi membutuhkannya. Beritanya sempat dibahas media 1-2 hari saja; setelah itu menghilang. Padahal ini kisah 63 nyawa hilang bersamaan; mestinya menjadi sebuah berita sangat serius.
Beberapa hari lalu, RS Jiwa Solo kebakaran. Dua orang tewas dan dua lainnnya menderita luka bakar berat. Dua nyawa melayang dalam insiden tersebut. Ini juga seharusnya berita penting. Tapi tidak ada kehebohan di media. Berita kebakaran tidak terekspose luas. Tengggelam oleh berita polisi membunuh polisi.
Selain kematian akibat insiden, rumah sakit memang menjadi tempat “lumrah” lepasnya nyawa manusia. Setiap hari, ratusan orang mati dirumah sakit. Tapi tidak ada kehebohan. Tidak ada berita bombastis. Paling yang menemani dan menjadi saksi peregangan nyawa pasien adalah keluarga, dokter dan perawat. Tidak ada liputan televisi. Setelah mati, what next? Case closed. Nobody care. Dunia kembali berjalan sebagaimana mestinya.
Mengapa satu nyawa yang melayang pada kasus Floyd dan Brigadir J bisa memantik kehebohan luar biasa, sementara kematian demi kematian yang terjadi di rumah sakit tidak banyak dilirik, terutama oleh media massa?
Semua sepakat bahwa nyawa adalah ultimate possesion of human. Milik manusia yang sangat berharga. Nyawa membedakan seorang bergerak atau tidak, hidup atau tidak, bermanfaat atau tidak. Makanya, nyawa menjadi indikator amat krusial dalam setiap aspek kehidupan. Kalau prinsip ini yang dipegang, kehilangan banyak nyawa tentu lebih devastating dari kehilangan satu nyawa.
Namun fakta di kehidupan riil berbeda. Nyawa memang tetap penting bagi masyarakat. Tapi yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana kisah nyawa itu melayang. Apakah mengandung kausa luar biasa atau biasa-biasa saja. Kalau kausa dan proses melayangnya nyawa tidak lukratif alias biasa-biasa saja, masyarakat tidak menganggapnya berita penting. Makanya, ratusan nyawa melayang di rumah sakit tidak menjadi headline. Apalagi masyarakat tahu kalau rumah sakit memang tempatnya orang sakit dan salah satu ending sakit adalah kematian. Jadi nyawa melayang dianggap elemen natural progression of diseases. Sebuah elemen perjalanan natural penyakit. Bila ini sesuatu yang natural, mengapa mesti heboh-heboh?
Lain kalau proses melayangnya nyawa mengandung kisah luar biasa. Mengandung plot-plot cerita yang bisa mengobok-obok sisi psikologis manusia. Memiliki alur cerita yang menimbulkan misteri, mengandung motif yang mengutak-atik ranah berpikir manusia, atau mengandung deviasi signifikan dari kewajaran. Semakin lebar sisi misteri, motif dan deviasinya, semakin menggungah ranah psikologis manusia untuk terus ingin tahu. Mereka merasa terikut dalam kisah dan membangun self-opinion dan self-imagination terkait kasus. Aspek kognitifnya tertantang. Ada keterlibatan psikologis yang hebat. Seolah menonton sinetron berseri yang belum bisa ditebak endingnya.
Mereka tersihir; selaksa berhadapan dengan kisah-kisah Sherlock Holmes. Makanya jangan heran ada yang tidak beranjak dari televisi berjam-jam setiap hari saat kisah Floyd dan Brigadir J merebak. Masyarakat tidak terlalu galau oleh berapa jumlah nyawa yang melayang, tetapi tersihir oleh motif, proses dan alur cerita melayangnya nyawa. Lebih antusias mengikuti plot demi plot dalam kasus daripada ending kasus.
Masyarakat tampaknya mempraktikkan sebuah prinsip indah : travel is about the journey, not the destination. Dalam perjalanan, yang krusial bukanlah tujuan tetapi proses perjalanan itu sendiri.
Baca Juga: koran-sindo.com
(bmm)