Ketua Banggar DPR Sebut Subsidi Energi Bisa Bangun 200.000 SD atau 40.000 Puskesmas
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Said Abdullah menjelaskan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi yang tengah digodok pemerintah tidak semata terkait fiskal APBN tapi juga realokasi anggaran agar tepat sasaran. Dengan begitu, masyarakat bisa lebih berdaya secara ekonomi.
"Latar kebijakan ini penting untuk diketahui masyarakat agar bisa mengerti, memahami rencana kenaikan harga BBM bersubsidi (solar dan pertalite)," kata politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu, Jumat (26/8/2022).
Said menjelaskan pada tahun ini pemerintah telah menganggarkan subsidi energi sebesar Rp502 triliun. Anggaran itu habis digunakan untuk menyubsidi harga energi yang sebagian besar penikmatnya adalah keluarga mampu. Contohnya subsidi LPG 3 kg yang 80% pemakainya berasal dari kalangan mampu. Kenaikan harga Pertamax yang merupakan BBM nonsubsidi juga mendorong kalangan mampu beralih ke Pertalite yang harganya disubsidi pemerintah. Akibatnya terjadi lonjakan permintaan Pertalite.
"Perkiraan pemerintah, pada Oktober nanti stok pertalite habis jika menyimulasikan dengan tren konsumsi sekarang ini," kata Said.
Subsidi solar, kata Said, juga tidak tepat sasaran karena gap harga solar subsidi dan nonsubsidi sangat besar. Akibatnya banyak terjadi penyelundupan solar subsidi. Karena itu, perubahan pola subsidi BBM dan LPG menjadi keniscayaan yang harus diubah oleh pemerintah.
"Dana sebesar itu idealnya dapat digunakan untuk pembangunan di berbagai sektor yang dibutuhkan masyarakat kelas bawah dan kegiatan produktif, misalnya pendidikan, kesehatan, infrastruktur energi dan lain-lain," katanya.
Menurut Said, anggaran subsidi energi dapat untuk membangun ruas tol baru sepanjang 3.501 km dengan perkiraan investasi Rp142,8 miliar per km. Subsidi energi juga bisa untuk membangun 227.886 unit Sekolah Dasar dengan hitungan pagu anggaran Rp2,19 miliar per SD.
Baca juga: Menteri ESDM: Harga BBM Pertalite Tanpa Subsidi Rp17.200 per Liter
Jika dialihkan ke bidang kesehatan, subsidi energi juga bisa untuk mendirikan 3.333 unit rumah sakit skala menengah dengan besaran pagu anggaran Rp150 miliar per RS. Atau juga bisa membangun 41.666 puskesmas baru dengan biaya Rp12 miliar per unit.
"Kita juga masih menghadapi indeks prevalensi kerawanan pangan tinggi. Realokasi anggaran subsidi energi bisa diarahkan untuk memperkuat program ketahanan pangan, karena kita hanya swasembada beras, sementara komoditas pangan lainnya seperti daging, sayuran, gula, kedelai, masih impor," kata Said Abdullah.
Karena itu, Said mengajak masyarakat mendukung pengurangan subsidi energi untuk direalokasi ke program yang dibutuhkan masyarakat miskin, seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), bantuan upah tenaga kerja, bantuan sosial produktif UMKM, fasilitas kesehatan dan pendidikan.
"Pengalihan dana subsidi dan kompensasi BBM, salah satunya dapat difokuskan kepada subsidi BBM untuk para pelaku UMKM yang teknisnya bisa diintegrasikan dengan keseluruhan program perlindungan sosial," katanya.
Realokasi anggaran subsidi energi juga dapat difokuskan untuk penguatan program konversi energi. Langkah ini sangat penting untuk menekan ketergantungan pada suplai impor minyak bumi. Konversi kebijakan energi untuk mengarah kemandirian energi harus menjadi prioritas agar kejadian bengkaknya anggaran subsidi dan kompensasi BBM tidak terus terulang di masa mendatang.
"Latar kebijakan ini penting untuk diketahui masyarakat agar bisa mengerti, memahami, dan akhirnya meyakini bahwa kenaikan harga BBM bersubsidi bukan semata urusan fiskal APBN tapi mengalihkan agar lebih tepat sasaran dan masyarakat bawah lebih berdaya secara ekonomi," katanya.
"Latar kebijakan ini penting untuk diketahui masyarakat agar bisa mengerti, memahami rencana kenaikan harga BBM bersubsidi (solar dan pertalite)," kata politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu, Jumat (26/8/2022).
Said menjelaskan pada tahun ini pemerintah telah menganggarkan subsidi energi sebesar Rp502 triliun. Anggaran itu habis digunakan untuk menyubsidi harga energi yang sebagian besar penikmatnya adalah keluarga mampu. Contohnya subsidi LPG 3 kg yang 80% pemakainya berasal dari kalangan mampu. Kenaikan harga Pertamax yang merupakan BBM nonsubsidi juga mendorong kalangan mampu beralih ke Pertalite yang harganya disubsidi pemerintah. Akibatnya terjadi lonjakan permintaan Pertalite.
"Perkiraan pemerintah, pada Oktober nanti stok pertalite habis jika menyimulasikan dengan tren konsumsi sekarang ini," kata Said.
Subsidi solar, kata Said, juga tidak tepat sasaran karena gap harga solar subsidi dan nonsubsidi sangat besar. Akibatnya banyak terjadi penyelundupan solar subsidi. Karena itu, perubahan pola subsidi BBM dan LPG menjadi keniscayaan yang harus diubah oleh pemerintah.
"Dana sebesar itu idealnya dapat digunakan untuk pembangunan di berbagai sektor yang dibutuhkan masyarakat kelas bawah dan kegiatan produktif, misalnya pendidikan, kesehatan, infrastruktur energi dan lain-lain," katanya.
Menurut Said, anggaran subsidi energi dapat untuk membangun ruas tol baru sepanjang 3.501 km dengan perkiraan investasi Rp142,8 miliar per km. Subsidi energi juga bisa untuk membangun 227.886 unit Sekolah Dasar dengan hitungan pagu anggaran Rp2,19 miliar per SD.
Baca juga: Menteri ESDM: Harga BBM Pertalite Tanpa Subsidi Rp17.200 per Liter
Jika dialihkan ke bidang kesehatan, subsidi energi juga bisa untuk mendirikan 3.333 unit rumah sakit skala menengah dengan besaran pagu anggaran Rp150 miliar per RS. Atau juga bisa membangun 41.666 puskesmas baru dengan biaya Rp12 miliar per unit.
"Kita juga masih menghadapi indeks prevalensi kerawanan pangan tinggi. Realokasi anggaran subsidi energi bisa diarahkan untuk memperkuat program ketahanan pangan, karena kita hanya swasembada beras, sementara komoditas pangan lainnya seperti daging, sayuran, gula, kedelai, masih impor," kata Said Abdullah.
Karena itu, Said mengajak masyarakat mendukung pengurangan subsidi energi untuk direalokasi ke program yang dibutuhkan masyarakat miskin, seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), bantuan upah tenaga kerja, bantuan sosial produktif UMKM, fasilitas kesehatan dan pendidikan.
"Pengalihan dana subsidi dan kompensasi BBM, salah satunya dapat difokuskan kepada subsidi BBM untuk para pelaku UMKM yang teknisnya bisa diintegrasikan dengan keseluruhan program perlindungan sosial," katanya.
Realokasi anggaran subsidi energi juga dapat difokuskan untuk penguatan program konversi energi. Langkah ini sangat penting untuk menekan ketergantungan pada suplai impor minyak bumi. Konversi kebijakan energi untuk mengarah kemandirian energi harus menjadi prioritas agar kejadian bengkaknya anggaran subsidi dan kompensasi BBM tidak terus terulang di masa mendatang.
"Latar kebijakan ini penting untuk diketahui masyarakat agar bisa mengerti, memahami, dan akhirnya meyakini bahwa kenaikan harga BBM bersubsidi bukan semata urusan fiskal APBN tapi mengalihkan agar lebih tepat sasaran dan masyarakat bawah lebih berdaya secara ekonomi," katanya.
(abd)