Kenaikan Suku Bunga Acuan yang 'Timely' dan Antisipatif
loading...
A
A
A
Ryan Kiryanto
Ekonom dan Co-Founder & Dewan Pakar Institute of Social, Economic, and Digital/ISED)
RAPAT Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 22-23 Agustus 2022 yang memutuskan untuk menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 3,75%, suku bunga deposit facility sebesar 25 bps menjadi 3,00%, dan suku bunga lending facility sebesar 25 bps menjadi 4,50% secara keseluruhan merupakan keputusan yang timely (tepat waktu) dan antisipatif.
Disebut demikian karena keputusan tersebut diambil sebagai langkah pre-emptive dan forward looking untuk memitigasi risiko peningkatan inflasi inti dan ekspektasi inflasi akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi dan inflasi volatile food.
Selain juga untuk memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah agar sejalan dengan nilai fundamentalnya dengan masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global, di tengah pertumbuhan ekonomi domestik yang semakin kuat.
Hal itu juga ditegaskan pada judul keputusan RDG BI kali ini, yakni “Sinergi Menjaga Stabilitas dan Memperkuat Pemulihan”, yang menunjukkan tujuan menjaga stabilitas ekonomi dan memperkuat pemulihan ekonomi tetap berjalan beriringan.
Disebutkan, antisipatif dalam pengambilan keputusan RDG BI kali ini juga karena sudah mengantisipasi kemungkinan tingginya ekspektasi inflasi inti maupun inflasi harga konsumen (IHK) sebagai dampak langsung (first round effect) dan dampak tidak langsung (second round effect) dari kenaikan harga BBM nonsubsidi serta dampak dari inflasi volatile food.
Bahwa spirit atau nuansa kebatinan dari keputusan RDG BI kali ini disebut timely dan antisipatif secara jelas juga terlihat dari besaran kenaikan BI7DRRR yang relatif rendah, yakni 25 bps, yang artinya sudah sesuai dengan ekspektasi banyak ekonom dan analis. Dengan demikian, keputusan ini logis dan diyakini bisa diterima oleh banyak pihak.
Apalagi, sebelumnya juga sudah sering diekspose bahwa BI akan selalu berada di pasar dan bertindak ahead the curve yang mencirikan sikap kehati-hatian, antisipatif, dan forward looking. Dengan demikian, pengambilan keputusan betul-betul mendasarkan diri kepada asesmen faktor internal (domestik) dan eksternal (global) yang terjadi di masa lalu, sekarang, dan perkiraan yang akan datang.
Penguatan narasi pada pernyataan “untuk memperkuat stabilisasi nilai tukar rupiah” juga mengindikasikan bahwa penyesuaian BI7DRRR sudah saatnya dilakukan supaya kestabilan nilai tukar rupiah dapat dijaga dan kalaupun terjadi volatilitas di pasar, maka volatilitasnya relatif rendah dan terkendali.
Maklum, sejumlah bank sentral di advanced economies dan emerging markets sudah menaikkan suku bunga acuan secara agresif (rata-rata di atas 50 bps), yang salah satu pertimbangan penguatnya juga untuk menjaga kestabilan mata uang masing-masing negara.
Ekonom dan Co-Founder & Dewan Pakar Institute of Social, Economic, and Digital/ISED)
RAPAT Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 22-23 Agustus 2022 yang memutuskan untuk menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 3,75%, suku bunga deposit facility sebesar 25 bps menjadi 3,00%, dan suku bunga lending facility sebesar 25 bps menjadi 4,50% secara keseluruhan merupakan keputusan yang timely (tepat waktu) dan antisipatif.
Disebut demikian karena keputusan tersebut diambil sebagai langkah pre-emptive dan forward looking untuk memitigasi risiko peningkatan inflasi inti dan ekspektasi inflasi akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi dan inflasi volatile food.
Selain juga untuk memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah agar sejalan dengan nilai fundamentalnya dengan masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global, di tengah pertumbuhan ekonomi domestik yang semakin kuat.
Hal itu juga ditegaskan pada judul keputusan RDG BI kali ini, yakni “Sinergi Menjaga Stabilitas dan Memperkuat Pemulihan”, yang menunjukkan tujuan menjaga stabilitas ekonomi dan memperkuat pemulihan ekonomi tetap berjalan beriringan.
Disebutkan, antisipatif dalam pengambilan keputusan RDG BI kali ini juga karena sudah mengantisipasi kemungkinan tingginya ekspektasi inflasi inti maupun inflasi harga konsumen (IHK) sebagai dampak langsung (first round effect) dan dampak tidak langsung (second round effect) dari kenaikan harga BBM nonsubsidi serta dampak dari inflasi volatile food.
Bahwa spirit atau nuansa kebatinan dari keputusan RDG BI kali ini disebut timely dan antisipatif secara jelas juga terlihat dari besaran kenaikan BI7DRRR yang relatif rendah, yakni 25 bps, yang artinya sudah sesuai dengan ekspektasi banyak ekonom dan analis. Dengan demikian, keputusan ini logis dan diyakini bisa diterima oleh banyak pihak.
Apalagi, sebelumnya juga sudah sering diekspose bahwa BI akan selalu berada di pasar dan bertindak ahead the curve yang mencirikan sikap kehati-hatian, antisipatif, dan forward looking. Dengan demikian, pengambilan keputusan betul-betul mendasarkan diri kepada asesmen faktor internal (domestik) dan eksternal (global) yang terjadi di masa lalu, sekarang, dan perkiraan yang akan datang.
Penguatan narasi pada pernyataan “untuk memperkuat stabilisasi nilai tukar rupiah” juga mengindikasikan bahwa penyesuaian BI7DRRR sudah saatnya dilakukan supaya kestabilan nilai tukar rupiah dapat dijaga dan kalaupun terjadi volatilitas di pasar, maka volatilitasnya relatif rendah dan terkendali.
Maklum, sejumlah bank sentral di advanced economies dan emerging markets sudah menaikkan suku bunga acuan secara agresif (rata-rata di atas 50 bps), yang salah satu pertimbangan penguatnya juga untuk menjaga kestabilan mata uang masing-masing negara.