Di Balik Penghargaan IRRI
loading...
A
A
A
Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) dan Komite Pendayagunaan Pertanian (KPP)
PEMERINTAH Indonesia menerima penghargaan dari Internationl Rice Research Institute (IRRI), pada 14 Agustus 2022. Penghargaan tersebut bertajuk Acknowledgment for Achieving Agri-food System Resiliency and Rice Self-Sufficiency during 2019-2021 through the Application of Rice Innovation Technology.
Lewat penghargaan ini, institusi riset padi terkemuka di Filipina itu setidaknya mengakui dua hal. Pertama, sistem pertanian-pangan Indonesia tangguh. Kedua, Indonesia telah berswasembada beras periode 2019-2021.
Di tengah tantangan yang tak mudah, baik karena pandemi Covid-19 yang belum sepenuhnya usai maupun geopolitik global yang tidak menentu karena perang Rusia-Ukraina, prestasi ini patut disyukuri. Prestasi ini makin bermakna karena diterima jelang perayaan 77 tahun Indonesia merdeka.
Khusus swasembada beras, ini seolah mengulang capaian pada 1984: Indonesia diganjar penghargaan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) karena mampu swasembada beras. Capaian itu hanya bisa dipertahankan beberapa tahun. Dalam periode panjang, berdekade-dekade, Indonesia menjadi importir beras rutin.
Sebenarnya, pengakuan Indonesia tidak mengimpor beras periode 2019-2021 itu khusus untuk beras umum atau beras medium, yang impornya hanya bisa dilakukan oleh Bulog. Di luar itu, Indonesia masih mengimpor beras khusus antara 350.000 hingga 400.000-an ton per tahun.
Dikaitkan dengan konsumsi beras yang mencapai 30 juta ton per tahun, impor ini hanya setara 1,16-1,33% alias kecil. Prestasi ini, sekali lagi, selain patut disyukuri juga membanggakan. Apalagi, pandemi Covid-19 telah memukul semua sektor.
Selama 2,5 tahun pandemi Covid-19, pertanian terbukti paling tangguh. Ketika sektor lain terpukul, pertanian tetap tumbuh. Seperti yang sudah-sudah, kala terjadi krisis atau pandemi, pertanian jadi penolong akhir (the last resort). Pertanian lebih mudah menyesuaikan kala pandemi menuntut jaga jarak dan menekan mobilitas.
Ditambah iklim bersahabat sejak 2020 yang ditandai La Nina tiga tahun berturut-turut dan pendampingan intensif Kementerian Pertanian, produksi aneka komoditas pangan bisa dijaga baik.
Khusus beras, produksi naik dari 31,31 juta ton pada 2019 menjadi 31,49 juta ton pada 2020 dan turun jadi 31,35 juta ton pada 2021. Hal yang menggembirakan, produktivitas terus mengalami perbaikan: dari 5,11 ton/ha (2019) jadi 5,12 ton/ha (2020) dan 5,22 ton/ha (2021). Dengan tingkat konsumsi sekitar 30 juta ton beras/tahun, surplus beras cukup besar.
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) dan Komite Pendayagunaan Pertanian (KPP)
PEMERINTAH Indonesia menerima penghargaan dari Internationl Rice Research Institute (IRRI), pada 14 Agustus 2022. Penghargaan tersebut bertajuk Acknowledgment for Achieving Agri-food System Resiliency and Rice Self-Sufficiency during 2019-2021 through the Application of Rice Innovation Technology.
Lewat penghargaan ini, institusi riset padi terkemuka di Filipina itu setidaknya mengakui dua hal. Pertama, sistem pertanian-pangan Indonesia tangguh. Kedua, Indonesia telah berswasembada beras periode 2019-2021.
Di tengah tantangan yang tak mudah, baik karena pandemi Covid-19 yang belum sepenuhnya usai maupun geopolitik global yang tidak menentu karena perang Rusia-Ukraina, prestasi ini patut disyukuri. Prestasi ini makin bermakna karena diterima jelang perayaan 77 tahun Indonesia merdeka.
Khusus swasembada beras, ini seolah mengulang capaian pada 1984: Indonesia diganjar penghargaan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) karena mampu swasembada beras. Capaian itu hanya bisa dipertahankan beberapa tahun. Dalam periode panjang, berdekade-dekade, Indonesia menjadi importir beras rutin.
Sebenarnya, pengakuan Indonesia tidak mengimpor beras periode 2019-2021 itu khusus untuk beras umum atau beras medium, yang impornya hanya bisa dilakukan oleh Bulog. Di luar itu, Indonesia masih mengimpor beras khusus antara 350.000 hingga 400.000-an ton per tahun.
Dikaitkan dengan konsumsi beras yang mencapai 30 juta ton per tahun, impor ini hanya setara 1,16-1,33% alias kecil. Prestasi ini, sekali lagi, selain patut disyukuri juga membanggakan. Apalagi, pandemi Covid-19 telah memukul semua sektor.
Selama 2,5 tahun pandemi Covid-19, pertanian terbukti paling tangguh. Ketika sektor lain terpukul, pertanian tetap tumbuh. Seperti yang sudah-sudah, kala terjadi krisis atau pandemi, pertanian jadi penolong akhir (the last resort). Pertanian lebih mudah menyesuaikan kala pandemi menuntut jaga jarak dan menekan mobilitas.
Ditambah iklim bersahabat sejak 2020 yang ditandai La Nina tiga tahun berturut-turut dan pendampingan intensif Kementerian Pertanian, produksi aneka komoditas pangan bisa dijaga baik.
Khusus beras, produksi naik dari 31,31 juta ton pada 2019 menjadi 31,49 juta ton pada 2020 dan turun jadi 31,35 juta ton pada 2021. Hal yang menggembirakan, produktivitas terus mengalami perbaikan: dari 5,11 ton/ha (2019) jadi 5,12 ton/ha (2020) dan 5,22 ton/ha (2021). Dengan tingkat konsumsi sekitar 30 juta ton beras/tahun, surplus beras cukup besar.