Meningkatkan Sistem Kesehatan Nasional
loading...
A
A
A
Hasbullah Thabrany menggarisbawahi pentingnya kita melihat risiko alamiah suatu masyarakat untuk menambah konsumsi layanan kesehatan, yakni karena faktor usia dan gender. Mereka yang masuk dalam kategori miskin, berpenghasilan pas-pasan, atau karena sakitnya kemudian tidak lagi bisa bekerja seperti seharusnya orang di usianya masih bekerja adalah mereka yang perlu dibantu lewat sistem JKN.
Dari data yang tersedia, dapat dikonfirmasi bahwa JKN masih belum sempurna karena beberapa faktor. Pertama, ada persepsi yang berkembang di tataran pengambil kebijakan saat ini adalah untuk mengejar peningkatan iuran demi menutup defisit JKN.
Padahal, ketika kita bicara iuran kita perlu lebih cermat melihat profil penduduk Indonesia. Data JKN menunjukkan bahwa pengguna terbanyak JKN untuk rawat jalan adalah kelas I dan II.
Namun, sejak 2014 yang terjadi justru penurunan angka admisi rawat inap untuk kelas I dan II. Angka perawatan kelas III meningkat hingga 40%. Ketika diumumkan peningkatan iuran pada 2018 dan 2020 pun reaksi turun kelas menjadi kelas III cepat sekali terjadi.
Bahkan pemerintah daerah yang bertanggung jawab untuk ikut memberi subsidi bagi warganya yang kurang mampu justru memilih mengurangi subsidi. Artinya, ada segmen masyarakat yang memang masuk kelas I atau kelas II, tetapi kemampuan bayar iurannya sangat rentan berubah. Jadi, ketika pemerintah menggunakan sistem pukul rata untuk menaikkan iuran di segala kelas, efeknya sangatlah memberatkan bagi sekelompok masyarakat.
Kedua, ada persepsi bahwa kelompok masyarakat tanpa upah memanfaatkan JKN dengan hanya mau membayar ketika sedang sakit, selebihnya mereka akan menunggak pembayaran. Data yang ada belum menceritakan tentang bagaimana pekerja tanpa upah mengatur konsumsi penghasilan bulanannya.
Pekerja tanpa upah itu ada yang upahnya lebih dari Rp50 juta sebulan karena ia membuka bisnis sendiri yang skalanya menengah ke atas. Tetapi, ada juga yang upahnya sebatas upah minimum atau tak jauh dari upah minimum.
Mereka bekerja sebagai petugas sekuriti, asisten rumah tangga, penjaga toko, guru honorer, sopir ojek, bahkan pegawai honorer di sejumlah perusahaan outsourcing, dan sejenisnya. Mereka yang ada di kategori pekerja tanpa upah lapis bawah ini kerap dianggap tidak layak menerima subsidi pemerintah pusat atau pemerintah daerah sebagai penerima bantuan iuran (PBI) karena mereka masih punya pekerjaan dan kebanyakan juga punya rumah atau kendaraan bermotor.
Kenyataannya, ketika mereka jatuh sakit atau harus menanggung anggota keluarganya yang sakit, mereka kehabisan dana. Data JKN ke depan perlu menampung variasi yang lebih detail tentang profil pekerja tanpa upah ini.
Ketiga, ada persepsi bahwa orang miskin menghabiskan banyak anggaran kesehatan, terutama mereka yang berada di Pulau Jawa. Dari data JKN 2014-2018, dapat kita lihat bahwa fasilitas kesehatan yang ada di Indonesia, khususnya di luar Pulau Jawa, masih kurang dari memadai.
Dari data yang tersedia, dapat dikonfirmasi bahwa JKN masih belum sempurna karena beberapa faktor. Pertama, ada persepsi yang berkembang di tataran pengambil kebijakan saat ini adalah untuk mengejar peningkatan iuran demi menutup defisit JKN.
Padahal, ketika kita bicara iuran kita perlu lebih cermat melihat profil penduduk Indonesia. Data JKN menunjukkan bahwa pengguna terbanyak JKN untuk rawat jalan adalah kelas I dan II.
Namun, sejak 2014 yang terjadi justru penurunan angka admisi rawat inap untuk kelas I dan II. Angka perawatan kelas III meningkat hingga 40%. Ketika diumumkan peningkatan iuran pada 2018 dan 2020 pun reaksi turun kelas menjadi kelas III cepat sekali terjadi.
Bahkan pemerintah daerah yang bertanggung jawab untuk ikut memberi subsidi bagi warganya yang kurang mampu justru memilih mengurangi subsidi. Artinya, ada segmen masyarakat yang memang masuk kelas I atau kelas II, tetapi kemampuan bayar iurannya sangat rentan berubah. Jadi, ketika pemerintah menggunakan sistem pukul rata untuk menaikkan iuran di segala kelas, efeknya sangatlah memberatkan bagi sekelompok masyarakat.
Kedua, ada persepsi bahwa kelompok masyarakat tanpa upah memanfaatkan JKN dengan hanya mau membayar ketika sedang sakit, selebihnya mereka akan menunggak pembayaran. Data yang ada belum menceritakan tentang bagaimana pekerja tanpa upah mengatur konsumsi penghasilan bulanannya.
Pekerja tanpa upah itu ada yang upahnya lebih dari Rp50 juta sebulan karena ia membuka bisnis sendiri yang skalanya menengah ke atas. Tetapi, ada juga yang upahnya sebatas upah minimum atau tak jauh dari upah minimum.
Mereka bekerja sebagai petugas sekuriti, asisten rumah tangga, penjaga toko, guru honorer, sopir ojek, bahkan pegawai honorer di sejumlah perusahaan outsourcing, dan sejenisnya. Mereka yang ada di kategori pekerja tanpa upah lapis bawah ini kerap dianggap tidak layak menerima subsidi pemerintah pusat atau pemerintah daerah sebagai penerima bantuan iuran (PBI) karena mereka masih punya pekerjaan dan kebanyakan juga punya rumah atau kendaraan bermotor.
Kenyataannya, ketika mereka jatuh sakit atau harus menanggung anggota keluarganya yang sakit, mereka kehabisan dana. Data JKN ke depan perlu menampung variasi yang lebih detail tentang profil pekerja tanpa upah ini.
Ketiga, ada persepsi bahwa orang miskin menghabiskan banyak anggaran kesehatan, terutama mereka yang berada di Pulau Jawa. Dari data JKN 2014-2018, dapat kita lihat bahwa fasilitas kesehatan yang ada di Indonesia, khususnya di luar Pulau Jawa, masih kurang dari memadai.